Bagaimana Menghargai Pasangan Kita

"…suami harus mengasihi isterinya sama seperti tubuhnya sendiri: Siapa yang mengasihi isterinya, mengasihi dirinya sendiri. Sebab tidak pernah orang membenci tubuhnya sendiri, tetapi mengasuhnya dan merawatinya, sama seperti Kristus terhadap jemaat." (Efesus 5:28-29)

Seorang pria setengah baya bersama isteri dan kedua anak mereka duduk bersama di sebuah restoran. Si pria melayangkan pandangannya ke segala arah, kecuali ke arah isteri dan anak-anaknya. Isteri melihat ke kiri dan kanan, tetapi tidak ke arah suami dan anak-anaknya. Kedua anak mereka juga menengok ke segala arah, kecuali ke orangtua mereka. Tidak seorang pun berbicara! Semua bagaikan bisu. Tidak terjadi komunikasi di antara mereka.

Peristiwa yang dilukiskan di atas tidak sulit kita saksikan, baik di rumah makan atau bahkan di rumah kita sendiri. Saya sering menyaksikan pasangan suami-isteri yang duduk semeja, saling berhadapan, namun dengan tatapan kosong dan tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Wajah mereka umumnya ditandai oleh kebosanan. Tanpa ekspresi. Jangankan lagi mimik yang memercikkan api cinta.

Pada banyak suami-isteri, "cinta" seolah-olah merupakan satu kata yang terdengar asing untuk diucapkan dan lucu untuk dibisikkan. Seakan-akan zaman keemasan cinta berlalu seiring usainya bulan madu dan dimulainya kehidupan "berumah-tangga". Cinta menjadi perasaan yang dikenang dengan manis dan hanya manis dalam kenangan.

Cinta dalam pernikahan lalu seolah menjadi beban. Karena kata itu kini menyiratkan tuntutan atau ketidakpuasan jika tak terpenuhi. Atau merupakan ekspresi ketidakdewasaan, bila terus-menerus dibutuhkan. Suami atau isteri yang masih menggumamkan kata cinta dengan mudah menerima tuduhan bahwa mereka "kekanak-kanakan" atau "tidak hidup dalam realitas". Yang lebih mencengangkan lagi adalah ungkapan bahwa cinta itu "sudah bukan masanya lagi" dalam hidup pernikahan!

Siapakah yang membagi hubungan nikah dalam dua kurun waktu : yakni sebelum dan sesudah menikah? Siapa yang memasukkan cinta hanya untuk masa "sebelum menikah?"

Kita telah membuat cinta seakan-akan hanya sebagai pemanasan atau persiapan yang diperlukan guna terciptanya pernikahan. Namun setelah itu, lenyaplah arti cinta. Tanpa sadar kita telah menetapkan cinta sebagai prasyarat terjadinya pernikahan. Karena tanpa cinta, pernikahan akan sulit terwujud.

Benar bahwa tanpa cinta, pernikahan sulit diwujudkan. Namun kita lupa bahwa cinta sesungguhnya merupakan syarat berlangsungnya kehidupan pernikahan itu sendiri. Tanpa cinta, pernikahan akan mati. Ibarat rumah kosong tanpa penghuni. Yang tersisa tinggal bangunan pernikahan belaka. Lambat-laun bangunan kosong ini dirusak oleh kekosongannya sendiri.

Dalam banyak pernikahan, hilangnya cinta bukan diakibatkan oleh penghianatan atau ketidak setiaan yang dilakukan oleh suami atau isteri. Umumnya cinta lenyap dari pernikahan justru karena kita sendiri beranggapan bahwa cinta memang tidak seharusnya ada dalam pernikahan. Kita menganggap pernikahan terlalu serius untuk melibatkan cinta. Kita sendirilah yang memensiunkan cinta dari rumah tangga kita. Ini terjadi karena kita telah menyimpulkan bahwa masa bakti cinta telah berakhir seiring dengan dimulainya kehidupan bersama. Sekali lagi, cinta hanya dapat dan boleh dikenang, bukan untuk dicicipi "orang yang dewasa!" Betapa sedihnya …dan betapa kelirunya!

Seharusnyalah cinta tetap hadir dan bersemi dalam pernikahan. Pertanyaannya sekarang adalah, bagaimanakah agar kita dapat melestarikan cinta itu. Ada banyak cara untuk melukiskan dan menjelaskan cinta. Alkitab sendiri menggunakan beberapa cara untuk menjabarkannya. Kita dapat melihatnya pada 1 Korintus 13.

Saya menyejajarkan cinta dengan harga atau nilai. Maksud saya, yang kita cintai adalah yang kita hargai. Sebaliknya, yang kita hargai adalah yang kita cintai. Prinsip ini berlaku baik untuk barang maupun manusia. Barang yang kita hargai adalah barang yang kita sayangi. Itu sebabnya kita sedih tatkala kehilangan barang yang kita anggap bernilai tinggi. Sebaliknya, kita sulit menyayangi barang yang telanjur kita anggap tidak bernilai.

Demikian pula halnya dengan manusia. Orang yang kita hargai biasanya adalah orang yang kita kasihi. Bak barang berharga. Kita mencoba melindungi orang yang kita sayangi, berusaha menjaganya agar jangan sampai ia dipermalukan atau dibuat susah.

Orang yang kita sayangi adalah orang yang kita hargai pula. Jadi, cinta dapat diidentikkan dengan nilai atau penghargaan yang kita lekatkan pada obyek cinta itu. Benar bahwa cinta jauh lebih besar daripada nilai atau penghargaan. Namun keberadaan dan besarnya cinta dapat diukur dengan keberadaan dan besarnya penghargaan yang kita berikan pada obyek cinta itu.

Firman Tuhan yang dikutip pada awal tulisan ini menegaskan kesejajaran cinta dengan penghargaan. "Siapa yang mengasihi isterinya mengasihi dirinya sendiri. Sebab tidak pernah orang membenci tubuhnya sendiri tetapi mengasuhnya dan merawatinya…" Bukankah istilah "mengasuh" dapat pula diterjemahkan sebagai "memberi makan"? "Merawati" (to cherish) mengandung pengertian penghargaan pada sesuatu yang bernilai. Jadi, mengasihi suami atau isteri berisikan - atau setidak-tidaknya dimulai dengan - menghargai suami atau isteri. Kita menghargai suami atau isteri dengan cara "memberi makan" dan "merawatinya."

Kata "memberi makan" yang digunakan dalam ayat ini mempunyai arti membesarkan anak sampai mencapai kedewasaan (to bring up to maturity). Dengan kata lain, istilah ini mengandung makna memberi kecukupan makan dan gizi agar anak dapat bertumbuh secara wajar. Hampir sama dengan itu, istilah "merawati" memiliki makna memperhatikan dan menyayangi dengan penuh kelembutan (to tenderly care). Dengan demikian, itulah yang Tuhan kehendaki kita lakukan kepada suami dan isteri kita. Yakni menyediakan gizi emosional - cinta kasih - serta memperlakukan dan menyayangi pasangan hidup kita dengan penuh kelembutan!

Sebagaimana telah saya bahas di atas, menghargai setidak-tidaknya merupakan langkah awal, atau lebih tepat lagi, tindakan nyata dari mengasihi.

Ada beberapa hal yang dapat saya sarankan untuk mewujudkan penghargaan kita kepada suami dan isteri kita.
 
Pertama, gunakan pelbagai kesempatan untuk mengungkapkan kepadanya bahwa kita bersyukur sebab Tuhan telah memberikan dia sebagai suami atau isteri kita.
Dengan kata lain, kehadiran pasangan kita bukan saja kita inginkan, melainkan juga kita hargai. Dia begitu bernilai bagi kita sehingga kita bersyukur bahwa dia berada di dalam hidup kita. Kita dapat menunjukkan penghargaan kita melalui ucapan terima kasih, sentuhan lembut, tatapan sayang, atau melakukan sesuatu yang disukainya. Di sini berlaku prinsip: Mulai dengan terima kasih, berakhir dengan menerima kasih. Mulai dengan tidak tahu berterima kasih, berakhir dengan tidak ada kasih.
 
Kedua, bersikaplah lemah lembut.
Perlakuan kasar bukan saja meninggalkan luka pada si penerimanya, melainkan juga merobek penghargaan kita terhadapnya. Perhatikan prinsip yang berlaku di sini: Semakin halus kita memperlakukannya, semakin bernilai dia di hadapan kita. Semakin kasar kita memperlakukannya, semakin rendah dia di mata kita. Upayakan supaya jangan sampai kita melanggar batas kepatutan dalam mengumbar emosi kita. Bagaimanapun juga perlakuan kita akan mempengaruhi penilaian kita terhadap pasangan kita.
 
Ketiga, sebisa-bisanya, utamakan kepentingan pasangan kita di atas kepentingan lain atau orang lain.
Cinta terungkap dengan jelas dalam wadah perbandingan. Yakni bagaimana kita memperlakukan pasangan kita bila dibandingkan dengan bagaimana kita memperlakukan orang lain. Siapa atau apa yang kita dahulukan mencerminkan siapa atau apa yang penting bagi kita. Dalam hal ini, perbuatan berbicara jauh lebih keras dari ucapan. Jadi, ucapan cinta kita mesti didukung oleh perbuatan kita yang mendahulukannya dibanding orang lain. Bila itu tidak terjadi, pasangan kita akan dengan segera tahu bahwa sesungguhnya ia tidaklah sepenting yang kita katakan. Prinsip yang berlaku di sini: Mengorbankan kepentingan sendiri, itulah cinta. Mengorbankan kepentingan pasangan kita, itu berarti menomor duakannya.

Berterimakasih, bersikap lembut, maupun mendahulukan kepentingan pasangan kita sebetulnya melambangkan penghargaan kita terhadapnya. Semua itu merupakan wujud nyata ungkapan, "Engkau berharga bagiku!" Cinta tidak dapat lepas dari upaya membuat pasangan kita merasakan bahwa ia bernilai bagi kita. Ingatlah, bahwa barangsiapa menabur penghargaan, ia akan menuai cinta.


 
 
Rubrik: Suami-Isteri
Oleh : Paul Gunadi
 
 
Sumber
Halaman: 
--
Judul Artikel: 
Buletin Eunike (Edisi 19)
Penerbit: 
--