Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I

Tanda-Tanda Kemerdekaan

Sudah menjadi kebiasaan Paulus, setelah mendiktekan suratnya, lalu mengambil pena, dan menuliskan sendiri salam pada akhir suratnya. Salamnya biasa berbunyi, "Kasih karunia Yesus Kristus, Tuhan kita, menyertai kamu!"

(1 Tes. 5:28, lihat 2 Tes. 3:17-18). Akan tetapi, begitu besar keinginan Paulus agar orang-orang Galatia itu benar-benar memahami isi suratnya sehingga ia mengambil pena dan menuliskan seluruh alinea terakhir dalam suratnya itu dengan tangannya sendiri. "Lihatlah, bagaimana besarnya huruf-huruf yang kutulis kepadamu dengan tanganku sendiri."

Mengapa Paulus menulis alinea ini, dan mengapa ia menulis dengan huruf-huruf yang begitu besar? Roh Kudus mengilhamkan kepadanya untuk menambahkan kata-kata akhir untuk memberikan satu perbedaan lagi antara penganut legalisme dan orang Kristen yang dipimpin oleh Roh untuk menunjukkan bahwa orang Kristen yang dipimpin oleh Roh hidup untuk kemuliaan Allah, bukan untuk medapat pujian manusia. Dan ia menulis dengan huruf-huruf besar untuk memberi tekanan: "CAMKANLAH INI!"

Beberapa ahli Alkitab berpendapat bahwa yang dimaksud dengan duri di dalam daging Paulus (2 Kor. 12:7-10; Gal. 4:14-15) adalah semacam penyakit mata. Ini berarti bahwa ia harus menulis dengan huruf-huruf besar supaya ia sendiri dapat membaca apa yang telah ditulisnya. Apakah ini benar atau tidak, Paulus ingin menjelaskan bahwa ia mempunyai sesuatu yang sangat penting untuk dituliskan pada akhir suratnya, bahwa ia tidak hanya sekadar mengakhiri suratnya dengan cara yang lazim. Jika memang ia menderita sakit mata, kesediaannya untuk menuliskan alinea terakhir ini dengan tangannya sendiri pasti akan menyentuh hati para pembacanya.

Ia telah menunjukkan kepada mereka bahwa orang percaya yang hidup di bawah Hukum Taurat dan orang percaya yang hidup di bawah kasih karunia saling bertolak belakang. Ini bukan sekadar persoalan "asas yang berbeda", melainkan dua cara hidup yang berbeda. Mereka harus memilih antara perhambaan atau kemerdekaan (Gal. 5:1-12), daging atau Roh (Gal. 5:13-26), dan hidup untuk diri sendiri atau hidup untuk orang lain (Gal. 6:1-10).

Sekarang ia mengemukakan perbedaan yang keempat: hidup untuk mendapat pujian atau bagi kemuliaan Allah (6:11-18). Ia sedang membahas soal motif, dan di dalam jemaat-jemaat kita dewasa ini tidak ada keperluan yang lebih besar daripda keperluan untuk memeriksa motif-motif pelayanan kita. Kita tahu apa yang sedang kita lakukan, tetapi tahukah kita mengapa kita melakukannya? Pekerjaan yang baik menjadi rusak karena motif yang buruk.

Paulus membahas masalah yang rumit ini dengan cara yang sangat menarik sekali. Para penganut legalisme ingin memaksa orang-orang Galatia supaya mereka bersunat, maka Paulus membahas soal ini dan menghubungkannya dengan pekerjaan Kristus di atas kayu salib, dan juga juga dengan pelayanan Paulus sendiri. Di dalam ayat-ayat ini Paulus mengemukakan tiga pribadi yang mempunyai "tanda-tanda" -- penganut legalisme (Gal. 6:12-13), Tuhan Yesus Kristus (6:14-16), dan Rasul Paulus sendiri (Gal. 6:17-18).

  1. Penganut Legalisme (Gal. 6:12-13)

    Paulus tidak dapat menemukan suatu apa pun yang baik yang dapat dikatakannya tentang penganut legalisme. Paulus menggambarkan para penganut legalisme dan orang-orang semacam mereka dengan empat cara.

    • Pertama-tama, mereka suka menonjolkan diri atau bermegah (Gal. 6:12a, 13b). Tujuan mereka yang utama bukan untuk memenangkan orang bagi Kristus atau bahkan untuk menolong orang-orang percaya supaya mereka bertumbuh di dalam kasih karunia. Tujuan mereka yang utama ialah untuk mengumpulkan lebih banyak pengikut supaya mereka dapat bermegah atas mereka. Mereka ingin "menimbulkan kesan yang baik secara lahiriah" walaupun secara batiniah mereka tidak melakukan yang baik barang sedikit pun. Pekerjaan mereka dilakukan bukan demi kebaikan jemaat atau bagi kemuliaan Allah, melainkan bagi kemegahan diri sendiri.

      Memang tidak salah, tetapi jelas salah kalau kita menginginkan berkat-berkat ini bagi kemuliaan manusia. Kita ingin melihat lebih banyak orang turut serta dalam pelayanan kita, bukan supaya kita dapat menghitung jumlah manusia melainkan karena kita tahu bahwa manusia itu penting. Akan tetapi, kita harus berhati-hati, jangan sampai kita "memanfaatkan orang" untuk memajukan program kita sendiri yang didasarkan atas kepentingan diri sendiri untuk memuliakan diri sendiri.

      Saya biasa menerima sejumlah buletin dan majalah jemaat. Saya sangat terperanjat ketika di dalamnya saya membaca salah satu artikel yang ditulis oleh seorang pendeta yang menyebutkan nama beberapa jemaat, lalu menjelaskan bagaimana jemaatnya jauh lebih baik daripada jemaat-jemaat itu. Beberapa jemaatnya disebutkan tidak injili dalam kepercayaan, dan saya bertanya-tanya dalam hati bagaimana gerangan pandangan anggota-anggota jemaat itu tentang Kristus dan Injil apabila mereka membaca kecamannya yang sombong itu. Pastilah orang-orang percaya akan menemui kesulitan untuk bersaksi kepada orang-orang itu karena pendeta ini telah menghakimi jemaat-jemaat mereka.

    • Kedua, mereka suka berkompromi (Gal. 6:12b). Mengapa mereka memberitakan dan melaksanakan sunat dan segala yang berkenaan dengan itu? Untuk menghindari penganiayaan. Karena Paulus memberitakan kasih karunia Allah dan keselamatan di luar perbuatan Hukum Taurat, ia dianiaya (Gal. 5:11). Para penganut Yudaisme berusaha membuat orang-orang Kristen mengira bahwa mereka juga adalah orang Kristen, dan mereka berusaha membuat penganut-penganut Hukum Musa mengira bahwa mereka juga menaati Hukum Taurat. Karena itu, mereka terhindar dari penganiayaan oleh kelompok legalistik karena mereka tidak mengidentifikasikan diri dengan salib Kristus dan pengaruhnya yang menghancurkan Hukum Taurat itu.

      Pada zaman sekarang, kita cenderung memandang salib (dan penyaliban) dengan cara yang sentimental. Kita memakai salib sebagai hiasan jas atau sebagai gantungan kalung. Akan tetapi, bagi orang-orang pada abad yang pertama, salib bukan merupakan perhiasan yang bagus. Salib merupakan bentuk kematian yang paling keji dan penghinaan yang tidak ada taranya. Warga negara Romawi yang terhormat tidak akan menyebutkan salib dalam percakapan yang sopan. Salib melambangkan penolakan dan aib.

      Ketika Paulus percaya kepada Kristus, ia mengidentifikasikan dirinya dengan salib dan memikul segala akibatnya. "Bagi orang Yahudi salib menjadi batu sandungan, dan bagi orang bukan Yahudi salib adalah kebodohan." (1 Kor. 1:18-31) Para penganut legalisme mementingkan sunat, bukan penyaliban, dan mereka memperoleh banyak pengikut. Agama mereka adalah agama yang disukai karena menghindarkan diri dari aib salib.

    • Ketiga, mereka adalah orang yang suka membujuk ((Gal. 6:12a). Kata memaksa yang dipakai dalam ayat ini juga dipakai dalam Gal. 2:14. Walaupun kata ini tidak berarti "memaksa orang melawan kehendaknya", tetapi kita tahu bahwa para penganut Yudaisme sangat pandai membujuk. Mulut manis mereka meyakinkan orang-orang Galatia bahwa legalisme adalah cara hidup yang benar bagi mereka. Pada waktu Paulus menyampaikan firman Allah, ia menyampaikannya dengan kebenaran dan kejujuran; ia tidak menggunakan teknik ahli pidato atau kecakapan tukang debat. (Lihat 1 Kor. 2:1-5 dan 2 Kor. 4:1-5 untuk melihat bagaimana Paulus menyampaikan firman Allah kepada para pendengarnya. Paulus bukan seorang ahli politik; ia seorang pendusta).

    • Keempat, mereka adalah orang-orang munafik (Gal. 6:13). "Mereka ingin supaya kamu tunduk kepada Hukum Taurat, tetapi mereka sendiri tidak mau menaati Hukum Taurat." Para penganut legalisme segolongan dengan orang-orang Farisi dan mengenai mereka Yesus berkata, "Mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya" (Mat. 23:3). Tentu saja Paulus tidak bermaksud mengatakan bahwa para penganut legalisme itu wajib menaati Hukum Taurat karena ketaatan kepada Hukum Taurat bukan saja tidak mungkin, tetapi juga tidak perlu. Sebenarnya Paulus sedang mengecam ketidakjujuran mereka; seandainya mereka sanggup sekalipun, mereka tidak bermaksud menaati Hukum Taurat. Penghormatan mereka terhadap Hukum Taurat hanya sekadar kedok untuk menutupi tujuan mereka yang sebenarnya: memenangkan lebih banyak pengikut untuk kepentingan mereka sendiri. Mereka ingin melaporkan lebih banyak angka statistik dan memperoleh lebih banyak kemuliaan.

      Ya, seorang penganut legalisme mempunyai "tanda-tanda"; jadi apabila Anda berjumpa dengan dia, hindarilah dia.

  2. Yesus Kristus (6:14-16)

    Paulus selalu kembali kepada salib (Gal. 2:20-21; Gal. 3:13; Gal. 4:5; Gal. 5:11,Gal. 5:24; Gal. 6:12). "Sekiranya ada kebenaran oleh Hukum Taurat, maka sia-sialah kematian Kristus." (Gal. 2:21) Luka-luka Golgota tentu saja membuat Kristus "Orang yang mempunyai tanda-tanda" karena luka-luka itu berarti kemerdekaan kepada orang-orang yang percaya kepada-Nya. Para penganut Yudaisme bermegah di dalam sunat, tetapi Paulus bermegah di dalam Juru Selamat yang telah mati tersalib, tetapi yang telah bangkit lagi. Ia bermegah di dalam kekejaman dan penderitaan salib. Tentu saja ini tidak berarti bahwa ia bermegah di dalam kekejaman dan penderitaan salib. Ia tidak memandang salib sebagai sebilah kayu tempat matinya seorang penjahat. Ia memandang salib Kristus dan bermegah di dalamnya. Mengapa Paulus bermegah di dalam salib?

    Pertama-tama, ia mengenal Pribadi di atas kayu salib itu. Yesus Kristus disebutkan setidak-tidaknya 45 kali dalam Surat Galatia, dan ini berarti bahwa Yesus Kristus disebutkan dalam sepertiga jumlah ayat yang ada di dalam surat itu. Pribadi Yesus Kristus menguasai Paulus, dan Kristuslah yang telah membuat salib begitu mulia bagi Paulus. Dalam tahun-tahun permulaan sebagai rabi Yahudi, Paulus dapat bermegah atas banyak hal (Gal. 1:13-14, Flp. 3:1-10); tetapi setelah ia bertemu dengan Kristus, segala kebanggaan dirinya menjadi sampah. Para penganut legalisme tidak bermegah dalam salib Kristus karena mereka tidak bermegah dalam Kristus. Yang memperoleh kemuliaan adalah Musa dan mereka sendiri. Mereka tidak benar-benar mengenal Pribadi yang ada di atas kayu salib itu.

    Kedua, ia mengenal kuasa salib. Bagi Saulus, rabi Yahudi yang berpendidikan tinggi itu, asas pengorbanan di atas kayu salib benar-benar tidak masuk akal. Ia tidak meragukan kebenaran bahwa Mesias akan datang, tetapi bahwa Ia akan datang untuk mati -- apalagi mati di kayu salib yang terkutuk -- gagasan semacam ini tidak mendapat tempat dalam teologi Saulus. Pada zaman itu salib adalah sesuatu yang melambangkan kelemahan dan aib yang tidak ada taranya. Namun, Saulus dari Tarsus mengalami kuasa salib dan menjadi Rasul Paulus. Salib tidak lagi menjadi batu sandungan baginya dan bahkan menjadi dasar pemberitaannya: "Kristus mati bagi dosa-dosa kita."

    Bagi Paulus, salib berarti kemerdekaan: kemerdekaan dari diri sendiri (Gal. 2:20), dari daging (Gal. 5:24), dan dari dunia (Gal. 6:14). Di dalam kematian dan kebangkitan Kristus kuasa Allah dinyatakan untuk memberikan keselamatan dan kemenangan. Bukan lagi kita yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam kita dan melalui kita. Sementara kita menyerahkan diri kepada-Nya, kita memperoleh kemenangan atas dunia dan atas daging. Di dalam Hukum Taurat tidak ada kuasa untuk memberi manusia kemenangan atas diri sendiri, atas daging, dan atas Hukum Taurat. Sebaliknya, Hukum Taurat memuaskan selera kekakuan manusia ("Aku dapat melakukan seuatu untuk menyenangkan hati Allah"), dan mendorong daging untuk melakukan pekerjaannya. Dan dunia tidak peduli kalau kita "saleh", asal saja salib ditiadakan. Sebenarnya dunia menyetujui agama -- di luar Injil Yesus Kristus. Jadi, penganut legalisme membesarkan keakuan, mengikuti keinginan daging, dan berkenan kepada dunia; orang Kristen yang sejati menyalibkan ketiga-tiganya.

    Ketiga, ia mengenal tujuan salib, yaitu membawa suatu "umat Allah" yang baru ke dalam dunia ini. Selama berabad-abad, bangsa Israel menjadi umat Allah, dan Hukum Taurat menjadi cara hidup mereka. Semua ini adalah persiapan untuk kedatangan Yesus Kristus (Gal. 4:1-7). Sekarang, setelah Kristus datang dan menyelesaikan karya penebusan-Nya yang besar, Allah telah mengesampingkan bangsa Israel dan membawa ke dalam dunia ini suatu "ciptaan baru" dan bangsa baru, "Israel milik Allah" (Gal. 6:16). Ini tidak berarti bahwa Allah sama sekali telah menyingkirkan bangsa Israel. Sekarang, baik dari bangsa Yahudi maupun dari bangsa bukan Yahudi, Allah memanggil "suatu umat dari antara mereka bagi nama-Nya" (Kis. 15:14), dan di dalam Kristus tidak ada perbedaan suku atau bangsa (Gal. 3:27-29). Akan tetapi, Paulus jelas-jelas mengajarkan bahwa ada masa depan dalam rencana Allah bagi bangsa Yahudi (Rm. 11).

    Suatu tujuan salib ialah membawa ciptaan baru (Gal. 6:15). "Ciptaan baru" ini ialah jemaat, tubuh Kristus. "Ciptaan lama" dirintis oleh Adam dan berakhir dengan kegagalan. Ciptaan baru dirintis oleh Kristus dan akan berhasil.

    Kepada jemaat di Roma, Paulus menjelaskan ajaran tentang dua Adam -- Adam dan Kristus (Rm. 5:12-21). Adam yang pertama tidak menaati Allah dan mendatangkan dosa, kematian, dan penghukuman ke dalam dunia. Adam yang akhir (1 Kor. 15:45) menaati Allah dan mendatangkan hidup, kebenaran, dan keselamatan. Adam melakukan satu dosa dan menceburkan segala ciptaan ke dalam penghukuman. Kristus melakukan satu tindakan ketaatan di dalam kematian-Nya di atas kayu salib, dan menanggung hukuman dosa seluruh isi dunia. Karena dosa Adam, maut menguasai dunia ini. Karena kemenangan Kristus, kita dapat "hidup dan berkuasa" oleh karena Yesus Kristus (Rm. 5:17). Dengan kata lain, orang percaya termasuk "ciptaan baru", ciptaan rohani, yang tidak tahu-menahu tentang cacat cela dan kelemahan-kelemahan "ciptaan lama" (lihat 2 Kor. 5:17).

    Satu lagi tujuan salib ialah menciptakan suatu bangsa baru, "Israel milik Allah." Ini adalah satu dari banyak nama untuk Jemaat yang terdapat dalam Perjanjian Baru. Yesus berkata kepada para pemimpin orang Yahudi, "Kerajaan Allah akan diambil daripadamu dan akan diberikan kepada suatu bangsa yang akan menghasilkan buah Kerajaan itu" (Mat. 21:43). Petrus menyamakan bangsa itu dengan keluarga Allah: "Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus" (1 Ptr. 2:9).

    Sebagaimana telah disebutkan, ini tidak berarti bahwa jemaat untuk selamanya telah menggantikan bangsa Israel di dalam program Allah, melainkan hanya bahwa jemaat adalah "umat Allah" di atas bumi ini sekarang, sama seperti Israel berabad-abad yang lalu.

    Sungguh suatu teguran yang keras bagi para penganut Yudaisme! Mereka ingin membawa jemaat kembali kepada hukum Perjanjian Lama, padahal bangsa Israel tidak dapat memilihara hukum itu. Bangsa itu dikesampingkan untuk memberi jalan kepada umat Allah yang baru, yaitu jemaat!

    Orang-orang percaya dewasa ini mungkin bukan "anak-anak Abraham" dalam daging, tetapi mereka adalah "keturunan Abraham" melalui iman di dalam Yesus Kristus (Gal. 4:28-29). Mereka telah mengalami sunat di dalam hati yang jauh lebih efektif daripada sunat yang dilangsungkan secara lahiriah (Flp. 3:3; Rm. 2:29; Kol. 2:11). Karena itu, bersunat atau tidak bersunat tidak ada artinya bagi Allah (Gal. 6:15; lihat juga Gal. 5:6).

  3. Rasul Paulus (6:17-18)

    Dahulu Paulus merasa bangga bahwa ia bersunat (Flp. 3:4-6), tetapi setelah ia menjadi orang percaya, ia menjadi "orang yang ditandai" dengan cara yang berbeda. Sekarang ia bermegah atas bekas-bekas luka yang telah diterimanya dan atas penderitaan yang telah dialaminya di dalam pelayanan bagi Yesus Kristus.

    Perbedaan Paulus dengan para penganut legalisme tampak jelas: "Para penganut Yudaisme ingin menandai tubuhmu dan bermegah atas kamu, tetapi pada tubuhku ada tanda-tanda milik Tuhan Yesus Kristus -- untuk kemuliaan-Nya." Suatu teguran yang sungguh keras! "Jika tokoh-tokoh agamamu mempunyai bekas-bekas luka untuk diperlihatkan bagi kemuliaan Kristus, tunjukkanlah bekas-bekas luka itu. Jika tidak -- jangan ganggu aku lagi!"

    Paulus tidak mengaku bahwa pada tubuhnya ada lima bekas luka Golgota, tetapi ia ingin menegaskan bahwa ia telah menderita demi Kristus (sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh para penganut legalisme), dan pada tubuhnya ada bekas-bekas luka untuk membuktikannya. Apabila Anda membaca 2 Kor. 11:18-33, tidak akan sulit bagi Anda untuk memahami pengakuannya ini karena Paulus menderita secara fisik bagi Kristus dengan banyak cara dan di banyak tempat.

    Pada zaman Paulus sudah lazim bagi pengikuti suatu allah untuk diberi tanda berhala yang disembahnya. Ia bangga atas allahnya dan ingin supaya orang-orang lain mengetahuinya. Demikian jugalah Paulus "diberi tanda" bagi Yesus Kristus. Tanda itu bukanlah tanda sementara yang dapat dihapus, melainkan tanda yang tetap yang akan dibawanya ke liang kubur. Lagipula, tanda-tanda itu tidak diperolehnya dengan mudah: ia harus menderita berkali-kali untuk menjadi orang yang ditandai dengan tanda-tanda milik Kristus.

    Perlu kita perhatikan bahwa dosa menandai seseorang. Dosa mungkin menandai pikirannya, kepribadiannya, bahkan tubuhnya. Tidak banyak orang yang merasa bangga atas tanda-tanda dosa yang ada pada mereka, dan pertobatan tidak dapat mengubah tanda-tanda itu. (Puji Tuhan bahwa perubahan itu akan ada pada waktu Yesus datang kembali). Alangkah indahnya jika kita mengasihi Kristus dan hidup bagi Dia dan mempunyai "tanda-tanda milik Yesus" bagi kemuliaan-Nya.

    Orang-orang percaya pada masa kini hendaknya ingat bahwa pemimpin Kristen yang telah menderita bagi Kristus, dialah yang mempunyai sesuatu yang berharga untuk diberikan. Para penganut Yudaisme pada zaman Paulus tidak tahu-menahu tentang penderitaan. Mungkin mereka telah menderita aniaya yang tidak seberapa karena mereka termasuk suatu kelompok agama tertentu, tetapi ini jauh berbeda dengan "persekutuan dalam penderitaan-Nya (Kristus)" (Flp. 3:10).

    Waspadalah terhadap pemimpin agama yang hidup di dalam menara gadingnya dan tidak tahu-menahu tentang perjuangan melawan dunia, melawan daging, dan melawan setan, pemimpin yang tidak dapat memperlihatkan "tanda-tanda" untuk ketaatannya kepada Kristus. Paulus bukan seorang jenderal yang enak-enak duduk di kursi pimpinan; ia berada di garis depan, bertempur melawan dosa, dan ikut mengambil bagian dalam penderitaan.

    Demikianlah Paulus sampai kepada akhir suratnya; dan ia mengakhirinya dengan cara yang sama seperti ia memulainya: KASIH KARUNIA! Bukan "Hukum Musa", melainkan KASIH KARUNIA TUHAN KITA, YESUS KRISTUS!

    Tidak ada apa-apa lagi yang perlu dikatakan karena semua telah tercakup di dalamnya.

Diambil dan disunting dari:

Judul asli buku : Be Free
Judul buku terjemahan : Merdeka di dalam Kristus
Penulis : Warren W. Wiersibe
Penerjemah : Drs. Ganda Wargasetia
Penerbit : Penerbit Kalam Hidup, Bandung
Halaman : 147 -- 155

Komentar