Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I
Kepribadian Konselor yang Alkitabiah
Edisi C3I: e-Konsel 327 - Kepribadian Konselor
Mengabarkan Injil kepada Sesama
Seorang konselor alkitabiah haruslah seorang pewarta karena firman Tuhan memerintahkan kaum beriman untuk mewartakan Injil (Matius 28:19-20; Markus 16:15; dan Kisah Para Rasul 1:8). Tanpa pewartaan Injil, tidak perlu ada konseling karena mereka yang non-Kristen tidak dapat memberikan konseling alkitabiah. Dengan tegas Adams menyatakan bahwa kita hanya dapat melakukan prakonseling terhadap kaum non-Kristen, untuk mempersiapkan mereka menerima kasta keselamatan melalui hubungan konseling. Jadi, melalui Alkitab, konselor harus mampu menunjukkan kepada orang lain bagaimana mereka bisa mendapatkan karunia kehidupan kekal. Seorang konselor yang tidak sedih apabila melihat nasib jiwa-jiwa yang tersesat di kehidupan kekal nanti, akan kehilangan fokus utama kehidupan Kristus dan fokus semua pelayanan.
Keberhasilan mewartakan Injil tidak diukur dari hasil, melainkan diukur dari kecermatan dan keakuratannya dalam menyajikan Injil. Ini termasuk semua segi yang membuat kita mampu menyajikan Injil. Orang yang rajin membangun jembatan-jembatan hubungan dengan orang lain akan berhasil dalam pewartaan, kendatipun ia belum menyajikan Kabar Baik tersebut. Untuk memperindah penyajian Injil, seorang pewarta perlu mampu berperan menjadi segala sesuatu bagi semua orang karena hal ini juga merupakan bagian dari keberhasilan penyajiannya. Demikian pula, apabila seseorang hanya membangun jembatan-jembatan tanpa pernah membawa satu pesan pun sewaktu melintasi jembatan tersebut (mungkin karena ia sendiri gagal, takut, atau lalai), maka usahanya juga tidak akan membawa hasil.
Pewartaan Injil itu penting, terutama untuk konseling alkitabiah karena apabila konseli tidak dapat merasakan (belum merasakan) bahwa imannya dapat menyelamatkannya, maka tidak akan terjadi banyak kemajuan dalam proses konseling. Konselor mungkin menggunakan Alkitab untuk membantu sesama memperbaiki situasi mereka, tetapi ia juga harus selalu memberi tahu para konseli yang belum diselamatkan bahwa mereka tidak pernah mencapai semua keberhasilan yang sangat diinginkan Tuhan, sebab mereka tidak mendapatkan bantuan dari Roh Kudus yang tinggal di dalam diri setiap orang yang percaya. Mereka akan menerima tujuan yang jauh lebih kecil dari yang dimiliki Alkitab karena mereka tidak dapat memahami firman-Nya. Keberhasilan dalam hal-hal seperti ini mungkin dianggap sebagai perbaikan situasi, namun kita tidak dapat menganggapnya sebagai perubahan ke arah memuliakan Tuhan. Dalam proses menyelesaikan persoalan sehari-hari, konselor tidak boleh mengabaikan masalah konseli yang lebih besar dalam mendapatkan hidup kekal.
Menjadi Guru bagi Sesama
Konseling alkitabiah sebenarnya merupakan perluasan dari melakukan tugas kerasulan. Tidak ada perbedaan tajam di antara keduanya. Mungkin melakukan tugas kerasulan digambarkan sebagai tindakan mengajarkan semua prinsip dasar ajaran Kristen kepada seorang beriman, sementara konseling menggunakan semua prinsip tersebut untuk mengatasi situasi tertentu dalam kehidupan seseorang. Konseling yang paling produktif tumbuh dari pelayanan tugas kerasulan seseorang setelah keselamatan, dan mengajari berbagai prinsip dasar menjalani kehidupan kristiani kepada orang tersebut. Para konselor alkitabiah yang hendak melihat kehidupan orang lain berubah, haruslah menjadi guru yang agresif.
Melayani Sesama
Yesus tidak datang ke dunia ini untuk dilayani, melainkan untuk melayani (Matius 20:28). Apabila Tuhan yang menciptakan datang untuk melayani semua ciptaan-Nya, tentunya pelayanan yang seharusnya dilakukan oleh orang-orang yang diciptakan-Nya jauh lebih besar. Pelayanan konseling tidak boleh difokuskan untuk mendapatkan penghasilan, melainkan untuk memberikan pelayanan. Untuk terciptanya integritas dan keautentikan konseling alkitabiah, sikap melayani sesama amat penting. Konselor harus menjadi pelayan di rumah, di gereja, bahkan dalam posisinya sebagai seorang pemimpin.
Menghadapi Kecaman
Salah satu cara terbaik supaya berhasil dalam menanggulangi kecaman adalah dengan menghadapi kecaman tersebut sebagai kesempatan untuk belajar. Menjadi murid dari kecaman yang Anda terima, terutama bilamana Anda merasa tidak bersalah. Kendatipun membela diri atau mencoba membuat si penuduh melihat bahwa kita memang tidak bersalah, merupakan tanggapan yang alami apabila kita beranggapan bahwa kita tidak bersalah; namun sebaiknya kita mempelajari cara menanggulanginya untuk mendapatkan kesimpulan. Kita perlu menanyakan kepada penuduh apa yang dilihatnya sehingga ia melancarkan tuduhan tersebut. Dari jawaban yang diberikannya, kita dapat mengetahui seperti apa cara kita memandang atau berbicara kepada orang lain yang kita ajak berkomunikasi. Mungkin pemikiran dan motif-motif kita sama sekali tidak salah; akan tetapi, karena kurang berhati-hati, maka yang kita sampaikan berbeda.
Misalnya, Anda dituduh telah marah kepada seorang konseli. Sewaktu mengingat kembali acara konseling terdahulu, mungkin Anda tidak ingat lagi semua kemarahan atau kekecewaan Anda kepadanya selama diskusi. Namun, setelah Anda menanyakan apa yang telah membuat orang itu berpikir bahwa dahulu Anda marah, Anda baru mengetahui bahwa sewaktu bercakap dahulu, Anda mengomelinya tampak resah dan suara Anda menjadi lebih keras daripada biasanya. Konseli menafsirkan semua tanggapan nonverbal ini sebagai cara memperlihatkan amarah. Meskipun Anda tidak marah, Anda dapat mengerti mengapa konseli merasa Anda marah, dan Anda dapat memutuskan untuk lebih berhati-hati dalam memantau suara serta ekspresi wajah Anda di masa mendatang.
Apabila Anda ditantang, janganlah lari melainkan bertekadlah untuk belajar dari konflik tersebut. Cara membela diri terbaik adalah meminta pihak pengecam supaya mempertahankan kecamannya, sementara Anda mencoba mempelajarinya. Amsal 29:1 memperingatkan kita tentang mengabaikan teguran. Dalam 1 Samuel 16, Daud memandang kecaman Simei terhadap dirinya sebagai kecaman yang diarahkan oleh Tuhan demi kebaikannya. Kita perlu mengingatkan diri sendiri bahwa Tuhan mengendalikan semua kecaman yang kita terima, dan mungkin Ia telah mencegah kecaman tersebut apabila Ia berpendapat bahwa itu yang terbaik. Apabila Ia membiarkan kecaman tersebut dilontarkan, berarti kecaman tersebut untuk kebaikan kita dan keuntungan dari kecaman tersebut. Dengan mengamati cara kita belajar dari kecamannya ketimbang membela diri, si pengecam akan melihat tanggapan kita yang alkitabiah.
Cara terbaik untuk mempertahankan ketidaksalahan kita adalah dengan membiarkan berbagai fakta membuktikannya, dan fakta-fakta tersebut hanyalah fakta yang dapat diamati. Kita dapat meminta penantang untuk memberikan semua fakta yang membuatnya berkesimpulan seperti dugaannya, lalu menanyakan bagaimana ia dapat mengesahkan kesimpulan tersebut; pada saat bersamaan kita mengingatkan orang tersebut bahwa semua kesimpulannya tentang berbagai sikap kita itu, didasari oleh dugaan-dugaan bukan fakta-fakta yang sebenarnya, karena itu tidak dapat diperlakukan sebagai fakta. Dengan menunjukkan bahwa kita tidak takut apabila rasa tidak bersalah itu diperiksanya secara cermat; cara tersebut merupakan pembelaan terbaik bagi rasa tidak bersalah itu, bahkan di saat tuduhan tersebut mengancam integritas kita. Dalam 1 Petrus 2:12 dan 3:16 diajarkan bahwa watak ilahi adalah pertahanan terbaik terhadap tuduhan yang keliru. Apabila tidak ada yang kita sembunyikan atau kita rasakan sebagai sesuatu yang memalukan, biarlah mutu watak Anda diteliti dengan cermat. Watak Anda yang ilahi akan membuktikan ketidaksalahan Anda.
Diambil dan disunting seperlunya dari: | ||
Judul asli buku | : | Intoduction to Biblical Counseling |
Judul buku terjemahan | : | Pengantar Konseling Alkitabiah |
Judul bab | : | Disiplin Spiritual dan Konselor Alkitabiah |
Judul asli artikel | : | Hubungan dengan Sesama |
Penulis | : | John F. MacArthur, Jr., Wayne A. Mack, dan Staf Pengajar Master's College |
Penerjemah | : | Tim Penerjemah Gandum Mas |
Penerbit | : | Gandum Mas, Malang 2002 |
Halaman | : | 185 -- 188 |