Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I

Moralitas Anak Berkembang dari Waktu ke Waktu

Cuuraaanngg!!" Teriak Tino pada adiknya, Ruli seraya merubuhkan seluruh buah catur dari atas papan catur. Sejenak kemudian terdengar teriakan dan tangisan Ruli yang ditimpali oleh baku pukul di antara keduanya.

Permainan dan cara anak bermain seringkali merupakan petunjuk yang baik mengenai moralitas anak. Apa yang anak anggap sebagai benar atau salah, curang atau adil, memberikan gambaran kepada kita tentang bagaimana anak menilai dunianya. Hal ini telah lama diselidiki oleh mendiang Lawrence Kohlberg, seorang pakar pendidikan moral terkemuka di dunia. Menurut Kohlberg, perkembangan moral anak terkait dengan perkembangan cara berpikir (kognitif) anak. Artinya, semakin tinggi tingkat perkembangan berpikir anak, semakin besar pula potensi anak mencapai tingkat perkembangan moral yang lebih baik. Meskipun demikian, belum tentu anak yang mempunyai kecerdasan tinggi akan dengan sendirinya memiliki tingkat perkembangan moral yang baik pula.

Masih harus pula ditambahkan bahwa tidak berarti anak yang mempunyai konsep moral tinggi akan mempunyai perilaku moral yang baik pula. Jadi, anak yang tahu bahwa berlaku licik itu tidak baik tidak dengan sendirinya akan lurus terus tindakannya. Namun paling tidak, anak yang kepekaan moralnya tinggi akan mempunyai potensi lebih besar untuk bertindak dengan prinsip etis yang lebih jelas, konsisten, dan bermutu. Selain itu, yang penting diingat adalah bahwa dasar dari moral kita adalah pengenalan yang benar akan hakekat Allah. Sekalipun kita tidak mungkin dapat mengenal Allah sampai sedalam-dalamnya, paling sedikit kita perlu membaca penyataan Diri Tuhan di dalam Alkitab sedemikian rupa sehingga kita mengenal lebih banyak hakekat kesucian, keadilan, dan kemahakuasaan Allah.

Pemahaman terhadap cara anak memberikan keputusan etis akan sangat menolong kita untuk membantu anak memperoleh kepekaan moralitas yang tinggi. Kita dapat menolong anak kita memahami apa yang Allah hargai dari kita sesuai dengan tingkat pemahaman yang mereka capai. Dengan begitu, kita juga akan mengurangi ketegangan yang tidak perlu ketika kita menjelaskan tentang hukuman dan ganjaran Allah kepada orang percaya.

Acapkali dalam menjelaskan mengenai prinsip etika dan moral dalam Alkitab, kita mengalami kebingungan menjawab pertanyaan anak. Masalah yang sering kita hadapi adalah bahwa kita sendiri bingung karena tidak menemukan benang merah prinsip moral yang konsisten. Kita misalnya kesulitan memahami mengapa Allah lebih mengasihi Yakub dibanding Esau, padahal secara lahiriah Esau sebenarnya lebih lugu dan lebih berbakti pada orangtua. Kita juga heran mengapa Rahab yang dalam pandangan kita adalah wanita yang ‘kurang berharga’ dan ‘tidak bermoral’ ternyata memperoleh penghargaan sedemikian tinggi dari Tuhan dan mendapat kehormatan menjadi salah seorang nenek moyang Yesus Kristus.

Sebenarnya masalah yang tampak sulit ini dengan mudah terpecahkan bila kita telah mencapai tingkat pemahaman moral yang lebih tinggi. Bila kita memahami bahwa Esau melakukan tindakan yang mementingkan saat ini yang bersifat kedagingan dan memandang rendah berkat Tuhan yang bersifat kekal, rasa heran dan ketegangan kita akan berkurang. Kita dapat memahami bagaimana gusarnya Tuhan karena Esau ternyata sanggup menukarkan hak kesulungan dengan semangkuk sup kacang merah (Ibrani 12:16). Kita pun akan gusar bila misalnya kita memberikan emas 10 gram kepada anak kita dan dia menukarkan emas itu dengan segelas Coca Cola karena ia kehausan. Ini hanya sekedar contoh bagaimana perasaan seseorang bila diperlakukan demikian oleh orang lain. Bayangkan bagaimana kecewanya Tuhan tatkala berkatNya yang bersifat kekal itu ditukar sedemikian mudah dengan sesuatu yang sangat tidak berharga dan sementara. Kita juga dapat melihat bahwa Tuhan menghargai Rahab karena imannya (Ibrani 11:31). Padahal Rahab adalah seorang pelacur dan merupakan bangsa kafir yang menjadi musuh Israel pula. Penjelasan mengenai iman Rahab yang menyebabkan Rahab dibenarkan Allah dapat dibaca pada kitab Yakobus 2:24-26.

Persoalan lain adalah bahwa anak acapkali salah menangkap apa yang kita ajarkan. Dapat saja seorang anak menganggap dirinya nakal atau berdosa ketika ia (maaf) buang air di celana. Sebaliknya, anak mungkin merasa tidak bersalah ketika mengambil milik orang lain tanpa sepengetahuan sang pemilik. Kemarahan, hukuman, pujian, hadiah yang diberikan orangtua seringkali ditangkap secara salah karena anak hanya melihat satu aspek tertentu saja dari apa yang diajarkan orangtuanya. Demikian pula lingkungan sosial anak yang acapkali kurang konsisten mengajarkan suatu nilai tertentu mungkin saja membuat anak melakukan kesalahan tanpa merasa bersalah. Namun faktor penyebab ketidaksesuaian pandangan anak-anak dengan orang dewasa terutama terletak pada keterbatasan anak mencerna prinsip-prinsip moral.

Proses menuju kematangan berpikir moralistis memerlukan waktu dan dasar pijakan moral yang lebih sederhana sebagai landasannya. Hal tersebut menuntut kesabaran orangtua untuk membimbing anaknya tahap demi tahap. Kita tidak boleh berharap bahwa anak dengan sendirinya akan mengerti apa yang baik dan yang jahat pada saat mereka dewasa nanti tanpa bimbingan orangtua. Peran orangtua sangatlah penting dalam perkembangan moralitas anaknya.

Ada beberapa hal yang dapat kita amati dari pengertian anak akan baik dan buruk. Berdasarkan pengertian ini kita dapat mengetahui tingkat perkembangan moral anak. Dengan demikian kita dapat memberikan pengajaran yang tidak membingungkan mereka.

Sedikitnya ada 4 aspek perkembangan moral yang dapat kita lihat pada anak kita:

1. Perkembangan dari pemahaman mengenai ‘kuantitas’ menuju ke ‘kualitas’
Ketika anak mulai mengenal larangan orangtua, ia cenderung menilai dosa atau kesalahan berdasarkan besar-kecilnya akibat perbuatan yang ditimbulkannya. Misalnya, anak menganggap bahwa menjatuhkan beberapa gelas secara tidak sengaja lebih besar dosanya daripada menjatuhkan satu gelas secara sengaja. Pada tahap awal perkembangan moral, anak tidak memperhitungkan unsur motivasi. Baru pada usia yang lebih besar, ia mulai memahami bahwa kualitas suatu perbuatan harus diperhitungkan dalam menilai benar-salah. Yesus memuji janda miskin yang mempersembahkan seluruh nafkahnya, sekalipun secara jumlah, persembahan janda miskin ini lebih kecil daripada persembahan orang lain (Markus 12:23-24). Pujian Yesus menunjukkan tingkat pemahaman moralitas yang lebih tinggi yang menghargai kualitas dan motivasi.

2. Perkembangan dari ‘ketaatan mutlak’ menuju ‘inisiatif pribadi’
Pada mulanya seorang anak akan menaati apa yang dikatakan orangtuanya. Inilah kesempatan terbaik orangtua untuk mengajarkan apa yang harus diajarkannya, karena masa ini akan cepat berlalu. Setelah itu, anak akan lebih terikat dengan perjanjian-perjanjian. Pada tahap ini anak akan bermain dengan peraturan yang dapat diubah sesuai perjanjian sebelumnya. Karena itu, teriakan ‘curang’ sewaktu anak bermain akan terdengar keras ketika peraturan bersama ini dilanggar. Anak juga sangat peka terhadap ketidakkonsistenan orangtua bila orangtua melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan yang diajarkannya. Bagi mereka, orangtua pun seharusnya terikat dengan peraturan yang mereka tetapkan bagi anak-anaknya. Bila perkembangan moral anak berjalan baik, pada usia remaja akhir anak telah memiliki prinsip moral yang menjadi miliknya pribadi dan yang mengarahkan tingkah lakunya. Anak tidak mudah lagi dipengaruhi lingkungannya. Sebaliknya, anak akan melakukan perbuatan berdasarkan prinsip moral yang dimilikinya. Inisiatif pribadi ini nyata dalam perkataan Yesus yang meminta kita mengasihi musuh kita, juga untuk berjalan dua mil bila kita dipaksa berjalan satu mil (Matius 5:38-46). Tingkat moral ini lebih tinggi daripada ‘mata ganti mata dan gigi ganti gigi’.

3. Perkembangan dari ‘formalitas’ menuju ‘intensionalitas’
Yesus mengatakan;"Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi."(Matius 22:37-40). Perkataan Yesus yang juga mengutip kitab Ulangan 6:5 ini menunjukkan tingkat pemahaman moral orang Farisi yang lebih mementingkan ketaatan kepada hukum tertulis daripada motivasi yang mendorong ketaatan terhadap hukum Taurat. Kita boleh saja melakukan semua kewajiban dan upacara agama. Namun tanpa kasih kepada Allah maupun sesama, tindakan kita seringkali hanya berarti kemunafikan besar. Sebaliknya, tindakan kita bisa salah. Namun sama seperti Yakub, kita dibenarkan karena mempunyai iman yang benar. Tentu saja pada akhirnya kasih kita kepada Allah dan sesama seharusnya mendorong kita menghasilkan buah perbuatan baik. Dalam hal ini perbuatan baik adalah akibat dari iman dan bukan upaya untuk memperoleh pembenaran Allah. Maksud di balik perbuatan seseorang haruslah menjadi perhatian pula dalam tugas orangtua mendidik anaknya. Dengan demikian anak dapat memahami bahwa yang dikehendaki Allah yang terutama bukanlah kebajikan lahiriah atau persembahan kita, melainkan hati yang mengasihi Allah.

4. Perkembangan dari ‘kepentingan diri’ menuju ‘kepentingan orang lain’
Tahap awal perkembangan moral anak adalah egosentris, karena anak masih memusatkan perhatian pada dirinya. Tujuan suatu perbuatan adalah kesenangan pribadi dan kenikmatan. Bila perkembangan berjalan baik, barulah pada usia yang lebih dewasa individu dapat melihat kepentingan orang lain dalam melakukan tindakan moralnya. Bukan itu saja, pengorbanan kepentingan diri dapat dilakukan demi kesejahteraan orang lain. Pada tahap ini individu baru dapat mengerti lebih mendalam perkataan Yesus dalam Yohanes 10:11-12; "Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya; sedangkan seorang upahan yang bukan gembala, dan yang bukan pemilik domba-domba itu sendiri, ketika melihat serigala datang, meninggalkan domba-domba itu lalu lari, sehingga serigala itu menerkam dan mencerai-beraikan domba-domba itu."

Dalam tulisan ini tidak dicantumkan pada usia berapa kurang lebih anak akan memperoleh tahap perkembangan tertentu. Hal ini karena cukup sulit menentukan perkiraan usia perkembangan moral. Meskipun demikian, ada beberapa prinsip yang dapat kita pegang.

Pertama, pada usia balita, anak perlu memperoleh pengenalan akan peraturan dalam keluarga melalui orangtuanya. Sekalipun pemahaman anak mengenai moral masih bersifat sederhana, pada usia yang sangat muda pun, anak sudah mampu mengenali rasa bersalah dan dapat diajak menyesali dosanya di hadapan Tuhan.

Kedua, pada usia balita hingga kanak-kanak akhir, orangtua sebaiknya tidak memperkenalkan dualisme dalam kehidupan moral. Dunia yang dikenal anak pada usia demikian bersifat hitam-putih dan ideal. Mereka akan bingung misalnya, bila mereka diperbolehkan bahkan disuruh berbohong pada suatu saat, namun dilarang berbohong dan dihukum di saat lain. Mereka membutuhkan pengajaran dan teladan yang konsisten dan dapat dipercaya. Ketika anak sudah memahami benar tentang arti intensi di balik suatu perbuatan (maksud tersembunyi dari suatu tingkah laku yang tampak), barulah ia dapat diajak berdiskusi mengenai dilema moral. Pada tahap ini, anak baru memahami bahwa ada peraturan yang wajib kita taati, ada yang tidak. Namun setiap pelanggaran mempunyai konsekuensinya. Anak tetap harus diberitahu bahwa ada peraturan yang bagaimanapun tidak boleh dilanggar. Pada saat anak memasuki usia remaja dan mulai kritis terhadap segala sesuatu, anak perlu mengetahui bahwa kenyataan hidup ada kalanya memaksa kita untuk memilih, kepada siapakah kita harus taat. Remaja perlu diajak untuk berpikir lebih luas dan lebih menyeluruh. Dalam konteks ini, mereka dapat diajak untuk berdiskusi tentang ketaatan mutlak kita pada Allah, sebagaimana Petrus dan Yohanes bersaksi di hadapan sidang para pemuka agama Yahudi; "Silakan kamu putuskan sendiri manakah yang benar di hadapan Allah: taat kepada kamu atau taat kepada Allah. " (Kisah Para Rasul 4:19). Konteks perkataan ini dikemukakan adalah dalam hal pemberitaan Injil. Apapun larangannya, kita tetap wajib mengabarkan Injil kepada orang lain. Itu adalah perintah Tuhan yang harus kita taati.

Ketiga, tujuan pendidikan moral adalah agar anak bertanggung jawab penuh atas perilaku moralnya suatu ketika nanti. Dalam hal ini, tanggung jawab moral yang dimaksud tidak sekedar menghormati hak orang lain yang bersifat universal, melainkan didasarkan pada ketaatan akan Allah sebagaimana yang diwahyukan di dalam Alkitab.

Keempat, baik peraturan keluarga maupun pengajaran yang kita berikan hendaknya didasarkan pada rasa takut kepada Allah. Kehidupan di hadirat Allah inilah yang seharusnya menjadi bingkai kehidupan moral keluarga. Dengan demikian, kita patut mempertimbangkan kembali perilaku anak mana yang perlu memperoleh perhatian kita dan mana yang kurang perlu ditekankan. Sebagai contoh, kita perlu lebih menekankan kerajinan dan kejujuran lebih daripada nilai baik ulangan anak kita. Banyak orangtua yang terlalu menekankan nilai baik tidak tahu bahwa anaknya menyontek dan melakukan kecurangan dalam ulangan. Bahkan cukup banyak orangtua yang memberikan suap kepada guru agar anaknya naik kelas sekalipun anaknya itu tidak pantas untuk naik kelas. Pendidikan keluarga sebagaimana contoh tersebut tentunya akan menciptakan masalah perilaku moral dalam hidup anak, karena salah memberikan tekanan pada aspek moral.

Sumber
Halaman: 
--
Judul Artikel: 
Buletin Eunike (Edisi 21)
Penerbit: 
--

Komentar