Mengapa Tuhan Tidak Menjawab Doaku ?

Oleh: Dr. Yakub B. Susabda

"Lebih dari dua belas tahun suamiku hidup dalam perzinahan (ia mempunyai simpanan), airmataku sudah kering, siang malam aku berdoa kepada Tuhan, mengapa Tuhan tidak mendengar doaku?" Untuk keluhan ini saya terdiam sejenak. Dalam pikiran saya berkecamuk 1001 macam pertimbangan. Gampang bagi saya untuk mengingatkan Ibu yang malang ini bahwa sebagai orang Kristen kita percaya Tuhan selalu menjawab doa, Dia tidak pernah meninggalkan anak-anak-Nya, dan tidak ada satu kuasa apa pun yang dapat menceraikan kita dari kasih-Nya (Rm.8:35). Jangan putus asa! Saya juga tahu, dengan mudah saya dapat mengatakan kepadanya bahwa Tuhan tidak pernah berubah, yang berubah adalah kita sendiri, dan yang menceraikan kita dari-Nya adalah dosa-dosa kita (Yes.59:1-2). Oleh sebab itu kenalilah dirimu sendiri dan bertobatlah! Bahkan saya sadar sesadar-sadarnya bahwa saya dapat segera menyelesaikan percakapan konseling ini dengan mengingatkan dia bahwa jawaban doa tidak selalu "ya" tetapi juga bisa "tidak" dan bisa pula "tunggu". Bersabarlah!

Memang bergaul dengan Tuhan adalah suatu misteri. Seorang teolog pernah mengatakan bahwa, "Our God is the incomprehensible but knowable God." (Allah kita adalah Allah yang tak terpahami, tetapi dapat dikenali). Benar, tapi apa arti dari incomprehensiblitas Allah? Apakah kehendak-Nya memang tidak available bagi kita? No, saya percaya tidak demikian. Tuhan Yesus pernah mengatakan kepada murid-murid- Nya, "Kamu adalah sahabat-Ku,...Aku telah memberitahukan kepadamu segala sesuatu yang telah Kudengar dari Bapa-Ku"(Yoh.15:14-16). Tidak ada yang ditahan dan disembunyikan oleh Tuhan, jikalau itu memang kita butuhkan dan sesuai dengan rencana-Nya. Semua sudah tersedia untuk disingkapkan bagi orang-orang yang diperkenankan Allah. Roh Kudus yang diam dalam tubuh kita selalu siap untuk menuntun kita masuk dan memahami kebenaran-kebenaran tersebut (Yoh 16:13-16).

Sayang sekali anugerah yang besar ini sering kali diabaikan begitu saja. Kekayaan rahasia surgawi yang begitu mulia bisa tersembunyi dan tidak dikenali oleh orang percaya. Akibatnya, orang Kristen yang telah dilahirbarukan dalam Roh dan memiliki status yang baru sebagai anak Allah ternyata tidak otomatis bahkan tidak begitu saja dapat memahami kehendak-Nya. Mereka perlu mengerti bahwa the incomprehensible but knowable God adalah Allah yang menuntut pertanggungjawaban iman yang sungguh-sungguh dari anak-anak-Nya. Ada masa-masa "bayi" di mana orang Kristen boleh menikmati "susu" dan makanan "lunak", tetapi ada masa yang kemudian di mana mereka harus belajar menerima makanan keras (Ibr.5:11-14). Dan untuk itu, firman Allah yang available perlu dicari, digali, dan digumuli. Akhirnya hal menangkap dan mengerti apa yang "sudah disediakan" merupakan masalah yang makin lama akan menjadi makin kompleks (menyangkut masalah konsep teologi, approach dalam hermeneutika dan eksegese Alkitab yang terus menerus menyediakan tuntutan yang baru). Apalagi jikalau masalah tersebut mempunyai muatan-muatan psokologis keunikan dinamika jiwa manusia yang membuat dirinya:

  1. Terjebak dalam ideal self (konsep diri yang ideal). Banyak orang Kristen. Banyak orang Kristen dalam cintanya akan Allah tanpa sadar telah terjebak pada ideal self. "Saya orang Kristen seharusnya saya mempunyai keluarga yang bahagia dan harmonis. Saya orang Kristen, seharusnya saya mempunyai suami yang cinta Tuhan dan hidup dalam kebenaran firman-Nya."

    Baik. Ideal self memang menjadi target dari perjalanan iman setiap orang percaya . Tetapi, ideal self tidak dengan sendirinya menjadi bagian integral dari kehidupan setiap orang Kristen. Realitas hidup ini sering kali lain dari apa yang kita idealkan. Ada banyak orang Kristen yang menikah dengan pasangan yang tidak ideal. Selera dalam hal-hal rohani saja belum ada. Jangankan bersaksi dan melayani, menghadiri kebaktian pada hari Minggu saja mungkin merupakan hal yang sangat tidak disukai. Bagaimana kita dapat mengharapkan kehidupan pernikahan yang ideal dengan pasangan ini?

    Berada dalam kondisi "yang tidak ideal" sering kali dirasakan begitu sulit bagi orang-orang Kristen yang cinta akan Tuhan. Akibatnya, tanpa disadari banyak di antara mereka terjebak dalam sindrom ideal self. Yang seolah-olah baik, padahal spiritnya bukan dari Allah. Spiritnya bukan kasih agape/kasih ilahi, tetapi kasih manusia "yang memaksakan kehendak pribadi". Akibatnya hal "yang ideal" dipaksakan sebelum waktunya, dan sebagai orang Kristen kita dipaksakan sebelum waktunya, dan sebagai orang Kristen kita playing God (memainkan peran Allah; yaitu peran yang bukan hak kita). Dennis Rugemont pernah mengatakan bahwa "Love ceases to be a demon when it ceases to be a god." (Kasih tidak lagi menjadi kasih yang jahat jikalau kasih tersebut tidak lagi merupakan manifestasi jiwa manusia yang ingin memainkan peran Allah).

    Hal yang baik bisa menjadi buruk dan tidak memuliakan Allah jikalau spiritnya ideal self (semata-mata pemenuhan keinginan pribadi yang ideal). Kay Arthur, seorang penulis wanita dari Precept Ministries, mengingatkan bahwa dalam kehidupan orang-orang Kristen yang cinta Tuhan, Christianized ideals (hal-hal ideal/yang kita inginkan, yang sudah diberi simbol Kristen) sering kali menggantikan 'kebenaran firman Allah" (Back to the Word, Moody, Sept-Oct 1996).

  2. Terjebak dalam pola doa yang salah. Wanita yang diceritakan di atas sudah lebih dari dua belas tahun berdoa untuk pertobatan suaminya. Mengapa doa "yang baik" tersebut belum/tidak dikabulkan Allah? Apakah ia harus menunggu lebih lama lagi? Mengapa demikian?

    Pertanyaan-pertanyaan seperti ini terus menerus diajukan oleh anak -anak Tuhan. Mereka tidak bisa memahami mengapa di tengah pergumulan hidup yang sudah sedemikian berat, mereka harus bergumul lagi dengan masalah-masalah rohani. Apa sebenarnya maksud Allah dibalik semua ini?

    Banyak orang Kristen belum memahami benar apa artinya hidup sebagai orang yang sudah ditebus dengan darah Kristus Yesus. Mereka berpikir bahwa hidup sebagai orang Kristen, sama saja dengan orang- orang lain. Bedanya hanyalah, sebagai orang Kristen, sekarang mereka memiliki "jaminan", yaitu Allah yang hidup yang sangat berkuasa, yang dapat menolong dan memberi apa yang mereka butuhkan. Oleh sebab itu, di tengah kebutuhan-kebutuhan mereka, mereka datang berdoa meminta pertolongan Allah. Mengapa Allah tidak mengabulkan doa mereka yang salah sehingga Allah tidak mengabulkan doa mereka?

    Permintaan ansich (pada dirinya) sering kali tidak ada salahnya. Tetapi spirit yang salah di balik permintaan tersebut sering kali telah meracuni seluruh doa permohonan orang percaya. Doa adalah perkara rohani, suatu dialog atau interaksi antara orang percaya dengan Allah. Meskipun doa mengandung unsur-unsur permohonan (termasuk untuk kebutuhan badani dan kebutuhan pribadi), inti dari doa yang benar bukanlah 'permohonan dan pemenuhannya". Inti dari doa adalah dialog tersebut, karena melalui doa, kita bergaul dan mencari pengenalan yang lebih mendalam dengan Allah. Bagi orang-orang Kristen, kebutuhan-kebutuhan pribadi hanyalah "stimulans" yang mendorong untuk berdoa, dan mengingatkan mereka akan hubungan mereka dengan Allah. Dengan demikian, pusat perhatian utama dalam doa orang Kristen bukanlah pemenuhan kebutuhan pribadi, melainkan "pengenalan dan hubungan pribadi dengan Allah".

    Ibu yang menderita tadi sudah berdoa lebih dari dua belas tahun. Meskipun permohonan doanya seolah-olah benar (supaya suaminya bertobat) ia sudah terjebak dalam spirit dan pola doa yang salah. Baginya pusat perhatian utama dalam hidupnya hanyalah pemenuhan permohonan tersebut. Seolah-olah hidupnya tidak punya nilai dan arti jikalau suaminya tidak bertobat dan kembali kepadanya. Baginya, Allah dan keselamatan di dalam-Nya bukan hal yang penting. Ia bahkan tidak ingin mengenal Dia dan tidak ingin bergaul dengan Dia. Itulah sebabnya ia terjebak dalam nafsu. Kebutuhan pribadi yang begitu baik sudah menjadi berhala, ia sudah terobsesi dengan kebutuhan tersebut siang malam, dan isi doanya itu-itu terus. Ia tidak menyadari kalau doa yang benarlah (pergaulan dan tumbuhnya pengenalan yang lebih baik dengan Allah) yang akan memperbaharui dan mengubah hidupnya. Tidak heran, jikalau ia merasa seakan-akan Allah tidak mempedulikan permohonan-Nya.

  3. Terjebak dalam spirit dependensi yang salah. Spirit dependensi (ketergantungan) pada Allah merupakan hal yang indah, yang seharusnya dimiliki oleh setiap orang percaya. Tetapi realitasnya, sering kali spirit dependensi disalahgunakan oleh orang Kristen untuk menghindarkan diri dari tanggung jawab yang seharusnya dipikul. Bahkan sering kali dipakai sebagai lambang "iman" yang seolah-olah menandai akan kekuatan iman seorang. Sering kali kita mendengar orang berkata, "Saya sudah menyerahkan semua kepada Tuhan, apa yang Tuhan kehendaki, itulah yang terbaik. Bertahun-tahun saya berdoa, dan saya tidak akan putus asa, saya harus bersabar, Tuhan pasti akan menolong saya pada waktu-Nya nanti."

    Kata-kata tersebut di atas kedengarannya sangat baik, tetapi kebaikannya masih perlu diuji. Karena spirit dependensi yang sehat hanya lahir dari pemahaman teologis yang sehat pula. Dependensi yang sehat tidak seharusnya meniadakan tanggung jawab yang harus dipikul seseorang. Reinhold Niebuhr, pernah mengajarkan suatu doa yang sangat menarik. Ia berkata, "God grant me the serenity to accept things I cannot change, the courage to change the things I can, and the wisdom to know the difference." (Tuhan berilah aku kedamaian batin untuk bisa menerima hal-hal yang tidak dapat kuubah lagi, berilah keberanian dan kekuatan untuk bisa mengubah hal-hal yang masih dapat diubah, dan berilah kepadaku bijaksana untuk dapat membedakan keduanya). Dependensi yang sehat justru tahu membedakan mana yang menjadi wewenang Allah dan mana yang menjadi tanggung jawab manusia.

    Bagi ibu yang malang ini, memang seolah-olah ia sudah menyerahkan semua tanggung jawabnya pada Allah. Lebih dari dua belas tahun ia hanya "berdoa" tanpa "bekerja". Ia lupa bahwa ada bagian-bagian tanggung jawab yang harus dikerjakan, dipikulkan dan diselesaikan oleh karena memang itulah "porsinya". Tidak seharusnya ia meminta Tuhan mengambil alih tanggung jawab tersebut.

Kesimpulan: kehidupan orang yang sudah ditebus dengan darah Kristus adalah kehidupan dalam anugerah. Meskipun demikian, anugerah yang diberikan secara cuma-cuma itu bukanlah anugerah yang "cheap/murahan". Oleh sebab itu,"...kerjakanlah keselamatanmu dengan takut dan gentar." (Fil.2:12)

PERSPEKTIF PSIKOLOGIS

Yang Memungkinkan dan Kesaling-tergantungan

Oleh:Dr. Paul Gunadi
Kedua istilah yang menjadi judul di atas diambil dari ilmu terapi keluarga, yang dalam bahasa asalnya berbunyi the enabler (yang memungkinkan) dan codependency (kesaling-tergantungan). Kedua istilah ini mewakili dua konsep yang berujung pangkal dari hubungan suami-istri yang tidak sehat. Pada dasarnya hubungan suami-istri merupakan suatu hubungan saling -ketergantungan. Pada hakikatnya, semua hubungan mencakup pemberian kepercayaan melibatkan unsur ketergantungan. Misalnya, dalam hal pemberian kepercayaan bahwa pasangan kita akan setia kepada kita. Tidak bisa tidak, kita harus menggantungkan sebagian dari hidup kita (dalam hal ini, ketenteraman) pada pasangan kita. Sebelum menikah, aspek ketenteraman ini tidaklah bergantung pada orang lain sebab kita sendirilah yang menyediakannya. Namun begitu kita menikah, kita pun membuka diri dan menyerahkan sebagian dari kebutuhan akan ketenteraman ini kepada pasangan kita. Oleh sebab itulah, ada di antara kita yang berkelahi habis-habisan melawan ketergantungan ini. Pada umumnya, saya kira alasannya jelas, yaitu kita tidak ingin dilukai. Bergantung berarti bersandar yang membuat keseimbangan kita pun pada akhirnya bertumpu pada sandaran itu. Jika sandaran bergerak, kita mudah terjatuh.

Konsep kesaling-tergantungan juga bisa mengacu kepada hal bergantung pada pasangan untuk melengkapi kekurangan kita. Tidak ada manusia yang sempurna; oleh sebab itu tidak ada hubungan nikah yang sempurna pula. Kekurangan masing-masing menjadi tugas masing-masing untuk melengkapinya. Kekurangmampuan saya untuk merasakan emosi mengalami cukup banyak kemajuan setelah saya hidup dengan Santy; sebaliknya, ia pun makin hari makin terbiasa menggunakan pertimbangan rasional. Kedua pemahaman di atas adalah contoh dari kesaling *KOSONG*

Kesaling-tergantungan bisa berubah menjadi tidak sehat yakni apabila kita melestarikan kekurangan pasangan demi pemenuhan keinginan pribadi kita yang tidak sehat. Ini yang dimaksud dengan konsep codependency. Misalkan, ada suami yang mengekang kebebasan istri yang pasif dan penuh keragu-raguan. Makin dikekang, makin bertambah pasif dan ragu-ragu, dan makin bergantung ia pada suaminya. Si suami tahu bahwa kepasifan dan keragu-raguan istrinya merupakan suatu kekurangan karena pada akhirnya membebani dirinya. Namun tanpa disadari atau disadari, si suami terus mengekang kebebasan si istri karena peranan dan fungsinya sebagai suami atau kepala keluarga baru dirasakannya apabila si istri bergantung padanya. Dengan kata lain, dalam kasus ini, si suami melestarikan kelemahan istrinya agar kebutuhannya untuk menjadi suami yang berfungsi dapat tercapai. Dua-dua saling bergantung tetapi ketergantungan mereka malah menjerumuskan mereka ke masalah- masalah yang lebih dalam.

Istilah "yang memungkinkan" (enabler) merujuk kepada orang yang melestarikan hubungan kesaling-tergantungan yang tidak sehat ini. Sedangkan konsep "memungkinkan" mengacu kepada perbuatannya itu sendiri. Dalam kasus tadi si suami menjadi orang "yang memungkinkan" kelemahan istri untuk terus berakar dan berbuah. Si suami membuat si istri makin tidak percaya diri dan semua itu dilakukan si suami agar keinginan pribadinya terpenuhi. Keinginannya tidak sehat karena dialaskan atas keinginan si suami menjadi sosok otoritas yang tak terganggu gugat.

Ada satu contoh lagi. Rasa malu adalah suatu reaksi terhadap sesuatu yang memalukan dan rasa malu ini akan bertumbuh lebih besar apabila lebih banyak orang yang mengetahui perihal yang memalukan kita itu. Misalkan ada seorang anak remaja sering mencuri, berbohong, dan terlibat dalam penggunaan zat-zat terlarang, seperti ekstasi dan marijuana. Si ayah berpendapat bahwa anak ini memerlukan pertolongan dan harus dilakukan secara profesional. Si ibu bersikeras bahwa anak ini hanya sedang mengalami "gejolak pubertas" dan akan insyaf dengan sendirinya. Si ibu menolak gagasan si ayah untuk mencari pertolongan pihak ketiga dan meminta si ayah untuk bersabar.

Sesungguhnya hal yang melatarbelakangi kesabaran si ibu adalah rasa malunya. Baginya ini adalah masalah keluarga dan tidak seharusnya diketahui oleh pihak luar. Rasa malunya bersumber dari ketakutannya bahwa orang lain akan menuduhnya sebagai orangtua yang gagal, tidak beres, dan tidak mampu membesarkan anak. Tak terbayangkan betapa hitam arang aib yang akan dicorengkan di wajahnya.

Lebih lanjut lagi, secara tidak langsung si anak juga memberikan "sesuatu" kepada ibunya. Si anak adalah satu-satunya anak yang paling dekat dengan ibunya. Ia paling memperhatikan perasaan ibunya dan juga paling membelanya. Si anak selalu berjanji untuk bertobat dan janjinya ini disertai permohonan agar ibunya tidak menghubungi pihak ketiga. Ia sendiri bisa berubah. Si ibu tidak ingin melihat hubungannya yang dekat dengan si anak.......... *KOSONG* menanggung aib dan keinginannya mempertahankan keakraban dengan si anak melebihi kesadarannya bahwa anak ini perlu ditolong. Demi pemenuhan keinginannya inilah, ia membiarkan si anak makin hari makin menjadi rusak, walaupun harga yang harus dibayarnya juga mahal: keluarganya makin berantakan!

Di sini si ibu menjadi sosok "yang memungkinkan"(enabler) dan ia terlibat dalam hubungan "kesaling-tergantungan" (codependency) yang tidak sehat dengan si anak.

Tidak mudah untuk menyelesaikan masalah-masalah di atas. Namun langkah pertamanya jelas, kita harus berani mengakui suatu masalah sebagai masalah. Kedua kita perlu berani menilik peran sumbangsih kita dalam masalah yang timbul. Janganlah kita mengulangi kesalahan Adam yang mudah menyalahkan Hawa. Bukankah pada akhirnya semua, termasuk Adam, menerima ganjarannya?

PERTANYAAN ANDA
Dr. Esther Susabda

Sejak pacaran suami saya sudah menunjukkan sikap dingin dan sering kali sepertinya ia terpaksa datang memenuhi kewajiban rutin mengunjungi saya. Saat itu saya sudah ragu-ragu, tetapi karena desakan kedua pihak orangtua, kami akhirnya menikah juga. Setelah menikah, suami saya makin "sibuk ", dan tak ada waktu lagi untuk saya. Selalu saja ada alasan menghabiskan waktu senggangnya dengan teman-teman dekatnya atau berkunjung ke rumah ibunya. Ia selalu menolak pergi berduaan saja. Ia mengatakan bahwa saya egoistis dan selalu mau bersenang-senang. Padahal yang saya butuhkan adalah membangun intimacy atau hubungan yang lebih harmonis penuh pengertian sebagai layaknya suami-istri. Apakah yang harus saya perbuat?

Anda menikah dengan seorang yang mungkin tidak mencintai Anda, atau suami Anda adalah satu pribadi yang mempunyai keunikan yaitu "takut pada intimacy (fear of intimacy)".

  1. Kalau sebabnya oleh karena suami tidak mencintai Anda, perlulah Anda bertanya pada diri sendiri apakah Anda sendiri mencintai dia. Mencintai tidak sama dengan kebutuhan untuk dicintai. Banyak wanita yang merasa mencintai suaminya, padahal yang ia punya hanyalah kebutuhan untuk dicintai, dilayani, dilindungi, diberi status sosial (bersuami) dan jaminan kehidupan (uang, belanja, dsb.). Ia tidak menghormati suaminya, tidak pernah melayani suaminya dengan sabar dan lembut dan tidak terbeban untuk suaminya. Ia merasa 'terpaksa" dan perasaan tersebut masih terus menerus dihidupkan dalam hidup pernikahannya. Oleh karena itu, 'tidak terpenuhinya kebutuhan- kebutuhan pribadinya" (seperti yang telah disebutkan di atas) dirasakan sebagai konfirmasi sudah hilangnya rasa cinta.

    Cinta itu self-giving, artinya orang yang mencintai pasti merasa mempunyai sesuatu yang baik (pelayan, kasih, pengabdian, dsb.) yang ingin diberikan demi untuk membahagiakan orang yang dicintainya. Apakah Anda sudah memberikannya pada saat yang tepat dan sesuai dengan proporsi yang dibutuhkan suami Anda? Apakah cinta kasih Anda "dinikmati" oleh suami Anda? Atau sebaliknya suami Anda justru merasa terganggu dan tidak berterima kasih (appreciate) pada kebaikan Anda? Mengapa demikian?

  2. Kalau penyebab persoalan adalah oleh karena suami mempunyai ketakutan akan intimacy (fear of intimacy), maka Anda perlu memeriksa diri Anda sendiri, mengapa kehadiran Anda dirasakan "mengganggu dan menakutkan" dia. Mengapa suami menjadi seperti seekor siput yang setiap kali bertemu Anda, merasa tidak aman sehingga masuk ke dalam "rumah"-nya?

    Banyak suami yang suka bergaul dan mempunyai banyak teman di luar. Tetapi di rumah selalu pendiam dan duduk di depan TV atau menyibukkan diri dengan mengutak-atik mesin mobil. Dengan kata lain, ia mau mengatakan, "Aku lagi sibuk, jangan ganggu aku dan jangan ajak aku bicara, karena bicara dengan kamu tidak menyenangkan."

    Ada kemungkinan cara Anda berkomunikasi memberikan perasaan tidak aman, menekan dan menyalahkan. Dan ini harus diperbaiki oleh istri. Tetapi sering kali juga tidak demikian. Pribadi dengan fear of intimacy memang pada dirinya merasa takut dan tidak membutuhkan keintiman. Mungkin ia dibesarkan dalam keluarga di mana intimacy tak pernah dilatih atau intimacy selalu berakhir dengan hal yang menyakitkan hatinya. Oleh karena itu setelah dewasa ia mempunyai ketakutan akan keintiman. Setelah mempunyai istri pun ia hanya sanggup berhubungan tanpa melibatkan pribadinya. Untuk tipe ini, saya anjurkan Anda berkonsultasi dengan seorang konselor.

    Sumber
    Halaman: 
    --
    Judul Artikel: 
    Parakaleo (Edisi Okt. - Des. 1996)
    Penerbit: 
    Departemen Konseling STTRI