Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I
Menaati Panggilan Tuhan (II)
Edisi C3I: e-Konsel 120 - Panggilan untuk Melayani Tuhan
Berikut ini merupakan sharing dari Sdr. Ing Ciek (I) dan Ibu Wulan (W) tentang pergumulan mereka sebelum masuk seminari dan menjadi hamba Tuhan. Perbincangan ini juga menghadirkan narasumber Pdt. Dr. Paul Gunadi Ph.D (P). Silakan menyimak, semoga menjadi berkat.
T : Masih adakah keraguan setelah setahun menenangkan diri dan merasa mantap masuk seminari?
J(W) : Kenyataannya ada beberapa kali, yaitu godaan dari luar berupa tantangan, dan dari dalam yaitu pergumulan dari dalam diri sendiri. Godaan dari luar beberapa kali memang ada terutama pada masa setelah berhenti bekerja. Tawaran atau panggilan untuk kembali bekerja dari perusahaan tempat bekerja dahulu atau tempat-tempat lainnya yang menjadi saingan masih sering menelepon dan menanyakan apa masih betah di seminari. Tidak ada keinginan untuk kembali dan lain sebagainya dengan segala macam iming-imingnya. Saya memang mau menjalani jalur ini dan masih teguh sekali. Pernah setahun setelah suami saya meninggal, mungkin dengan maksud baik, beberapa famili dan rekan kerja memikirkan bagaimana keadaan finansial saya. Ada dua orang yang khusus menawari saya bekerja kembali dengan gaji yang amat besar. Itu sempat membuat saya berpikir. Namun, tantangan itu tidak hebat dan tidak membuat saya mengundurkan diri. Sebenarnya, yang lebih berat adalah tantangan dalam diri sendiri. Pernah beberapa kali, ketika saya masih kuliah di STRRI ada masa-masa ketika selain banyak tugas yang susah dilakukan, juga ada masalah-masalah. Biasanya pada masa-masa seperti itu saya mempertanyakan apakah Tuhan benar-benar memanggil saya atau tidak. Saya sampai konsultasi dengan beberapa dosen hingga saya dikuatkan lagi. Itu pergumulan sewaktu kuliah di seminari. Kedua, beberapa tahun yang lalu ketika saudara saya masuk rumah sakit, saya merasa malu sekali karena tidak bisa membantu banyak dibandingkan dengan kakak saya ataupun yang lain-lain. Kalau mau jujur dikatakan, hal ini beda sekali waktu saya masih bekerja, saya bisa membantu banyak dan jujur, saya juga menikmati dihormati, dihargai. Namun, waktu saya tidak punya apa-apa "untuk bisa membantu", nyata sekali perbedaan sikap mereka terhadap kakak saya yang bisa memberi banyak daripada terhadap saya yang tidak bisa. Di situ saya bergumul berat sekali. Namun, saya tidak sampai mengundurkan diri. Yang terakhir berkaitan dengan kepergian suami saya secara tiba-tiba. Banyak pergumulan lain yang membuat saya benar-benar mempertanyakan apakah sungguh-sungguh Tuhan memanggil saya ataukah saya yang memaksa diri untuk menyerahkan diri menjadi hamba Tuhan. Bersyukur Tuhan menyediakan orang-orang yang menguatkan saya.
T : Dalam hal bergumul, keraguan itu juga sering dialami oleh mereka yang baru lulus dari studi dan melanjutkan ke dunia pekerjaan. Sering kali mereka merasakan seolah-olah sekolahnya salah sehingga sulit mencari pekerjaan. Bagaimana menghadapi hal-hal yang tiba-tiba muncul dan sebenarnya tidak siap dihadapi ini?
J(P) : Memang sampai titik tertentu, sebetulnya setiap kita mengalami atau harus menanyakan pertanyaan yang sama, yaitu apakah saya telah mengambil keputusan yang tepat. Kalau kita langsung mendapatkan hasil yang kita inginkan, sudah tentu kita tidak lagi mempertanyakan. Biasanya pertanyaan muncul tatkala hasil yang kita harapkan tidak terjadi. Dalam kasus menjadi hamba Tuhan, memang ada sedikit beban tambahan, yaitu sudah bekerja setelah sekolah, sekarang mau menjadi hamba Tuhan berarti harus masuk sekolah teologi kembali. Ini berarti pada masa menyiapkan diri menjadi hamba Tuhan, tidak bisa tidak, harus melepaskan pekerjaan dan tidak ada pekerjaan. Ini berlangsung 4,5-5 tahun. Masalahnya, bagaimana mencukupi kebutuhan keluarga pada masa studi ini ketika sungguh-sungguh memang tidak ada penghasilan?
(I) : Boleh dikatakan bergantung kepada iman dan pemeliharaan Tuhan, seperti ketika mencari sponsor dan hasilnya tidak begitu menggembirakan. Namun, ada satu hal yang memberi kekuatan, yaitu walaupun dalam perhitungan secara manusia, pemasukannya sangat beda sekali, tetapi setelah dijalani ternyata cukup dan kalau ada keperluan mendadak pasti ada penyediaan yang mendadak pula. Itu yang terjadi, ada satu pemeliharaan yang tidak terlihat pada saat itu juga.
T : Selain berkonsultasi dengan orang lain mengenai pergumulan tentang keraguan dan sebagainya, apakah ada hal lainnya?
J(W) : Pergumulan ternyata tidak semakin reda. Kalau mau jujur, sampai menyerahkan diri menjadi hamba Tuhan pun masih tersisa keraguan. Pendeta Josualli mengatakan bahwa kita-kita ini sebenarnya sering kali tidak terbuka di hadapan Tuhan, sering kali curang. Maksudnya, setiap orang yang mau memilih pekerjaan, misalnya, beberapa tawaran kita sortir menjadi sekian. Dari sekian ini, akhirnya kita bekerja di satu tempat. Bukankah tetap ada kemungkinan salah, walaupun perkiraan kita tepat dan sesuai dengan harapan kita? Dari sekian banyak peristiwa seperti itu, toh tidak membuat orang jera untuk tidak bekerja, tetap melamar dan tetap bekerja, kalau salah bisa dicoba lagi. Namun, mengapa ketika kita menyerahkan diri menjadi hamba Tuhan, untuk masuk ke seminari, perkiraan seperti itu beribu-ribu kali lipat dibandingkan waktu kita bekerja yang biasa? Pada saat itu kita benar-benar tidak adil di hadapan Tuhan.
T : Apakah ada hal lain yang bisa dilakukan oleh seseorang dalam menghadapi pergumulan seperti ini, selain berkonsultasi dengan orang lain dan dia sendiri juga tentunya berdoa di dalam pergumulannya?
J(P) : Sebetulnya yang ingin Tuhan lakukan dalam hidup kita adalah melenyapkan ego kita. Itu adalah proyek Tuhan yang pertama dan yang terutama dalam hidup kita. Dia mau mengikis habis kita sehingga benar-benar Dialah yang menempati seluruh sudut kehidupan kita dan kita benar-benar menjadi hamba dalam pengertian yang sesungguhnya. Seorang hamba kehilangan haknya, kehilangan hidupnya, mengabdi sepenuhnya kepada Tuhan. Dia menginginkan pengabdian total dan untuk membayar pengabdian total itu kita memang harus kehilangan diri kita. Tuhan memang menyediakan atau mengizinkan kita melewati kesulitan, kebingungan-kebingungan yang memang seolah-olah pada tahap pertama itu menggoyahkan iman kita. Namun, sesungguhnya, tujuan Tuhan bukan menjatuhkan, melainkan menguatkan kita, dalam pengertian kita lebih benar-benar bisa menanggalkan diri dan sepenuhnya bersandar pada Tuhan. Tuhan benar-benar akan mengambil semua topangan sehingga kita tidak lagi memiliki topangan. Ketika tidak ada lagi topangan, kita hanya bisa lari kepada Tuhan. Jadi, dalam masa-masa pergumulan itu kita memang mesti sepenuhnya bersandar kepada-Nya, bahwa Dialah Allah, yang berkuasa, yang akan mencukupi kebutuhan kita meskipun kita tidak mengerti bagaimana Dia akan melakukannya.
T : Bagaimana kalau keraguan itu terjadi setelah seseorang menjadi pendeta, menanggalkan jubahnya sebagai pendeta dan bekerja seperti biasa, tetapi pada suatu saat kembali menjadi pendeta lagi?
J(P) : Mungkin saja itu adalah bagian dari rencana Tuhan untuknya. Namun, selain itu, kita juga melihatnya dari sudut manusia. Keseringan, kita akhirnya kehilangan perspektif dalam mengikuti Tuhan atau iman kita melemah. Karena iman melemah, godaan dan tawaran muncul. Seolah-olah itu adalah jalan keluar dari kesulitan yang sedang kita hadapi. Jadi, mungkin inilah faktor penyebab yang lebih umum mengapa sebagian hamba Tuhan pada akhirnya meninggalkan panggilannya dan masuk lagi menjadi seorang awam.
Diambil dan disunting seperlunya dari: | ||
Nama situs | : | TELAGA |
Alamat situs | : | www.telaga.org |
Judul transkrip | : | TELAGA - Kaset T147B |
Penulis artikel | : | Pdt. Dr. Paul Gunadi |