Tugas sebagai seorang konselor bukanlah hal yang mudah. Seorang
konselor Kristen harus selalu siap memberikan bantuan yang terbaik
kepada konsele. Oleh karena itu, seorang konselor membutuhkan suatu
persiapan yang matang sebelum melakukan proses konseling karena
tanpa persiapan yang baik maka hasil yang dicapai tidak akan
maksimal. Berikut ini kami sajikan persiapan-persiapan apa saja
yang perlu dilakukan oleh konselor sebelum memulai proses konseling.
1. Kesiapan Fisik Konselor
Faktor kesehatan jasmani dari konselor sangat penting dalam
menjalankan tugas pelayanan konseling. Dalam menjaga
kesegaran fisiknya konselor perlu mengupayakan dan menggunakan
waktu untuk rileks sebelum melakukan tugas yang melelahkan.
Konselor juga perlu mengatur jam-jam makan pada waktunya,
meskipun ada tantangan pelayanan yang harus dihadapinya. Di
sini konselor harus bisa menetralisir diri sendiri dan
menjaga keseimbangan serta kesegaran fisiknya.
2. Kesiapan Mental Konselor
Konselor perlu siap secara mental untuk mendengarkan orang
lain secara aktif. Hal ini dapat dilakukan dengan aktif
mengikuti pembicaraan konsele dan sekaligus selektif dalam
mendengarkan.
Konselor perlu menetapkan pendirian bahwa ia akan membimbing
konsele melalui proses dialog. Untuk berdialog, konselor perlu
siap mendengar. Daniel Webbster mengatakan, "Dengan
mendengarkan orang-orang pandai, seseorang telah belajar lebih
banyak daripada membaca buku." Guna mencapai hal ini, konselor
harus melatih diri untuk mendengarkan orang lain agar proses
dialog dapat berjalan lancar.
Konselor perlu belajar memusatkan perhatian atau
berkonsentrasi terhadap masalah konsele. Kebiasaan
berkonsentrasi perlu dilatih sejak dini. Pada sisi lain,
konselor pun harus memahami daya konsentrasi dari konsele.
Sebagai gambaran, daya konsentrasi usia anak-anak kecil
sekitar 7-10 menit dan orang dewasa 40-45 menit, untuk
menerima masukan dari orang lain pada satu kali pertemuan
yang efektif. Dengan memahami hal ini, konselor akan
tertolong untuk mengerti apa sesungguhnya yang dialami oleh
konsele yang dilayaninya.
Konselor perlu bersikap sensitif untuk melihat makna yang
tepat dari pokok persoalan, sehingga ia akan sanggup mengamati
persoalan konsele dengan jelas.
Konselor perlu mengembangkan sikap untuk tidak cepat
menganggap dirinya telah mengetahui semua makna pikiran
konsele yang sedang dibicarakan. Sikap ini akan membantu
konselor untuk terbuka mencari kemungkinan makna lain dibalik
pikiran konsele.
3. Kesiapan Emosi konselor
Konselor perlu mengontrol emosinya dalam menghadapi setiap
konsele. Dengan mengontrol emosinya, konselor dapat
mendeteksi secara dini apakah seseorang (konsele) itu
bersungguh-sungguh atau hanya berpura-pura menemuinya.
Konselor yang mengontrol emosinya akan bersabar dalam melihat
dan memahami perasaan konsele. Jika ada hal yang tidak
disetujui, konselor dengan sabar dapat belajar memahami
perasaan konsele sehingga ia akan lebih gampang memberikan
pertolongan.
Dengan pengontrolan emosi, konselor dapat menolak hal-hal
yang membingungkan dengan menggunakan pikiran yang jernih dan
matang. Dengan mengontrol emosi diharapkan konselor tidak
memotong pembicaraan sementara ia sedang mengikuti pembicaraan
konsele yang menuturkan masalahnya.
Pengontrolan emosi dapat membantu usaha konselor dalam
membangun perhatian pada faktor yang sedang dibicarakan.
Dengan demikian ia dapat berpikir dan membuat analisis yang
lebih cepat dari konsele yang sedang berbicara.
Dalam upaya mengendalikan emosi secara konsisten, konselor
dapat menanyakan hal-hal yang memerlukan jawaban pendek,
jelas, dan tepat dengan tidak menyela pada saat yang tidak
perlu. Sikap ini dapat membantu konselor untuk setia pada
pokok yang diungkapkan. Konselor yang mengontrol dirinya
tidak akan berdebat dan membuat permasalahan baru.
Pengendalian emosi dapat menolong konselor untuk menggali
latar belakang asal usul konseli, antara lain faktor keturunan
(genetika) -- dalam upayanya menolong konsele mengalami
kesembuhan jiwa.
Pengontrolan emosi dapat dengan sendirinya akan menolong
konselor untuk berhati-hati dalam memberikan nasihat. Hal ini
pun membantu konselor untuk siap mengatasi perasaan sendiri,
rasa rendah diri, dsb. Dengan ini, konselor akan lebih
berdisiplin dan tenang saat melaksanakan konseling dalam
upayanya membantu konsele.
4. Kesiapan Sosial Konselor
Kesiapan konselor secara sosial memberi kemampuan kepadanya untuk
menempatkan diri secara benar saat menghadapi setiap konsele.
Konselor harus bersedia untuk menghadapi setiap konsele pada
level status sosial di mana ia berada. Konselor diharapkan
agar tidak melihat status sosial konsele sehingga ia tidak
segan untuk melayani atau bertindak tegas.
Kesiapan sosial membantu konselor menangani pergaulan secara
baik di mana ia dapat mempertahankan hidup kekristenan yang
benar sebagai kunci untuk menghadapi konsele dengan penuh
tanggung jawab.
Kesiapan sosial meneguhkan konselor untuk menjunjung tinggi
kesopanan dan menghargai konsele sebagai subjek yang patut
diperlakukan semanusiawi mungkin.
Kesiapan sosial menopang konselor memiliki sikap tulus hati,
sehingga dalam percakapan konselingnya ia tidak mencoba-coba
menipu atau memanipulasi konsele secara halus.
Kesiapan sosial menunjang konselor untuk terus belajar
menerima diri sendiri sebagaimana adanya, dan tidak mudah
terpengaruh oleh konsep pemikiran orang lain, khususnya
konsele yang dihadapinya.
5. Kesiapan Rohani Konselor
Kesiapan rohani merupakan faktor fundamental bagi konselor untuk
terlibat dalam pelaksanaan tugas konseling. Kesiapan rohani
meliputi kebenaran sebagai berikut:
Konselor Kristen harus memahami dan mengalami arti hidup dalam
Kristus. Dia juga harus mengerti apa artinya mati dan bangkit
bersama Kristus sehingga ia dapat membagikannya kepada setiap
konsele.
Konselor harus mengerti apa artinya dibenarkan oleh Kristus,
sebagai dasar untuk menolong konsele dalam menghayati
pembenaran yang membawa kedamaian hidup (Yesaya 32:17).
Konselor patut menghayati dan mengalami arti kekudusan hidup
dalam Kristus, sehingga ia dapat membantu dan memberi jalan
kepada konselor untuk hidup sebagai penurut-penurut Allah yang
dikuasai dan "dipenuhi oleh Roh Kudus" (Efesus 5:15-21).
Konselor patut menghayati "arti hidup dipermuliakan bersama
Kristus" (Yohanes 5:24; Efesus 1:13; Ibrani 9:28), sehingga ia
dapat melaksanakan tugasnya dengan penuh tanggung jawab bagi
kemuliaan Allah.
Perlu dipertegas di sini bahwa untuk menjadi konselor yang efektif
konselor harus memahami arti kehidupan Kristen dengan benar
berdasarkan kebenaran Alkitab. Pemahaman ini akan meneguhkan
konselor untuk menggunakan Alkitab sebagai jawaban final atas setiap
permasalahan yang dihadapi. Dengan demikian, dapatlah dikatakan
bahwa strategi pelaksanaan konseling yang efektif membutuhkan
persiapan pribadi konselor Kristen yang seimbang, baik secara
teologis maupun psikologis yang dikembangkan melalui pendalaman
pengalaman rohani, intelektual, emosional, dan sosial.