Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I

Keuntungan Penanganan Kelompok

Edisi C3I: e-Konsel 159 - Konseling dalam Kelompok

Konseling kelompok kecil sangat efektif dalam menangani masalah psikologis seperti halnya masalah antarpribadi. Masalah antarpribadi telah menjadi fokus utama terapi kelompok pada masa lalu. Misalnya, orang-orang berketerampilan sosial buruk sering terbantu melalui sesi kelompok untuk mengembangkan pola interaksi yang lebih sehat, supaya lebih bersentuhan dan membicarakan masalah sambil saling memberi dorongan. Untuk pengembangan hubungan antarpribadi semacam itu, kelompok kecil berfungsi sebagai laboratorium atau lokakarya keterampilan kelompok yang efektif.

Masalah psikologis bisa ditangani pada saat yang bersamaan dengan masalah antarpribadi. Harry Stack Sullivan dan pencetus teori hubungan antarpribadi lainnya menunjukkan bahwa pada saat orang-orang menyatakan dirinya dalam hubungan sosial, mereka juga mencerminkan dinamika yang mendasari fungsi internal mereka. Karena itu, orang-orang lebih mudah mengungkapkan masalah yang terjadi dalam diri mereka sendiri dalam situasi kelompok kecil. Pada saat mereka menangani masalah tersebut dalam situasi antarpribadi yang menerima dan mendukung, mereka berkembang menjadi pribadi yang semakin utuh sementara mereka mengembangkan dinamika antarpribadi yang sehat.

Alasan penting untuk mempertimbangkan pendekatan konseling kelompok adalah efisiensi. Melalui konseling tradisional, satu orang dilayani satu konselor, dua puluh orang yang membutuhkan kontak akan memerlukan dua puluh pertemuan. Mungkin separo dari jumlah penduduk yang berusia antara 20 -- 30 tahun sedang mengalami stres psikologis yang berat. Dengan begitu banyaknya permintaan konseling profesional, pilihan satu orang dilayani satu konselor tidak realistis untuk setiap pertemuan. Format konseling kelompok dengan satu pemimpin atau fasilitator untuk enam sampai delapan peserta merupakan pelayanan yang cukup fleksibel dan memberi kesempatan kepada lebih banyak orang untuk mendapatkan konseling.

Dalam situasi kelompok, orang-orang diperhadapkan dengan banyak stimulasi atau opsi baru untuk perilaku mereka. Jika respons tersebut dilakukan dalam kelompok, hal itu bisa diteguhkan sehingga mereka memunyai kemungkinan yang lebih besar untuk mencapai perilaku yang baru. Enam sampai delapan model perilaku yang ditawarkan oleh anggota kelompok membuat perilaku baru lebih mudah disatukan ke dalam gaya hidup seseorang. Jadi, meskipun situasi satu lawan satu lebih menjamin kerahasiaan, situasi kelompok menyediakan model perilaku baru yang lebih baik untuk ditiru seseorang dalam hidupnya sendiri.

Kelompok kecil juga menawarkan keuntungan sentuhan perasaan terharu. Dalam budaya Barat, pentingnya emosi atau perasaan sudah begitu diabaikan. Laki-laki dalam budaya kita didorong untuk menyangkal perasaan mereka dan dihimbau untuk menyalurkan hal itu ke "saluran yang lebih produktif". Perempuan didorong untuk tidak jujur atau tulus dengan emosi mereka, dan hal itu sering kali menuntun pada keadaan histeris atau pelepasan emosi yang tidak sesuai. Karena tidak punya pengalaman dengan ungkapan perasaan yang sesuai, seseorang mengalami kesulitan untuk menjalin hubungan yang intim dengan orang lain, termasuk pasangannya. Format konseling kelompok bisa mengurangi ketakutan untuk mengungkapkan emosi dan menawarkan pelatihan ulang dalam pengungkapan emosi yang lebih sesuai.

Kelompok Pertemuan

Pada akhir tahun 1960-an dan 1970-an, ada gerakan yang kuat untuk membentuk kelompok pertemuan, kelompok kecil yang kadang-kadang memberikan tekanan terapetik. Biasanya kelompok semacam itu, yang masih hidup di beberapa kampus, menekankan kejujuran dan hubungan yang intim dengan anggota kelompok lainnya. Kelompok yang serupa itu bisa ditemukan di banyak kota metropolitan saat ini.

Apakah kelompok semacam itu menguntungkan? Kelompok itu bisa membantu orang-orang melakukan "sharing" lebih banyak, tetapi juga bisa berbahaya. Beberapa orang mungkin tidak mampu bersikap jujur. Kadang-kadang para peserta saling menyerang melalui kata-kata atau melekatkan label yang dangkal untuk anggota kelompok lainnya.

Salah satu penulis teks ini terlibat dalam kelompok pertemuan selama masa kuliahnya. Semua peserta adalah orang Kristen dan hampir semua mengambil jurusan psikologi atau sosiologi. Kami bertemu sekali seminggu di apartemen profesor dan menanti-nantikan saat kami bisa saling terbuka sepenuhnya. Ada saatnya ketika seseorang mendapatkan wawasan yang baru disertai dengan ungkapan tangisan atau perasaan yang hangat. Alkitab merupakan hal utama dalam diskusi dan ikatan kasih Kristen yang kuat dirasakan setiap anggota kelompok.

Salah satu anggota kelompok juga terlibat dalam kelompok pertemuan sekuler di universitas yang dekat dari tempat itu. Ia melaporkan bahwa di kelompoknya ada sikap saling melecehkan melalui kata-kata, termasuk penghinaan dan kata-kata cabul. Dari ceritanya, tujuan kelompok tampaknya adalah saling merobek yang diharapkan akan diikuti dengan perkembangan diri yang lebih realistis.

Kelompok pertemuan dan kelompok lain yang serupa itu mungkin bisa bersifat positif atau negatif. Jika Anda memutuskan terlibat dalam kelompok semacam itu, pastikan untuk mengikuti panduan untuk kelompok kecil.

Panduan Kelompok Kecil

Sudut pandang bab ini sangat konsisten dengan penggunaan kelompok kecil untuk tujuan terapetik seperti dilakukan oleh Roger (1970). Namun, ada beberapa bahaya dalam kelompok kecil yang perlu dikenali (Back, 1972). Bahaya tersebut diminimalkan jika panduan tertentu diikuti.

  1. Hindari pelabelan perilaku dan orang-orang. Pelabelan mengubah persepsi seseorang tentang orang lain dan diri mereka sendiri dan mungkin menghambat pengungkapan diri dengan jujur.

  2. Buatlah partisipasi verbal sebagai kegiatan yang sukarela bagi anggota kelompok. Jangan memaksa orang lain memberi pendapat tentang satu topik tertentu.

  3. Pastikan kelompok memiliki pemimpin yang baik, yang mampu bertanggung jawab jika situasi lepas kendali.

  4. Jagalah kerahasiaan. Ekspresi bebas dalam kelompok harus didorong, tetapi apa yang dibahas tidak boleh keluar dari kelompok. Hal ini membutuhkan kedewasaan sikap anggota.

  5. Hindari sikap mempermalukan atau menjadikan seseorang sebagai pusat perhatian. Bersikaplah ramah dalam kejujuran Anda.

  6. Hanya anggota yang emosinya seimbang yang boleh dilibatkan. Orang-orang yang memiliki masalah emosional yang berat membutuhkan konseling profesional dan mungkin konseling kelompok dengan orang-orang lain yang terganggu emosinya.

  7. Jagalah dasar kerohanian kelompok. Buatlah pemahaman Alkitab dan doa sebagai kegiatan rutin.

Kepemimpinan Kelompok yang Efektif

Pemimpin dalam situasi konseling kelompok harus menunjukkan karakteristik tertentu, yang terutama adalah sehat secara mental. Lebih disukai, pemimpin itu sendiri sudah berpengalaman dalam terapi kelompok dan terlatih dalam kepemimpinan kelompok kecil.

Pemimpin harus mengambil peranan sebagai fasilitator dan memindahkan kelompok dari orientasi belajar yang terstruktur secara tradisional ke orientasi belajar melalui proses (lihat catatan di akhir artikel ini).

Dalam proses belajar tradisional, peranan ditentukan dengan tepat: pemimpin adalah guru atau sumber informasi, sedang pendengar adalah murid-murid. Pemimpin dipandang sebagai penguasa yang harus dihormati dan dipandang sebagai orang yang paling ahli. Proses belajar dalam situasi seperti itu biasanya didasarkan pada sikap menghargai otoritas pemimpin, artinya, pada seberapa baik mereka menunjukkan penguasaan materi dan kemampuan mereka untuk memberikan jawaban. Sering kali pemimpin menjawab berdasarkan informasi abstrak yang tidak diperoleh dalam konteks kelompok itu.

Sebagai bandingan, fasilitator seharusnya adalah pemimpin yang berorientasi pada proses, yang peranannya adalah menyediakan jaringan hubungan yang semakin berkembang sebagai hasil interaksi partisipasi. Pemimpin bisa menjadi pelajar dan pelajar bisa menjadi pemimpin. Fungsi utama pemimpin adalah mengarahkan fokus terus-menerus pada masalah yang ada, bukan yang bersifat abstrak. Pemimpin harus merumuskan masalah dan membantu merumuskan masalah, tetapi ia tidak perlu menjadi ahli. Pemimpin tidak menyediakan jawaban. Komitmen kepada kelompok dipandang sebagai komitmen pada proses belajar. Peserta mengembangkan keterampilan menyelesaikan masalah dan standar untuk solusi mereka sendiri.

Dalam kelompok belajar melalui proses, peserta biasanya berorientasi pada keinginan untuk menyelidiki dan mengembangkan mekanisme penyelesaian masalah itu sendiri. Dalam cara belajar tradisional, di mana anggota-anggota bekerja dengan faktor eksternal dan abstrak, mereka berusaha mendapatkan informasi sebanyak mungkin dari pemimpin, yang menentukan apa yang harus mereka pelajari. Bukannya menemukan diri mereka sendiri melalui waktu yang dilewatkan dalam kelompok, peserta mengukur diri mereka sendiri dengan membandingkan dengan pemimpin yang menjadi tipe ideal, dan berorientasi untuk mencapai prestasi yang diharapkan pemimpin. Dalam format belajar tradisional, murid-murid menghadapi masalah bagaimana menyimpan dan menggunakan informasi yang disediakan oleh ahli. Mereka sering kali merasakan kebutuhan untuk menjadi sempurna dan memenuhi harapan orang yang ahli. Motivasi menjadi masalah dan murid mungkin melupakan banyak materi yang dipelajari selama sesi tradisional.

Sebagian besar materi yang disampaikan di kelas, jika tidak diulang, hilang dalam waktu satu atau dua hari. Sebab itu dalam situasi belajar tradisional, murid perlu terus-menerus mengulang apa yang disampaikan orang yang ahli. "Ahli" jarang menimbang faktor kehilangan memori dan cenderung memberikan materi yang lebih abstrak daripada yang mampu disimpan atau ditumpuk orang-orang.

Dalam konteks kelompok proses, peserta bekerja dengan faktor eksternal dan internal. Artinya, mereka mendefinisikan kebutuhan pendidikan mereka sendiri dan mengembangkan metode belajar mereka sendiri. Pemimpin kelompok, sebagai fasilitator, membantu memertajam definisi anggota tentang tujuan mereka sendiri. Beberapa orang yang datang untuk konseling merasa takut dan mungkin mencari pemimpin tradisional yang kuat. Penilaian terhadap anggota kelompok yang potensial mungkin membutuhkan evaluasi tentang motivasi mereka untuk menyelesaikan masalah. Makin besar motivasi mereka, makin besar kemungkinannya mereka melakukan perubahan. Prospek yang baik untuk kelompok adalah orang-orang yang berusaha mengenal diri mereka sendiri melalui pilihan yang mereka buat, hubungan yang mereka masuki, dan pengetahuan yang mereka cari.

Tanggung jawab tiap-tiap orang atas pilihan pribadinya ditekankan sepanjang Alkitab. Kelompok kecil berfungsi sebagai tempat di mana tiap-tiap anggota bisa menjadi lebih bertanggung jawab atas pilihan mereka dan lebih memahami sepenuhnya mengapa mereka membuat pilihan tertentu. Peserta harus didorong untuk menetapkan standar penampilan mereka sendiri. Semakin banyak seseorang bertumbuh dalam bidang keterbukaan, komunikasi, dan partisipasi, semakin besar kemampuan mereka menyelesaikan masalah yang bisa diterapkan di luar kelompok.

Catatan:

Cara Belajar Tradisional Versus Melalui Proses

Cara Belajar Tradisional:

  1. Peranan didefinisikan dengan tepat. Pemimpin mengajar; anggota mendengar dan belajar.

  2. Pemimpin adalah "otoritas". Ia harus seorang yang "ahli" dan dihormati anggota-anggotanya. Ia menyediakan semua "jawaban". Proses belajar didasarkan pada otoritas, pengetahuan, dan penguasaan isi (informasi)-nya.

  3. Anggota bekerja dengan data (isi) eksternal dan abstrak yang disediakan pemimpin. Pemimpin mendefinisikan apa yang perlu dipelajari. Anggota berusaha mengenal diri sendiri dengan mengukur diri dengan tipe ideal. Mereka berorientasi ke luar dan bertindak sesuai dengan harapan orang lain.

  4. Masalah utama dalam belajar melibatkan akumulasi dan penyimpanan informasi eksternal, dan pemerolehan "jawaban yang benar". Motivasi sulit, dan kesulitan mengingat merusak keefektifan.

Cara Belajar Melalui Proses:

  1. Peranan ditentukan oleh keterlibatan dan interaksi. Pemimpin bisa menjadi pelajar; anggota bisa menjadi guru.

  2. Pemimpin membantu merumuskan masalah dan membantu mengembangkan keterampilan menyelesaikan masalah. Ia membantu orang lain "belajar bagaimana cara belajar". Cara belajar didasarkan pada komitmen/keterlibatan masing-masing anggota. Setiap anggota mengembangkan keterampilan menyelesaikan masalah secara pribadi.

  3. Anggota bekerja dengan data eksternal dan internal. Anggota menentukan apa yang perlu mereka pelajari. Anggota berkonsultasi dengan pemimpin untuk mendapat bantuan. Anggota berusaha mengenal hubungan yang mereka jalin dan pengetahuan yang mereka kejar. Mereka berorientasi ke dalam dan menetapkan standar prestasi mereka sendiri.

  4. Masalah utama dalam belajar melibatkan komunikasi (meningkatkan pemahaman), keterlibatan (partisipasi), dan transparansi (mudah dihubungi). Tekanannya pada pengembangan keterampilan menyelesaikan masalah, menjaga motivasi belajar, dan mendapatkan pengetahuan yang relevan.

Sumber
Halaman: 
199 -- 203 dan 206
Judul Artikel: 
Pengantar Psikologi dan Konseling Kristen (2)
Penerbit: 
ANDI, Yogyakarta 2004

Published in e-Konsel, 01 May 2008, Volume 2008, No. 159


Komentar