Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I

Kamu Membuat Saya Sangat Marah

Study By: Richard L. Strauss

Saat ini Sabtu siang. Seharian anda membersihkan rumah untuk kedatangan tamu dihari minggu—menghisap debu karpet, menyikat lantai, menggosok piring, menggosok peralatan lainnya. Sekarang sudah siap untuk diperiksa, tapi yang terjadi tidak seperti itu. Sebaliknya, anak perempuan Anda masuk ke dalam dari pantai dan berkata “Hai, ma,” dan terus berjalan sepanjang rumah meninggalkan jalur pasir dibelakangnya.

Sebelum Anda mendapat kesempatan buka mulut, suami Anda masuk dari garasi di mana dia sedang membetulkan transmisi mobil, dan dengan tangan kotor dia mendekorasi ulang tempat cuci, lemari es, dan 2 gagang pintu, serta susunannya. Seperti sudah direncanakan dengan sempurna oleh seseorang yang membenci Anda, Johnny 10 tahun, pada saat yang sama, tidak bisa mengendalikan kodok besarnya yang dari lumpur di pekarangan. Itu membuat tanda di atas sofa ruang tamu yang sudah putih bersih.

Ledakannya pasti luar biasa — yang terburuk dalam sebulan. Anda berteriak, memanggil nama mereka, menuduh mereka melakukan hal yang tidak bertanggung jawab, mengeluhkan status Anda sebagai budak dan mengancam untuk keluar. Mereka membuat Anda sangat marah!

Ledakannya sudah lewat sekarang. Suasana tenang dan diam, tapi tegang. Semua orang kelihatannya menghindari Anda. Anda merasa sepi dan tertolak, dan sangat bersalah. Anda melakukannya lagi; Anda membiarkan kemarahan Anda tidak terkontrol, dan itu menjauhkan Anda dari orang yang Anda kasihi.

Kemarahan! Beberapa orang menyebutnya kutukan terbesar dalam hubungan antar pribadi. Ayah mungkin marah, yang paling mengerikan dalam keluarga. Dia membesar-besarkan jika seseorang mengganggu acara nonton TV atau membaca Koran, atau meninggalkan peralatannya berkarat. Mungkin salah satu anaknya memutuskan sekringnya jika dia tidak mendapatkan keinginannya.

Rumah bukan satu-satunya tempat mempertunjukan kemarahan. Kita melihatnya di tempat kerja, tetangga, di lapangan pertandingan, bahkan dalam pertemuan dewan gereja dan pertemuan bisnis jemaat.

Apa pandangan Tuhan tentang kemarahan? Mari kita lihat firman-Nya, menemukan apa itu kemarahan, apa yang dilakukan dan bagaimana seharusnya kita menghadapinya.

Apa Itu Kemarahan?

Kamus "Dictionary" mendefinisikan kemarahan sebagai “perasaan ketidaksenangan yang kuat dan biasanya bermusuhan.” Sebagian kata PL ini sama dengan kata yang digunakan untuk lubang hidung, atau napas yang berat. Ada 2 kata utama dalam PB, satu menunjuk pada nafsu yang tersembur keluar, dan yang lain rangkaian pikiran yang tetap. Tuhan tidak senang dengan keduanya. Dia menyuruh kita untuk menyingkirkan keduanya. “Segala……, kegeraman, kemarahan, …….hendaklah dibuang dari antara kamu,…….” (Efesus 4:31; lihat juga Kolose 3:8).

Tapi yang aneh adalah Tuhan menyuruh kita dalam konteks yang sama untuk marah. “Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa: janganlah matahari terbenam, sebelum padam amarahmu” (Ephesians 4:26). Kata ini dalam Yunaninya harus ditaati, bukannya “Dalam kemarahanmu jangan berdosa” atau “saat marah jangan berdosa” seperti kebanyakan diterjemahkan, tapi secara literal “Marahlah”. Tuhan marah tentang beberapa hal, dan orang Kristen juga harus begitu.

Yesus memberikan teladan. Ada seorang yang membutuhkan di sinagoge. Dia memiliki tangan yang lumpuh yang Yesus bisa sembuhkan. Orang Farisi mengawasi Yesus, berharap Dia akan menyembuhkan orang itu agar mereka bisa menuduh Dia melanggar hari Sabat. “Ia berdukacita karena kedegilan mereka dan dengan marah Ia memandang sekeliling-Nya kepada mereka lalu Ia berkata kepada orang itu: Ulurkanlah tanganmu! Dan ia mengulurkannya, maka sembuhlah tangannya itu” (Markus 3:5). Yesus marah terhadap kemunafikan yang membuat aturan agama lebih penting daripada menunjukkan belas kasih kepada orang yang membutuhkan. Jadi Dia melakukan hal kasih, peduli, dan menyembuhkan orang itu, walau itu bertentangan dengan aturan mereka. Ketidakpedulian, tidak peka seperti itu yang menyamar jadi rohani seharusnya membuat kita marah, seperti kejahatan dan ketidakadilan. Itu kemarahan Tuhan yang baik dan benar.

Apa perbedaannya, antara kemarahan yang benar dan berdosa? Kita mengusulkan beberapa perbedaan. Di satu sisi, kemarahan yang benar pasti tidak egois. Sementara kemarahan yang berdosa itu egois. Itu muncul saat keinginan, kebutuhan, atau ambisi kita tidak berjalan, saat permintaan kita tidak dipenuhi, saat harapan kita tidak tercapai, saat keberadaan kita terancam, saat harga diri kita diserang, atau saat kita malu, diremehkan atau tidak nyaman. “Kenapa dia tidak melakukan apa yang saya perintahkan?” “Kenapa dia tidak membersihkan kotoran yang dia lakukan saat selesai?” Itu semua tidak menyenangkan bagi kita.

Perbedaan kedua adalah kemarahan yang benar selalu terkontrol, sedangkan kemarahan berdosa sering tidak terkontrol. Itu menyebabkan kita mengatakan dan melakukan hal yang akan kita sesali kemudian, hal yang seharusnya tidak dikatakan atau lakukan saat terkontrol.

Perbedaan ketiga adalah kemarahan yang benar terarah pada tindakan berdosa atau keadaan yang tidak adil, sementara kemarahan berdosa sering terarah pada orang. Tuhan ingin kita membenci dosa tapi mengasihi orang berdosa, seperti yang dilakukan-Nya. Dan itu berarti memperlakukan orang berdosa dengan cara yang baik dan peduli. Kemarahan berdosa memukul orang.

Perbedaan terakhir adalah kemarahan yang benar tidak dendam atau bermusuhan, dan tidak membalas. Kenyataannya, perlu tindakan positif untuk memperbaiki kesalahan dan menyembuhkan perbedaan dan perselisihan. Kemarahan berdosa, sebaliknya menabur kepedihan dan mencari permusuhan. “Dia tidak akan lolos dari hal ini.” Jadi kita membuat dia membayar. Kemarahan itu mengharuskan dia menghukum orang, dan memberi bekas luka, atau dengan diam, atau dengan gosip jahat yang kita sebarkan, atau kita mencoba memisahkan dia dengan temannya. Kemarahan berdosa ingin menyakiti, bahkan menghancurkan.

Tuhan ingin kita marah, tapi atas masalah yang tepat, pada waktu dan cara yang benar. Dia ingin kita menyingkirkan semua kemarahan yang berdosa. Jika kita jujur, kita mau mengakui setidaknya kurang dari 2 persen dari kemarahan kita adalah kemarahan yang benar, sementara yang 98 persen adalah kemarahan yang berdosa. Itu adalah kemarahan berdosa yang akan kita bahas dalam bab ini … perasaan berdosa, egois, benci terhadap orang yang tidak menyenangkan bagi kita.

Apa yang Dilakukan Kemarahan?

Jika seseorang memegang Anda dan mulai berteriak pada Anda dengan marah karena Anda tidak sengaja menginjak jempol kakinya, beberapa perubahan psikologis akan terjadi dalam tubuh Anda. Adrenalin akan terpompa ke dalam aliran darah. Tekanan darah dan denyut jantung akan meningkat. Mata akan membesar dan otot menegang. Itulah cara tubuh mempersiapkan diri untuk keadaan krisis tiba-tiba. Respon itu langsung terjadi. Itu terjadi entah Anda mau atau tidak. Itu bisa berupa campuran keterkejutan, takut, khawatir, dan marah, tetapi kemarahan yang ini tidak berdosa. Tuhan membangun kemampuan berespon seperti itu ke dalam diri Anda. Pertanyaannya adalah, apa yang akan Anda lakukan dengan gelombang kemarahan pertama Anda? Pilihannya harus Anda tentukan. Anda memiliki beberapa saat untuk menilai keadaan, proses dan data dan membuat respon Anda. Apa yang akan terjadi?

Jika Anda memutuskan bahwa Anda pantas mencurahkan kemarahan, bahwa Anda pasti dibenarkan kalau melakukannya, mungkin Anda akan berteriak juga, berkeras kalau itu tidak disengaja, atau itu salahnya sendiri. Beberapa psikolog berkata bahwa kemaraha itu baik bagi kita, keluarkanlah dan bebaskan tekanan itu. Masalahnya adalah dengan mengeluarkan kemarahan membuat tubuh harus menjaga keadaan darurat, jadi itu membuat kemarahan semakin mengalir. Lebih jauh, itu membentuk kebiasaan dalam otak Anda untuk bereaksi dengan kemarahan, dan itu menyulitkan usaha menyingkirkan kemarahan yang berdosa, seperti yang dikatakan Alkitab.

Lebih jauh, jika kita mengizinkan keadaan darurat itu terus berlanjut, itu mengurangi kemampuan kita untuk berpikir sehat dengan jelas, dan akhirnya menghancurkan keseimbangan kimia dalam tubuh kita dan membuat kita sakit. Dokter mengusulkan agar hal seperti migrain, kelenjar yang tidak berfungsi dengan baik, radang usus besar, gondok, tekanan darah tinggi, bisul, serangan jantung, sakit punggung, rematik, arthritis, alergi, gangguan pencernaan, asma, dan banyak penyakit lain bisa disebabkan secara emosi.

Tapi hal yang sama seriusnya adalah fakta bahwa kita akan menjauhkan orang dari kita, seringkali orang yang paling kita kasihi. Mereka yang paling kita tuntut, di mana harapan kita pada mereka paling tinggi. Akibatnya, mereka menjadi objek kemarahan kita. Sangat tidak masuk akal jika kita membanjiri mereka dengan kemarahan dan meminta mereka membanjiri kita dengan kasih. Mereka juga manusia. Dan prinsip dasar manusia yang dinyatakan Alkitab adalah kemarahan mengakibatkan kemarahan. “Jawaban yang lemah lembut meredakan kegeraman, tetapi perkataan yang pedas membangkitkan marah” (Amsal 15:1). “Si pemarah membangkitkan pertengkaran, tetapi orang yang sabar memadamkan perbantahan” (Amsal 15:18). “Si pemarah menimbulkan pertengkaran, dan orang yang lekas gusar, banyak pelanggarannya.” (Amsal 29:22).

Ada banyak pertengkaran dan perselisihan dalam gereja dan keluarga Kristen sekarang ini karena umat Tuhan tidak mengatasi kemarahan mereka. Kita mendengar orang berkata, “Tapi dengan marah baru saya bisa mendapat jawaban.” Jadi mereka saling berteriak dan menjadikan itu alasan. Tapi firman Tuhan berkata “…sebab amarah manusia tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah” (Yakobus 1:20). Kita tidak mengerjakan apa pun dari kemarahan kecuali teladan yang menyedihkan bagi generasi berikut.

Bagaimana Mengatasi Kemarahan

Ada beberapa cara berbahaya dalam mengatasi kemarahan. Kita sudah menyebut ekspresi yang tak terkendali dan kehancurannya. Tapi ada yang lain. Salah satu yang paling umum adalah dengan menyangkalinya. Kita mengatakan pada diri kita bahwa orang Kristen tidak seharusnya marah. Saya seorang Kristen, jadi sudah alami kalau saya tidak marah. Saya prihatin, kecewa, terluka, tapi tidak marah.

Saya membayangkan bahwa sebagai orang Kristen tidak boleh marah, jadi saya menyangkalinya, atau menekannya di dalam, sehingga kemarahan itu memakan bagian tubuh saya, membuat saya secara fisik sakit atau membuat saya tertekan. Saya menyimpannya sampai tekanan begitu besar sehingga meledak keluar dengan tidak pada tempatnya, sehingga mengakibatkan hal serius, atau saya menahannya sampai saya bisa mengarahkan itu pada objek yang tidak berbahaya. Bos bisa memecat saya, jadi saya tidak melawannya. Saya pulang rumah dan berteriak pada istri. Dan istri saya berteriak pada anak-anak. Dan mereka menendang kucing kami. Dan kucing mencakar bayi, yang sedang mengembangkan paru-parunya sehingga bisa membuat hidup lebih sengsara bagi semua orang.

Jika kita tidak membiarkan kemarahan kita meledak, kita bisa membiarkannya mengalir dengan cara yang tidak disadari, seperti sering terlambat, atau membakar makanan, atau menghindari orang, atau mencibir, atau menggoda, menjadi sarkastik, lupa mengingatkan atau kebiasaan lain yang membuat orang lain tahu kalau kita sedang marah pada mereka. Hal itu tidak bisa membangun. Ada cara yang lebih baik untuk mengatur kemarahan kita. Paulus menyuruh untuk membuangnya. Tapi bagaimana? Itulah pertanyaan yang perlu dijawab. Marilah saya berikan beberapa usulan.

Hal pertama yang bisa kita lakukan adalah mengakui kemarahan kita dengan jujur dan menerima tanggung jawabnya. Itu mungkin sulit dilakukan jika kita sudah menekannya atau menolaknya dalam hidup kita. Tapi ini penting. Belajar bertanya pada diri sendiri “Apa yang saya rasakan saat ini? Apakah saya marah pada orang itu atas perlakuannya? Kemudian akui itu. Bukannya “kamu membuat saya marah.” Itu merupakan percobaan menyalahkan orang lain, dan itu tidak adil bagi mereka. Tidak ada yang bisa membuat kita seperti itu! Mereka bertanggung jawab atas tindakan mereka sendiri, tapi kita bertanggung jawab atas perasaan kita. Kita memilih untuk marah. Kita memilih untuk mengampuni, bertindak baik, bicara halus atau berkelakar. Akan tetapi, jika kita memilih untuk marah, kita harus mau mengatakannya: “Saya merasa marah karena kamu bicara seperti itu pada saya.” Kita tidak memberi sarkasme, merendahkan, tuduhan, hanya pernyataan yang jujur. Kita merasa marah.

Sungguh menakjubkan tekanan bisa dilegakan oleh pengakuan seperti itu. Tapi banyak orang tidak pernah berpikir untuk sejujur itu. Mereka tidak pernah melihat teladan selain dari kemaraan yang tak terkendali, sehingga mereka tidak tahu bagaimana menjadi jujur terhadap hal itu. Paulus berkata kalau kita harus bicara kebenaran (Efesus 4:25). Yakobus berkata kita harus mengakui kesalahan kita kepada sesama (Yakobus 5:16). Cobalah. Saat Anda melakukannya, baik untuk menyatakan keinginan Anda atau untuk mengatasi kemarahan. Katakan seperti ini, “Saya tidak ingin marah dengan Anda. Saya tidak suka diri saya saat marah seperti ini. Saya ingin merasa dekat dengan Anda dan mengasihi Anda.” Ini bisa memperlancar proses penyembuhan.

Usulan kedua untuk menghilangkan kemarahan itu adalah dengan melihat sebabnya. Tuhan ingin kita berpikir dengan baik dan seksama sebelum kita bicara. Banyak bagian Alkitab meneguhkan hal ini (bandingkan Yakobus 1:19; Amsal 12:16; 14:29; 16:32; 19:11; 29:11). Jawabannya tidak menghitung sampai sepuluh, tapi dipikir. Hal terbaik yang bisa terpikir mungkin alasan dari kemarahan kita. Sebagian besar kemarahan bisa dilihat dari kebutuhan dan keinginan kita. Dua orang psikiatris Kristen mengusulkan beberapa sebab umum: (1) Keegoisan: tuntutan egois kita tidak terpenuhi; (2) perfectionism: harapan kita yang perfeksionis tidak terpenuhi yang membuat kita marah pada diri sendiri dan orang lain; (3) Kecurigaan: kita salah mengartikan motivasi atau maksud orang lain. Kita pikir mereka mengabaikan kita, merendahkan atau melawan kita. Kita ingin orang memperlakukan kita dengan tepat dan kita marah saat mereka tidak melakukannya, jadi langkah penting untuk mengatasi kemarahan kita adalah mengidentifikasi apa yang kita inginkan darinya.

Apakah perhatian, rasa hormat, pengakuan, penghargaan, pertimbangan atau kasih yang ingin aku dapatkan? Apakah saya ingin didengar, pendapat saya dihargai, permintaan saya dianggap penting? Apakah saya ingin dilihat sebagai orang yang bertanggung jawab? Apakah saya ingin milik saya ditangani dengan baik? Apakah saya ingin orang lebih memperhatikan perasaan saya, atau kenyamanan saya? Kita semua menjadi marah karena kita mengharapkan seseorang memenuhi keinginan kita, dan mereka gagal. Jadi, identifikasilah keinginan itu.

Itu membawa kepada langkah ketiga dalam mengatasi kemarahan. Ampuni kesalahan mereka dalam memenuhi harapan kita. Kita harus mengampuni mereka saat kita menyadari betapa Tuhan telah mengampuni kita. Pengampunan bisa menghapuskan kemarahan keluar dari hidup kita. Kemarahan sering membalas kesalahan orang lain terhadap kita. Tapi jika kita mengampuni, kita membayarnya sendiri. Dan karena mereka dibayar, maka tidak ada alasan untuk marah lagi.

Sebagian dari orang Kristen bergumul dengan kemarahan karena kita memiliki pengertian yang lemah akan anugrah Tuhan. Kita hidup dalam dunia hukum, dan kita pikir kita harus melakukan sesuatu untuk bisa mendapat kelayakan oleh Tuhan. Jadi, kita mengharapkan yang lain untuk melakukan tuntutan perfeksionis kita sebelum mereka mendapat penerimaan kita. Jika mereka gagal, kita pikir kita punya hak menghukum mereka dengan kemarahan. Tuhan telah menerima dan mengampuni kita, bukan atas dasar performance kita tapi atas dasar anugrah-Nya.

Saat kita mengerti betapa besar dosa kita, dan betapa hebat kasih karunia-Nya, kita akan berhenti meminta bayaran dari orang lain saat mereka gagal memenuhi harapan kita. Kita akan mampu mengampuni, dan kemarahan kita akan terselesaikan. Kita akan membahas pengampunan dan tempatnya dalam hubungan kita dengan yang lain dalam bab berikut. Tapi dengan kata-kata singkat ini, kita sudah siap dengan obat pencegahan.

Langkah keempat dalam mengatasi kemarahan kita adalah menyatakan keinginan kita secara terbuka. Jika kita ingin sesuatu dari mereka yang dekat dengan kita, atau merasa kita membutuhkan sesuatu dari mereka, kita seharusnya mengatakannya. Jangan memainkan main petak umpet: “Jika kamu mengasihi aku, kamu pasti tahu keinginanku.” Katakan dengan jelas, apa pun itu. “Sayang, saya ingin pergi makan malam ...” “Sangat penting bagi saya jika kamu meletakan baju kotor di keranjang.” “Saya suka jika kamu menyambut saya dengan gembira saat pulang rumah. Itu membuat hidup satu hari saya ...” “Saya ingin kamu mengatakan “Aku cinta kamu,” atau “Aku minta maaf, aku salah,” atau “terima kasih.”

Kadang orang gagal memenuhi keinginan kita karena mereka benar-benar tidak tahu apa itu. Beberapa orang protes karena saya memberikan usulan ini pada mereka: “Tapi saya sudah memberitahu padanya ribuan kali. Itu tidak berarti apa-apa.” Kita mungkin telah merengek, mengeluh, dan menuduh ratusan kali. Tapi itu hanya membangkitkan permusuhan dan penolakan. Kita perlu menjelaskan apa yang kita inginkan secara langsung, tenang, baik, dan dengan kasih. Dan itulah perbedaannya! Coba bicarakan itu, bagikan apa yang Anda inginkan dan kenapa itu penting bagi Anda.

Adalah baik bagi kita jika menjalani keseluruhan proses ini sebelum tidur — akui kemarahanmu, lihat alasannya, ampuni kesalahan orang lain dan nyatakan keinginanmu. Lihatlah kembali. “Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa: janganlah matahari terbenam, sebelum padam amarahmu” (Efesus 4:26). Jangan membangun permusuhan. Bicarakan hal yang membuat anda marah, dan lakukan itu sebelum hari berakhir jika mungkin. Saat kita membiarkan itu terus ada, itu akan tertimbun tanggung jawab sehari-hari dan menjadi cacing yang membusukan hubungan.

Mungkin kita harus mengingatkan Anda sekali lagi bahwa saat Anda mengatakan keinginan Anda, Anda harus memberikan orang lain kebebasan untuk memenuhinya atau tidak. Anda ingin kebebasan dari mereka, bukan? Jadi berikan kebebasan yang sama kepada mereka. Tolak untuk mengurung mereka dalam harapan dan tuntutan Anda, memanipulasi mereka untuk sesuai dengan kehendak Anda, atau membuat mereka merasa bersalah jika mereka gagal. Serahkan semua harapan Anda kepada Tuhan dan biarkan Dia memberikan itu melalui mereka hal yang Dia ingin Anda dapatkan. Roh Tuhan akan menggunakan sikap itu untuk menghilangkan kemarahan dari kehidupan Anda.

Usulan terakhir untuk mengatasi kemarahan adalah mencari pertolongan Tuhan dan orang lain. Ini mungkin langkah terpenting dari semuanya. Bicarakan pada Tuhan tentang kemarahan Anda. Minta Dia memberikan Anda kejelasan pengertian tentang alasannya, keinginan untuk mengatasinya, kemauan untuk mengampuni orang lain dan menyerahkan harapan Anda kepada-Nya. Kemudian undang orang lain untuk mengatasinya dengan meminta mereka memberitahu Anda kalau mereka merasa Anda marah. Saya minta istri saya melakukan itu, dan saya suka terkejut, dia cukup sering melakukannya. Itu menghentikan saya. Tapi biasanya saya harus mengakui, “Ya, saya merasa marah sekarang.” Kemudian saya minta Tuhan menolong saya mengatasi itu, sekarang juga. Itu sangat luar biasa, saat saya ingat melakukannya!

Kemarahan adalah karya daging, natur dosa (lihat Galatia 5:19-20). Itu datang secara alami. Tapi Tuhan ingin kita untuk berubah, dan Dia bisa menolong kita. “hiduplah oleh Roh, maka kamu tidak akan menuruti keinginan daging” (Galatia 5:16). Hidup di hadapan Tuhan, bergantung pada kuasa-Nya. Minta Dia membuat Anda peka terhadap kemarahan dan menolong Anda mengatasinya. Minta pasangan Anda, anak Anda dan teman Anda saat mereka merasakan kemarahan ada dalam Anda, kemudian berbalik pada Tuhan untuk kuasa kemenangan-Nya agar kemarahan dihilangkan dari Anda, seperti perintah Tuhan.

Sumber:

  • 8 Frank B. Minirth and Paul D. Meier, Happiness Is A Choice (Grand Rapids, Michigan: Baker Book House, 1978), p. 150.
  • bible.org, tanggal akses 1 September 2011

Komentar