Ada beberapa hal yang perlu kita camkan ketika kita berusaha mengajarkan tentang kematian kepada anak:
Objek yang memiliki kehidupan berbeda dengan sesuatu yang tidak
hidup.
Anak perlu memahami bahwa dirinya adalah hidup, dan bahwa dirinya
yang hidup itu berbeda dengan benda yang tidak hidup. Yang cukup
sulit di sini adalah bagaimana memberi penjelasan sehingga anak
memahami bahwa gerakan tidak identik dengan kehidupan. Benda yang
dapat digerakkan tidak sama dengan mahluk hidup yang bergerak.
Jadi, mainan dapat bergerak bukan karena mainan itu mempunyai
kehidupan. Kita dapat membantu anak memahami bahwa mahluk hidup
itu bernafas, perlu makan dan minum, dan jantungnya berdegub
untuk memompa darah ke seluruh tubuh. Kematian berarti
berhentinya nafas, terhentinya kerja jantung, serta berhentinya
semua aktivitas. Orang yang mati tidak dapat melakukan apapun
juga.
Anak perlu mengetahui bahwa setiap orang pasti mati suatu saat
nanti dan bahwa kematian tidak dapat dihindari.
Jadi mereka sendiri pun akan mati satu saat nanti. Bila anak
telah dapat memahami poin ini, kita baru dapat menjelaskan bahwa
mati bagi manusia bukanlah akhir dari segalanya. Kematian adalah
suatu gerbang pintu menuju kehidupan atau kebinasaan yang kekal.
Sebagai tambahan, konsep mengenai kekekalan baru mulai dapat
dipahami oleh anak usia remaja. Jadi orangtua tidak perlu
frustasi bila anak belum memahami semuaya sekaligus secara
menyeluruh.
Kita tidak dapat memastikan kapan kita akan mati.
Mungkin saja dengan mengetahui bahwa tidak ada kepastian kapan
kita mati merupakan hal menakutkan. Meskipun demikian hal ini
perlu anak ketahui, supaya ia lebih siap dalam menghadapi
kematian orang dekatnya atau dirinya sendiri nanti. Bagian yang
sulit di sini adalah mejelaskan bahwa kematian berarti
perpisahan. Meskipun demikian, kita yang sudah berada dalam
Kristus akan kembali bertemu suatu saat nanti di surga.
Kematian bersifat permanen sebagai akhir dari hidup yang
sementara di dunia ini.
Kesulitannya adalah kematian sering merupakan hal yang sangat
menyakitkan secara emosional bagi orang yang sedang menghadapinya
maupun mereka yang ditinggal mati oleh kerabat dekatnya. Rasa
sakit membuat kita berusaha meromantisir atau membuat khayalan-
khayalan menyenangkan akan kematian itu, namun secara potensial
usaha ini dapat mengaburkan fakta mengenai kematian. Kisah
mengenai anak yang mengirimkan surat kepada papanya yang
meninggal merupakan salah satu bentuk usaha meromantisir
kematian. Jadi, orangtua perlu lebih dahulu menerima secara rela
akan kematiannya sendiri suatu ketika kelak. Dengan begitu
orangtua baru dapat membagikan pengetahuannya secara nyaman dan
tenang kepada anaknya.
Links:
[1] http://www.sabda.org/publikasi/e-binaanak/117/
[2] https://c3i.sabda.org/kategori_bahan_c3i/anak_parenting
[3] https://c3i.sabda.org/jenis_bahan_c3i/artikel
[4] https://c3i.sabda.org/fokus_c3i/fokus_c3i_april_2006_mengajarkan_kematian_pada_anak