Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I
Konseling Trauma
Bencana yang melanda Aceh membalikkan kehidupan yang damai dan bahagia menjadi kehidupan yang sangat menakutkan, bahkan nyaris tanpa harapan. Tayangan TV yang menampilkan wajah depresi para korban yang berhasil selamat dan kebingungan mencari anggota keluarga di antara reruntuhan bangunan dan ribuan mayat yang bergelimpangan, sungguh mozaik kehidupan yang sangat menyedihkan.
Bencana, di mana pun itu, selalu menebarkan kesedihan, ketidakpastian, dan keputusasaan yang mendalam. Untungnya, dalam kondisi seperti itu, rasa humanisme seluruh anak bangsa sontak diwujudkan dalam bentuk uluran tangan untuk segera memberikan bantuan pangan, obat-obatan, baju, dan sumbangan tenaga untuk mengevakuasi korban dan menguburkan jenazah. Bahkan dari seluruh penjuru dunia memusatkan perhatian pada saudara kita di Aceh.
Bantuan yang datang dari seluruh penjuru dunia menandakan ciri kemanusiaan warga dunia yang masih menghargai rasa kasih sayang antarsesama manusia. Dalam konteks itu, tidak ada lagi sekat budaya, agama, serta status sosial ekonomi; yang ada tinggallah rasa saling peduli dan rasa saling menyayangi tanpa syarat.
Jika dicermati, berbagai bentuk bantuan yang diberikan ke Aceh masih sebatas pemenuhan kebutuhan dasar, utamanya kebutuhan fisik: makan, minum, pakaian, dan kesehatan. Padahal kita tahu bahwa pascabencana, warga yang selamat banyak yang mengalami guncangan berat, stres, depresi, dan trauma.
Pemerintah memang sudah tanggap terhadap masalah ini, namun sayangnya baru bisa mengirim sepuluh orang dalam tim psikologi. Saat-saat seperti ini, yang dibutuhkan korban Tsunami bukan hanya kecukupan makan, minum, dan kesehatan, lebih dari itu, mereka juga membutuhkan kesehatan mental, stabilitas emosional, dan optimisme untuk memulai kehidupan baru pascakehilangan semua yang berarti dalam hidupnya. Karena itu, bantuan berupa layanan konseling trauma merupakan kebutuhan yang tidak kalah penting untuk diprioritaskan.
Guncangan Psikologis
Bencana gempa dan Tsunami telah merenggut kehidupan indah warga Aceh menjadi reruntuhan puing dan rasa kehilangan yang mendalam. Wajah-wajah sedih dan putus asa yang ditampilkan di TV adalah ekspresi emosional yang paling otentik atas kondisi traumatik dan ketidakberdayaan menghadapi dahsyatnya bencana.
Hal itu wajar dialami oleh siapa pun dan di mana pun ketika manusia berhadapan dengan bencana yang berada di luar kendalinya. Kondisi seperti itu bisa berakibat pada terguncangnya kestabilan jiwa seseorang; ada yang tabah dan pasrah, namun tidak sedikit pula yang rapuh dan tak mampu bertahan dalam kegalauan hidup, kesendirian, dan ketidakpastian.
Ada dua kondisi psikologis yang sangat berat yang saat ini dialami oleh para korban bencana yang berhasil lolos dari maut yang menjemput.
Pertama, mereka yang selamat memang bisa dikatakan beruntung, tapi di balik keberuntungan itu, masing-masing menanggung beban psikologis yang tidak ringan karena mereka kini harus hidup dengan trauma kehilangan sanak keluarga dan orang-orang yang dicintainya.
Kehilangan orang yang sangat berarti dalam hidupnya bisa dirasakan sebagai pukulan psikologis yang berat. Tidak semua orang sanggup mengatasi penderitaan dipisahkan secara paksa dari orang-orang yang dicintainya. Di sisi lain, mereka kini juga kehilangan pekerjaan dan akses usaha serta modal untuk melanjutkan hidup.
Kota yang seluruh bangunannya hancur rata dengan tanah jelas tidak menyisakan apa pun untuk memulai usaha baru atau mendapatkan pekerjaan baru, sementara itu modal untuk usaha juga sudah musnah ditelan gelombang.
Kedua, dalam kondisi yang serba sulit itu, mereka harus mampu segera bangkit dan melakukan penguatan diri sendiri, mengambil hikmah dari seluruh musibah itu untuk modal dasar memulai kehidupan baru dari titik nol, bahkan bisa jadi mereka harus memulai dari kondisi minus. Membangun kehidupan yang bermakna, butuh ketegaran jiwa dan keyakinan kuat atas kebesaran Allah dibarengi dengan usaha yang tak kenal lelah. Sekali lagi, meminjam istilah Stoltz (2002), hanya orang yang memiliki ketahanan tinggi yang sanggup segera bangkit.
Konseling Trauma
Konseling trauma merupakan kebutuhan mendesak untuk membantu para korban mengatasi beban psikologis yang diderita akibat bencana gempa dan Tsunami. Guncangan psikologis yang dahsyat akibat kehilangan orang-orang yang dicintai, kehilangan sanak keluarga, dan kehilangan pekerjaan, bisa memengaruhi kestabilan emosi para korban gempa. Mereka yang tidak kuat mentalnya dan tidak tabah dalam menghadapi petaka, bisa mengalami guncangan jiwa yang dahsyat dan berujung pada stres berat yang sewaktu-waktu bisa menjadikan mereka lupa ingatan atau gila.
Konseling trauma dapat membantu para korban bencana menata kestabilan emosinya sehingga mereka bisa menerima kenyataan hidup sebagaimana adanya meskipun dalam kondisi yang sulit. Konseling trauma juga sangat bermanfaat untuk membantu para korban untuk lebih mampu mengelola emosinya secara benar dan berpikir realistik.
Dengan modal emosi yang stabil dan keterampilan mengelola kehidupan emosionalnya, maka konseling trauma dapat dilanjutkan untuk membantu para korban untuk menemukan kembali rasa percaya diri yang sempat terkoyak tak berdaya dirampas bencana. Tidak mudah bagi setiap orang untuk bisa menerima kenyataan kehilangan istri, anak, atau pun suami. Bahkan ketika perasaan kehilangan yang amat dalam itu muncul, seseorang akan merasa hidupnya tidak berarti lagi. Keadaan inilah yang memicu munculnya kondisi putus asa (hopeless) dan tak berarti (meaningless) (Fromm, 1999). Hidup tanpa arti dan tanpa harapan akan sulit.
Oleh karena itu, membangun rasa percaya diri ditopang kestabilan emosional menjadi awal untuk berkembangnya kemampuan berpikir rasional dan realistik. Kestabilan emosional dan kemampuan berpikir rasional dan realistik merupakan dua tonggak utama yang sangat menentukan rekonstruksi Aceh masa depan. Berbagai bentuk perbaikan infrastruktur, pasokan uang, dan barang modal tidak akan berguna jika warga masyarakatnya belum mampu keluar dari trauma dan tidak mampu berpikir realistik untuk mengembangkan semangat hidup yang kuat.
Semangat hidup menjadi modal utama bagi para korban untuk sanggup bertahan dan menatap masa depan dari balik kehancuran hidup dan kesendirian. Dengan semangat hidup yang kuat, para korban akan terbebas dari belenggu keputusasaan dan ketidakberdayaan. Konseling trauma juga sangat bermanfaat dalam membantu para korban untuk mampu memecahkan masalah secara kreatif melalui hubungan timbal balik dan dukungan lingkungan.
Target dan Metode
Layanan konseling trauma pada prinsipnya dibutuhkan oleh semua korban selamat yang mengalami stres dan depresi berat, baik itu orang tua maupun anak-anak. Anak-anak perlu dibantu untuk bisa menatap masa depan dan membangun harapan baru dengan kondisi yang baru pula. Bagi orang tua, layanan konseling trauma diharapkan dapat membantu mereka memahami dan menerima kenyataan hidup saat ini; untuk selanjutnya mampu "melupakan" semua tragedi dan memulai kehidupan baru.
Di samping untuk menstabilkan kondisi emosional, layanan konseling trauma bagi orang tua idealnya juga memberikan keterampilan yang dapat dijadikan modal awal memulai kehidupan baru dengan pekerjaan-pekerjaan baru sesuai kapasitas yang dimiliki dan daya dukung lingkungan. Dengan demikian, mereka bisa sesegera mungkin menjalani hidup secara mandiri sehingga tidak terus-menerus menyandarkan pada donasi pihak lain.
Untuk mencapai efektivitas layanan, maka konseling trauma dapat dilakukan dengan dua pendekatan, yakni yang bersifat individual, khususnya untuk korban yang tingkat stres dan depresinya berat, sementara itu bagi mereka yang beban psikologisnya masih pada derajat sedang, dapat dilakukan dengan pendekatan kelompok.
Layanan konseling kelompok akan menjadi lebih efektif bila mereka juga difasilitasi untuk membentuk forum di antara sesama korban bencana. Lewat forum-forum yang mereka bentuk secara swadaya itulah nantinya mereka menemukan "keluarga baru" yang bisa dijadikan tempat untuk saling membantu keluar dari kesulitan yang memilukan.
Menyembuhkan luka psikologis memang butuh waktu yang panjang dengan serangkaian proses psikologis yang konsisten. Oleh karena itu, seyogianya pemerintah sesegera mungkin menerjunkan relawan yang bertugas memberikan layanan konseling trauma. Seiring dengan semakin lancarnya bantuan logistik, layanan konseling seharusnya sudah mulai diberikan. Memang bisa dipahami adanya kesulitan pemerintah untuk menurunkan tim konseling trauma karena tidak mudah mencari relawan yang memiliki basis ilmu pengetahuan dan pengalaman di bidang ini. Tapi bagaimanapun, layanan konseling trauma harus bisa diwujudkan untuk membantu para korban bencana. Perlu dicatat bahwa manusia tidak hidup hanya dengan makan dan minum saja, melainkan butuh sentuhan psikologis yang mampu menyalakan api kehidupan dalam dirinya. Pemerintah, lewat layanan konseling trauma, juga diharapkan memfasilitasi terwujudnya pengembangan komunitas di daerah bencana yang bisa menjadi forum silaturahmi antarwarga korban gempa. Jika hal ini dapat diwujudkan, maka rekonstruksi Aceh akan lebih cepat berhasil dan warga korban bencana mampu membangun ketahanan sosial atas prakarsa sendiri.
(Nugroho, doktor psikologi, Dosen Unnes, Sekretaris Dewan Riset Daerah Jawa Tengah).