Orang Tua yang Bertanggung Jawab

Edisi C3I: c3i Agustus 2019

Orang Tua yang Bertanggung Jawab

Nats: Efesus 6:4; Kolose 3:21; Amsal 13:24

Topik kali ini adalah bagaimana sikap orang tua dalam mendidik anak. Pada zaman sekarang, Efesus 6:4 ("Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu") ini sering kali dipakai oleh banyak anak sebagai alasan untuk mempersalahkan orang tuanya, seolah-olah orang tua tidak boleh membuat mereka marah. Akan tetapi, mereka melupakan ketiga ayat di atasnya bahwa anak-anak dituntut untuk taat dan hormat kepada orang tua dalam Tuhan. Kedua hal ini merupakan keseimbangan yang penting. Di satu pihak, orang tua mempunyai batasan dalam mendidik anaknya, yaitu tidak boleh mendidik sampai membuat anaknya marah, sakit hati, dan tawar hati. Mendidik bukan sembarang mendidik, tetapi mendidik dalam nasihat dan ajaran Tuhan. Namun, di lain pihak, seorang anak dituntut untuk taat dan hormat kepada orang tua dalam Tuhan. Inilah keseimbangan pertama.

Efesus 6:4

Keseimbangan kedua, ayat ini juga sering kali disalahartikan. Di satu pihak, golongan tertentu memakai ayat ini sebagai patokan, seolah-olah pendidikan tidak perlu menggunakan hukuman fisik. Para orang tua pun tidak boleh memarahi anaknya. Namun, di lain pihak, sebagian orang menggunakan Amsal 13 ("Siapa tidak menggunakan tongkat, benci kepada anaknya") sebagai alasan bagi orang tua untuk diperbolehkan memukuli dan menganiaya anaknya dengan begitu kejamnya. Dalam hal pendidikan anak, orang tua harus mendidik anak dengan keras. Jikalau memang diperlukan, mereka boleh menggunakan tongkat dan rotan, tetapi tanpa membangkitkan amarah anaknya. Dua hal ini bukannya dipertentangkan, tetapi harus dikomplementasikan.

Cara orang tua mendidik anak sangat menentukan perkembangan anak. Jika mereka gagal mendidik anak dengan tepat, anak ini nantinya akan berpotensi menjadi anak yang sulit untuk dipegang, dan lebih buruk lagi, dia akan menjadi calon penjahat dan perusak masyarakat. Karena itu, pendidikan anak merupakan satu hal yang perlu dipikirkan secara serius dan tidak boleh diabaikan. Kalau anak-anak dididik dengan baik dan benar, mereka akan menjadi pemimpin-pemimpin masa depan yang bermoral, yang mempunyai cara hidup yang sangat integratif. Alkitab dengan ketat mengajarkan konsep ini, "Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu." Kolose mengatakan, "Hai bapa-bapa, janganlah sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya."

Dalam aspek pendidikan anak, Alkitab memberikan penekanan lebih serius kepada bapa-bapa. Ada tiga alasan yang mendasari penekanan ini: Pertama, Alkitab memberikan penekanan yang berbeda dengan apa yang dunia sedang mengerti. Dunia sudah mengerti secara teori, fakta dan realitas bahwa ibu banyak berperan dalam perkembangan anaknya karena dia mempunyai lebih banyak waktu untuk mendidik anaknya. Dengan kata lain, pendidikan anak merupakan tugas ibu dan bukan tugas bapak. Justru menjadi aneh jika ibu tidak mendidik dan membesarkan anaknya dengan baik. Asumsi seperti ini terlalu ekstrem dan perlu dibereskan. Alkitab justru mengatakan bahwa pendidikan anak adalah tugas ayah, "Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan." Seorang ayah tidak bisa meninggalkan tanggung jawab pendidikan anak dan menyerahkan seluruh aspek pendidikan kepada ibu karena dia sendiri berperanan sebagai wakil Allah dalam keluarga. Alkitab secara konsisten dari Perjanjian Lama sampai Perjanjian Baru tidak pernah mengabaikan peranan ayah dalam mendidik anak. Sementara saat ini, kebanyakan para ayah tidak mau bertanggung jawab dalam pendidikan anaknya. Inilah satu sikap yang dengan sengaja melawan kebenaran firman Tuhan.

Kedua, anak belajar mengenal Allah melalui figur ayah. Kalau seorang anak mempunyai konsep yang salah tentang ayahnya, konsepnya tentang Allah pun salah. Jadi, kalau dia tahu papanya kejam sekali, dia akan punya gambaran tentang Allah yang kejam. Pada saat seperti itu, sebetulnya dia gagal mengerti Allah yang sesungguhnya. Kecuali jika anak ini bertobat, mengenal Tuhan dan dididik dengan Firman, perlahan-lahan konsepnya akan berubah. Namun, proses mengubah konsep yang salah itu sangat sulit karena sudah berakar di kepala. Biarpun secara teori dia bisa mengemukakan teori Kristen yang baik tentang Allah yang tepat, tetapi dalam hatinya yang paling dalam dan pikirannya tetap dia mempunyai konsep Allah seperti ayahnya. Karena itu, Alkitab mengajar para ayah untuk mendidik anak dengan baik. Di sinilah keindahannya, jika seorang anak boleh dilahirkan di keluarga Kristen tempat orang tua mendidiknya dalam iman Kristen. Inilah warisan dan anugerah yang terlalu besar yang tidak mungkin dimiliki jika anak itu dilahirkan dalam keluarga non-Kristen. Namun, dalam kenyataannya, ada pula anak yang dilahirkan dalam keluarga Kristen, tetapi orang tuanya tidak menjalankan tugas untuk memberikan anugerah tersebut kepada anaknya. Karena itu, di Reformed, kita menjalankan baptisan anak dan orang tuanyalah yang dikatekisasi dan dituntut untuk berjanji di hadapan Tuhan dan jemaat bahwa mereka akan mendidik anaknya dalam Tuhan. Seorang anak adalah titipan Tuhan, tetapi tetap menjadi tanggung jawab orang tua untuk mendidik.

Ketiga, yang sering kali membuat anak marah dan sakit hati adalah ayah. Tentu saja tidak semua ayah berbuat demikian. Akan tetapi, dalam fakta statistik, yang paling sering menganiaya anak adalah ayah. Karena itulah, Alkitab mengatakan, "Hai bapa-bapa, janganlah sakiti hati anakmu." Itulah ketiga alasan mengapa Alkitab memberi penekanan lebih serius pada peranan ayah dalam pendidikan anak.

Alkitab mengatakan dalam Amsal 13: "Siapa tidak menggunakan tongkat, benci kepada anaknya; tetapi siapa mengasihi anaknya, menghajar dia pada waktunya." Ada beberapa hal yang harus orang tua pikirkan dalam hal ini: Pertama, motivasi orang tua ketika memukul atau menghajar anak. Kunci pertama yang terpenting dalam mendidik anak adalah bagaimana saya mulai dengan motivasi mengasihi anak. Yang sering kali menjadi kesalahan orang tua adalah justru pada saat mencintai anak, mereka tidak dapat menggunakan tongkat, dan pada saat membenci anak, tongkatlah yang menjadi alat pelampiasan. Dan, satu hal yang juga perlu dipertimbangkan adalah jika sang anak masih dalam usia ingin mengaktifkan motoriknya. Sering kali, orang tua tidak mendidik anak karena mencintainya, tetapi karena merasa jengkel dan dirugikan oleh anak. Ketika sedang jengkel, orang tua harus meneduhkan diri dan memikirkan baik-baik apakah dia layak untuk memukul dan sejauh mana kesalahan anak itu. Dan, barulah dia memutuskan apa yang harus dilakukan terhadap anak. Sebab, jikalau kita sedang marah karena jengkel, kita dapat memukul anak tanpa batas dan keadilan. Ini merupakan kejahatan dan kekejian di hadapan Tuhan yang dilampiaskan kepada orang yang tidak berdaya. Menurut konsep yang tepat, cintalah yang mengharuskan orang tua memukul anaknya demi kebaikannya. Seorang pendeta mengatakan, "Pukullah anakmu dengan air mata." Ketika memukul anak, biarlah orang tua memukul dengan menangis karena sebenarnya mereka tidak suka memukulnya. Ketika anak tahu papanya memukul dia dengan keras, tetapi bukan karena benci, melainkan karena mencintainya, anak itu akan tahu bahwa dia dihukum keras dan mulai belajar keadilan, tetapi dia tidak menjadi marah dan benci.

Kedua, prinsip atau orientasi yang harus dipertimbangkan ketika memukul anak. Pertimbangan pertama adalah bukan pada diri orang tua, tetapi pada diri anak yaitu pikirannya, pergumulannya, dan pertimbangannya. Dan, pertimbangan kedua adalah besar kecil kesalahannya dan hukuman yang pantas. Ketika menghukum, orientasi orang tua haruslah pada anak karena tujuan pendidikan adalah demi anak kembali kepada jalur Tuhan dan mengerti nasihat dan ajaran Tuhan.

Mengasihi anak

Ketiga, cara orang tua mendidik anak. Ketika menghukum anak, orang tua harus tahu bagaimana caranya membuat dia mengerti kesalahannya dan bagaimana menghukum dia atas kesalahan itu dengan dasar keadilan dan cinta kasih. Seorang anak harus dihukum karena kesalahannya agar tidak mengulangi kesalahan yang sama atau membuat kesalahan yang lebih besar lagi. Ketika melakukan tindakan penghukuman, orang tua harus memperhatikan tempat penghukuman. Jangan sampai kita memukul anak di bagian kepala karena dapat mengakibatkan radang otak. Demikian juga dengan punggung tangan anak yang dapat putus atau terkilir. Karena itu, bagian terbaik untuk memukul adalah di telapak tangan dan di pantat.

Keempat, hasil didikannya. Efesus 6 mengatakan bahwa didikan orang tua yang benar akan menghasilkan anak-anak yang terdidik dalam ajaran dan nasihat Tuhan. Mereka akan mengerti tentang firman dan ajaran Tuhan. Karena itu, setelah penghukuman, orang tua harus memperhatikan adakah pertobatan dan perubahan dalam diri anaknya. Pendeta Stephen Tong mengajarkan dalam Arsitek Jiwa, bahwa setelah menghajar anak, bukannya anak menjadi benci kepada orang tua, tetapi dia menjadi sungkan, tetapi terus mencari mereka. Inilah paradoks pendidikan yang sukses. Untuk mencapainya, orang tua harus mampu menjalankan kasih dan keadilan secara seimbang sesuai dengan figur Allah yang tepat. Tuhan mengasihi, tetapi juga sekaligus menghukum. Karena itu, saat itu cinta dan keadilan tidak didualismekan, tetapi justru digabungkan.

Di tengah dunia ini, sangat sulit bagi orang tua untuk selalu menjaga anaknya karena terlalu banyak pengaruh luar yang mencoba memengaruhinya. Oleh karena itu, orang tua harus memberikan bekal kebenaran yang secukupnya sehingga dia mempunyai kekuatan untuk bertahan dalam segala macam situasi. Amin?

 

Orang Tua yang Bertanggung Jawab

 

Diambil dari:
Nama situs : GRII Andhika
Alamat situs : http://www.grii-andhika.org/ringkasan_kotbah/2001/20010218.htm
Judul artikel : Orangtua yang Bertanggung Jawab
Penulis artikel : Rev. Sutjipto Subeno