Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I

Peran Konseling Awam di Tengah Krisis

Oleh: Dr. Yakub B. Susabda
Sejak merdeka, Indonesia belum pernah mengalami krisis seberat seperti yang dihadapi sekarang ini. Akhir-akhir ini setiap hari ratusan kelompok diskusi diadakan, dan berbagai teori dilancarkan untuk menjelaskan musibah yang sedang melanda negara dan bangsa yang besar ini. Mungkin istilah “musibah” itu sendiri merupakan istilah yang kurang tepat dipakai. Karena yang sedang terjadi sebenarnya suatu konsekuensi logis dari proses sejarah yang telah berjalan kurang lebih dua dasawarsa terakhir ini. Dimulai dengan ilusi menjadi macan Asia yang membuka peluang besar bagi korupsi-kolusi dan nepotisme. Sampai dengan terciptanya sistim kehidupan yang membawa seluruh bangsa ini ke pinggir jurang kehancuran. Benarlah yang dikatakan oleh nabi Hosea, “sebab mereka menabur angin, maka mereka akan menuai puting-beliung,” (8:7). Apa yang ditabur orang itulah juga yang akan dituainya (Gal 6:7).

Memang gejolak di permukaan mulai terlihat pada pertengahan tahun yang lalu dengan kenaikan suku bunga simpanan di bank-bank dan merosotnya nilai tukar rupiah dari Rp. 2.400 per dollar AS menjadi sekitar Rp. 4000, kemudian 6000, dan terus meroket sampai beberapa saat yang lalu pernah mencapai 16.000 rupiah per dollar AS. Kepanikan mulai dirasakan, tetapi banyak yang masih menganggap “angin puyuh ini” pasti akan berlalu dalam satu dua bulan lagi, sebab “fundamen perekonomian Indonesia kuat dan sehat. Tenang-tenang saja, kita lain dari Thailand, lain dari Meksiko.” Maklum, defence mechanisme” pseudorasionalisasi” ini dapat dipakai karena kita semua sedang menunggu hasil Sidang Umum MPR 11 Maret 1998. “Everything will be all right.” Tahu-tahu (seperti bagian besar penumpang kapal Titanic yang sedang terlelap dan terbuai dalam kenikmatan hidup), seluruh bangsa ini tiba-tiba bergerak tanpa arah. Bangsa yang makanan utamanya tempe dan tahu, tiba-tiba tidak bisa makan tempe dan tahu karena hampir seluruh kebutuhan kedelai harus diimpor dari luar negeri. Tiba-tiba kita melihat kumpulan rakyat yang harus berbaris ngantri pembagian sembako. Suatu negara dengan pertumbuhan ekonomi 7,2% per tahun mendadak menjadi minus 4-6 % per tahun. Negara pengekspor minyak, gas, timah, nikel, batu bara, tembaga, hasil bumi, hasil hutan, kayu lapis, ikan, tekstil, sepatu, mendadak menjadi negara yang menerima sumbangan negara-negara lain yang jauh lebih kecil dan lebih miskin daripadanya. Sampai pinjaman IMF pun diulur-tarik dan ditunda-tunda karena krisis moneter sudah berubah menjadi krisis ekonomi, krisis politik, krisis kepercayaan, krisis sosial, dan moral dan krisis dalam segala bidang.

Mahasiswa/i di kampus-kampus mulai berdemonstrasi menuntut reformasi dalam segala hal. Diikuti dengan peristiwa penembakan dan pembunuhan mahasiswa-mahasiswa Trisakti dan turunnya ribuan rakyat ke pusat-pusat pertokoan untuk menjarah, merusak, membakar, menganiaya dan membunuh. Lebih dari 13 pasar, 2479 ruko, 40 mal, 1604 toko di ibu kota dijarah dan dihancurkan, dan hampir 500 orang yang mati dalam kerusuhan tersebut. Dan turunlah Soeharto dari jabatannya sebagai Presiden, naiknya Habibie, turunnya beberapa menteri kabinet Pembangunan yang baru dibentuk, pengangkatan kabinet Reformasi Pembangunan, perubahan penjabat-penjabat teras atas ABRI, munculnya kelompok-kelompok ekstrim, bangkitnya partai-partai baru, tuntutan mahasiswa/i untuk persidangan istimewa MPR, tekanan pada Habibie untuk mengakui bahwa pemerintahannya hanyalah pemerintahan sementara, dsb dsb. Setiap hari, pagi-siang-malam kita terus dibombardir dengan 1001 macam informasi tentang krisis. Mental apatis dan pesimistis mulai terbentuk dari kalangan atas sampai rakyat kecil di seluruh pelosok tanah air. Wajah-wajah cerah ceria dari anak-anak sekolah sudah hilang, begitu juga spirit sukacita dalam ibadat-ibadat di gereja-gereja. Yang dapat dipahami hanyalah spirit penantian yang tidak-menentu. Perasaan uprooted (ketercabutan), insecure (tidak aman), confuse (kebingungan), anger (kemarahan), hated (kebencian), mistrust (ketidakpercayaan terhadap sesama), lonely, apatis, seolah-olah bercampur-aduk menjadi satu. Di tengah kondisi yang sangat tidak menentu ini, apa sebenarnya peran iman Kristen? Dan apa peran dari konseling Kristen bagi mereka yang mempertanyakan keadilan dan kasih Allah? Bagaimana kita dapat membimbing mereka yang kebingungan arah dan kebingungan peran? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini beberapa prinsip konseling ”awam non-professional” perlu diperhatikan, yaitu, a.l.: Menolong mengenali apa yang sedang terjadi dalam dirinya dan mengingatkan prinsip-prinsip kebenaran Alkitab yang diperlukan.

Seringkali di tengah kondisi yang mencemaskan, menakutkan, tidak menentu dan ditengah pengalaman yang menyakitkan karena ketidak-adilan hidup, banyak orang membutuhkan saudara seiman yang bisa mengerti dan mendengar keluhan-keluhan hati yang seringkali tak terucapkan.

I’m hurting terribly. Please listen to me and take me seriously. Saya sedang sangat terluka. Dengarkanlah aku dan terimalah aku dengan ketulusan hatimu.

Jangan mempersalahkan dan tak perlu meng-kuliahi dia. Dengarkan saja keluhan-keluhannya, dan jadilah teman bicaranya yang sejati, yang . . . (melalui refleksi atau respon yang meng-clearkan apa yang diucapkan) dia menemukan apa yang sesungguhnya mau diucapkan. Dengan demikian dia akan mulai menemukan dirinya sendiri (melalui restrukturisasi kata-kata yang telah diucapkan) dan menyadari apa yang sedang terjadi dan apa yang menjadi responnya terhadap pengalaman tersebut. Kesadarannya akan muncul, dan dia akan mulai mengerti “mengapa di tengah kondisi krisis ini ia berpikir dengan pola pikir seperti itu dan bereaksi dengan reaksi emosi sedemikian.” Lalu terbukalah kesempatan untuk mempertimbangkan dengan akal sehatnya, “apakah reaksi, cara berpikir, sikap, dan tingkah lakunya dapat dipertanggung-jawabkan dan dibenarkan?”

Memang, mungkin di tengah krisis yang melanda seluruh bangsa ini, banyak orang, termasuk di antaranya orang-orang Kristen, yang bereaksi, dan mempunyai cara berpikir, sikap, dan tingkah-laku yang sulit dipertanggung-jawabkan. Iman Kristen yang seharusnya dapat teruji di tengah krisis, seringkali justru menghasilkan batu sandungan. Beberapa di antaranya adalah:

  1. Berkembangnya spirit racial-prejudice/prasangka negatif terhadap suku lain.

    Eric Hoffer dalam bukunya, The True Believer, pernah mengatakan bahwa: “dalam jiwa manusia, ada kecenderungan untuk menilai sebuah ras, sebuah bangsa, atau kelompok manapun yang tampak lain, berdasarkan anggota mereka yang paling brengsek.” Kecenderungan dari natur dosa ini bisa berkembang dengan subur di tengah krisis yang mengkambing-hitamkan kelompok etnis tertentu di Indonesia. Realitanya memang kelompok tersebut yang menjadi target utama penjarahan, perusakan, pembakaran dan penganiayaan di pertengahan Mei yang baru lalu. Selebaran-selebaran gelap yang ditemukan antara lain berbunyi, “Jika perjuangan mahasiwa ingin direstui, usirlah Cina dari negeri ini“ (Kompas, 1 Juni 1998). Demonstrasi anti-Cina in bisa membekali umat Kristen keturunan Tionghoa dengan prejudice yang sangat menduka-citakan Roh Kudus. Konseling mempunyai peran yang sangat besar. Targetnya bukan hanya dalam mengingatkan mereka akan kebenaran realita yang sesungguhnya (di mana penjarah dan para perusak bukanlah bangsa Indonesia pada umumnya yang cinta damai), tetapi yang terutama adalah mengembalikan kepada ajaran Injil Yesus Kristus di mana racial prejudice adalah dosa penolakan karya-Nya yang sudah merobohkan tembok-tembok pemisah antar bangsa (Roma 10:12, Gal 3:28, Kol 3:11).

  2. Melemahnya orientasi hidup yang utuh/wholistic. Dalam kumpulan doanya, Peter Marshall sebagai White House Chaplain, pernah berkata kepada Tuhan,

    "As we come together in prayer, O God, we know that there is nothing in our hearts, in our minds, or in our past that we can hide from Thee, for our lives are all of one peace in Thy sight not partitioned as we like to think. Therefore, deliver us from the error of seeking and expecting Thy guidance in our public lives while we close the door to Thee in our private living." "Pada saat kami datang menghampiri hadiratMu dalam doa, O Allahku, kami tahu tak ada satu halpun yang tersembunyi bagiMu, karena memang di hadapanMu seluruh kehidupan kami adalah satu keutuhan, bukan kepingan-kepingan terpisah seperti yang kami suka pikirkan. Oleh sebab itu, bebaskanlah kami dari kekhilafan untuk mengharapkan tuntunanMu hanya dalam kehidupan berbangsa tetapi lupa bahwa kami juga membutuhkan pertolonganMu dalam kehidupan pribadi kami." (“The Prayer of Peter Marshall,” NY” Guidepost, 1954, p. 129)

    Pada saat itu Peter Marshall sedang memimpin doa para Senator yang selama berminggu-minggu bergumul dengan masalah pelik yang menentukan hubungan antara Amerika dengan negara-negara sekutunya di Eropa. Seluruh pikiran dan perasaan para Senator dipenuhi dengan masalah tersebut dan Peter Marshall melihat bahayanya. Yaitu bahaya berpikir dengan orientasi yang tidak utuh lagi. Memang Allah memanggil mereka untuk mempertanggung-jawabkan iman mereka sesuai dengan profesi mereka sebagai politikus-politikus. Tetapi Allah juga pada saat yang sama memanggil mereka mempertanggung-jawabkan iman mereka dalam aspek-aspek kehidupan mereka yang lain. Baik itu dalam hubungan dengan gereja, keluarga, anak-anak dsb. Mereka adalah manusia yang selalu dalam keutuhannya berdiri di hadapan Allah.

    Begitu juga dengan orang-orang Kristen di tengah krisis. Bahaya yang besar di tengah krisis adalah berpikir dengan orientasi tidak utuh. Di tengah krisis seluruh hati, pikiran, perasaan, sikap, dan tingkah-laku semata-mata hanya difokuskan pada satu hal yaitu “krisis tersebut.” Akibatnya aspek-aspek hidup yang lain terbengkalai. Orang-tua tidak lagi mengajar anak-anak mereka. Keluarga tidak lagi dibina. Bahkan seluruh isi doa hanya tertuju pada penyelesaian krisis tersebut.

    Bahaya disintegrasi orientasi hidup ini melumpuhkan kehidupan iman orang percaya. Peran konselor menjadi penting sekali. Bukan hanya dalam mengingatkan orang-orang percaya akan kepentingan dari setiap aspek kehidupan dalam keutuhannya, tetapi juga dalam re-scheduling pembagian waktu, tenaga, pikiran, dan energi dalam aspek-aspek tersebut. Paulus mengatakan, “ . . . semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semua itu” (Fil 4:8). Setiap hal yang perlu dipikirkan, haruslah dipikirkan.

  3. Lenyapnya kesadaran berbangsa dan bernegara.

    Bagi mereka yang selama ini disebut “non-pribumi,” krisis kali ini bisa menjadi pukulan yang mematikan kesadaran berbangsa dan bernegara yang selama ini kondisinya sudah lemah terabaikan. Perasaan diperlakukan tidak adil yang selama ini telah membentuk spirit “asing di tanah airnya sendiri” sekarang bisa berkembang menjadi kesadaran diri yang kuat bahwa memang mereka “bukan orang Indonesia.” Krisis kepercayaan akan bertambah-parah, dan mereka bisa menjadi salah satu sumber kolusi yang makin parah di negara ini.

    Dalam hal ini, peranan konselor Kristen penting sekali. Pertama, mengingatkan mereka bahwa spirit hedonisme dan “style of life” yang selama ini dinikmati belum tentu hak mereka sendiri. Oleh sebab itu, kalau harta benda mereka sekarang berkurang, tidak selalu berarti bahwa mereka berhak untuk mendapatkannya kembali. Berarti, mereka perlu belajar menata hidup dengan “style of life” yang baru, yang dibangun atas keringat dan pertandingan hidup yang fair dengan sesamanya. Apa yang dihasilkan kelak adalah apa yang dipercayakan Allah kepadanya. Allah hanya mempercayakan kekayaan kepada siapa yang memang sanggup menjadi penatalayan-Nya. Kedua, menolong mereka memahami prinsip-prinsip kebenaran firman Allah tentang hak, tanggung-jawab dan kewajiban sebagai warga negara Indonesia. Kewajiban membayar pajak, menghormati pemerintah, dan mendukung dalam doa merupakan pertanggung-jawaban iman yang tak boleh diabaikan (Mat 22:21, Roma 13:1-7, I Pet 2:13-15). Terlepas dari kemungkinan bahwa jabatan Presiden sekarang ini hanya sementara, tetap prinsip Kristiani berlaku bahwa, “selama ia menduduki kursi ke-Presidenan, dialah hamba Allah.” Karena, “tidak ada pemerintahan yang tidak berasal dari Allah” (Roma 13:1). Oleh sebab itu, umat Kristen harus mendukung hal-hal yang baik dan mendoakan Habibie sebagai Presiden saat ini. Termasuk dalam: (a) ikut mengembalikan kepercayaan terhadap rupiah, pemerintah dan aparat negara, (b) ikut mengembalikan roda kehidupan masyarakat dengan kembali bekerja dengan semangat dan gairah yang tinggi, (c) ikut menciptakan suasana saling mempercayai dengan tidak menyebarkan gossips dengan kebenaran separoh yang tidak membangun, dan (d) ikut menciptakan sistim kerja yang bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.

Peran konseling Kristen, di tengah krisis yang melanda segala lapisan masyarakat Indonesia sekarang ini, besar sekali. Dan peran tersebut tak mungkin hanya dipegang oleh hamba-hamba Tuhan dan konselor-konselor Kristen yang professional. Jumlah individu yang menantikan pertolongan tak terhitung. Di antara anak-anak Tuhan, orang-orang Kristen saja, jumlah tersebut bisa mencapai ratusan ribu orang. Siapa yang akan menolong mereka?

Artikel Parakaleo ini adalah panggilan Allah untuk setiap pembaca. Sayup-sayup kita mendengar suara Tuhan yang berkata, “siapakah yang akan Kuutus, Siapakah yang mau dan rela pergi untuk Aku?” (Yes 6:8). Andalah orangnya. Jangan ragu-ragu. Jawablah seperti Yesaya yang berkata. “ini aku, utuslah aku” (ayat 8). Karena kita semua terikat sebagai anggota tubuh Kristus. Oleh sebab itu, “jika satu anggota menderita, semua anggota turut menderita” (I Kor 12:26). Hendaklah kamu saling membagikan pergumulan, saling mengaku dosa, saling mengajar dan saling mendoakan (Kol 3:16, Yak 5:16).

Dan, khusus bagi mereka yang melalui pergumulan dan pelayanan konseling ini menemukan dirinya terpanggil untuk menjadi professional konselor, silahkan dengan tidak ragu-ragu lagi menghubungi kami. Program Magister Konseling STTRII dengan alamat yang sama dengan buletin ini. Tuhan memberkati Anda!

Sumber
Halaman: 
--
Judul Artikel: 
Parakaleo (Edisi Apr. - Juni 1998)
Penerbit: 
Departemen Konseling STTRI

Komentar