Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I

Bagaimana Mengatasi Rasa Bersalah yang Mendalam?

Edisi C3I: e-Konsel 086 - Mengatasi Rasa Bersalah

Pertanyaan:

Bu, terus terang, saat ini saya tidak tahu persis apa yang harus saya katakan. Saya bingung, takut, sedih, merasa sangat bersalah, campur aduk.

Saya anak pertama dari 3 bersaudara. Ayah sangat ingin saya menggantikannya dan meneruskan pekerjaan di toko kelontongnya yang cukup laku. Saya tidak mau, bahkan tidak menyukai pekerjaan seperti itu. Kami sering bertengkar, dan untuk menghindarinya saya jarang di rumah, kebanyakan ke gereja atau main dengan teman. Hubungan saya dengan ayah memang tidak dekat.

Bu, tiba-tiba ayah saya meninggal, katanya serangan jantung, tetapi saya kira dia meninggal karena saya. Malam itu saya diminta untuk menjaga toko, tetapi saya tidak mau. Memang dia diam saja, rupanya dia asyik membaca koran dan saya langsung pergi karena sudah ada janji dengan teman. Tahu-tahu malam itu saya dicari ke mana-mana karena ayah masuk rumah sakit. Jam 22.00 WIB saya baru kembali dan ayah sudah tidak ada.

Bu, saya anak durhaka, ayah meninggal karena saya. Ibu dan adik-adik semua marah kepada saya. Saya tidak tahu, Bu, sekarang saya harus bagaimana?

Jawab:

Saya bisa memahami perasaan campur aduk, khususnya rasa bersalah yang Anda alami karena suara hati nurani yang terus-menerus menuduh Anda. Meskipun secara rasionil Anda bisa mengemukakan berbagai alasan, di pihak lain Anda tahu ada banyak kebaikan yang sebetulnya dapat Anda lakukan untuk menyenangkan hati ayah. Sebagian besar keinginan ayah sebenarnya dapat Anda penuhi, tetapi Anda berkeras hati dan selalu tidak memenuhinya. Itulah sebabnya, sekarang Anda merasa sangat bersalah. Apalagi orang yang membuat Anda memiliki rasa bersalah itu tidak dapat dihidupkan lagi. Kemungkinan, untuk bersujud dan meminta maaf kepadanya, seolah-olah sudah tertutup selamanya. Bahkan Anda merasa ikut andil dalam kematian ayah.

Meskipun demikian, saya harap Anda berhati-hati dengan sikap Anda terhadap diri sendiri. Perasaan Anda di tengah kondisi yang seperti ini harus diwaspadai karena Anda berada di persimpangan jalan. Anda bisa berdukacita dengan "godly sorrow"/dukacita surgawi sehingga menghasilkan pertobatan (2Korintus 7:10) atau Anda bisa berduka dengan dukacita orang yang tak berpengharapan (1Tesalonika 4:13). Dukacita yang kedua ini hanyalah menifestasi self- blaming/menyalahkan diri seperti yang dikatakan John Donne bahwa "...any man`s death diminishes me, because I am involved in mankind"[1]/setiap kematian menekan saya, karena saya terlibat dalam kehidupan manusia.

Pada akhirnya, dengan dukacita yang keliru ini Anda akan tenggelam dalam kesedihan dan menghukum diri sendiri. Semoga Anda tidak melakukan hal ini, karena Anda bisa membuka diri untuk gejala lain yang lebih buruk yang Freud sebut pathological[2]/tidak sehat lagi. Yang terpenting bagi Anda sekarang ini adalah membuktikan diri bahwa Anda mencintai ibu dan adik-adik. Kekuatiran dan kebingungan Anda memang wajar karena Anda masih bingung, peran apa yang akan Anda ambil sekarang ini. Anda belum biasa memikul tanggung jawab seorang dewasa, oleh sebab itu mulailah dengan langkah-langkah pertama yang konkrit dulu, yaitu mengisi peran ayah dan mengupayakan supaya toko kelontong yang ayah banggakan itu tidak hancur. Olin & Olin mengatakan dengan tepat bahwa "the transition from having little awareness and then acceptance of owning up to the responsibility of directing one`s life is a gradual process. Bereavement can enhance this process"[3]/dukacita yang sehat seharusnya menghasilkan proses kehidupan yang baik, yaitu transisi dari kurangnya kesadaran sampai kemudian bisa menerima serta memiliki tanggung jawab dalam kehidupan.

Anda belum terlambat, dan jangan menolak kesempatan yang Tuhan berikan pada Anda untuk menunjukkan tanggung-jawab pada seluruh keluarga. Kiranya Tuhan menolong dan menguatkan Anda pada masa-masa yang sulit ini.

Sumber
Halaman: 
3 - 4
Judul Artikel: 
Parakaleo, Edisi Januari-Maret 2002, Vol. IX/1
Penerbit: 
Departemen Konseling STTRI, Jakarta, 2002

Published in e-Konsel, 03 May 2005, Volume 2005, No. 86


Komentar