Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I

Menghargai dan Menerima

Dr. Paul Gunadi

Dalam kamus Webster's New World Dictionary, salah satu definisi yang diberikan untuk kata respect adalah, "merasakan atau memperlihatkan hormat atau penghargaan." Sedangkan istilah accept didefinisikan sebagai, "menerima, terutama dengan sukarela." Pada akhir tahun ini, Santy dan saya akan merayakan ulang tahun pernikahan kami yang kesepuluh dan secara mental saya sedang membuka kembali lembaran- lembaran hidup bersama kami. Pikiran saya pun menerawang pulang ke hari pernikahan itu, dimana kami berdua berdiri di muka mezbah kudus Tuhan mengikrarkan janji setia untuk mengasihi sampai "kematian memisahkan kami". Walaupun kami sudah berpacaran selama tiga tahun dan merasa siap memasuki mahligai pernikahan, namun sesungguhnya persiapan kami jauh dari "siap". Pada waktu saya membaca ulang apa yang tertulis pada lembaran-lembaran kehidupan bersama kami, dua kata menyelinap masuk ke dalam benak saya, yakni kata respect dan accept. Pada kesempatan ini izinkanlah saya membagikan kepada para pembaca sekalian apa yang saya telah dan sedang pelajari dari kedua kata itu.

Pengenalan yang mendalam akan diri pasangan kita memang menolong memperkuat ikatan pernikahan, namun sekali-kali tidak menjamin keutuhan pernikahan dalam menghadapi perubahan-perubahan dan tekanan- tekanan hidup. Dahulu kala saya memiliki suatu keyakinan - atau lebih tepat lagi, suatu harapan - bahwa yang terpenting dalam pernikahan adalah menikahi seseeorang yang dikehendaki oleh Tuhan. Berlandaskan keyakinan itu saya berharap bahwa penyesuaian hidup berdua akan berjalan relatif mulus. Ternyata saya keliru (sekurang- kurangnya dalam kenyataan hidup pernikahan kami). Kenyataan bahwa Tuhan telah mempersatukan kami tidaklah sekali-kali berarti bahwa kehidupan pernikahan kami akan harmonis. Setiap hari kami dihadapkan dengan situasi-situasi yang menguji keharmonisan pernikahan kami! Setiap saat merupakan arena untuk kami belajar menyesuaikan "kehendakku" dengan "kehendakmu". Ternyata respect dan accept menjadi penting dalam proses mengharmoniskan pernikahan seseorang.

Pada waktu kita terbuai dalam amukan gelombang asmara, mudah bagi kita untuk melihat hal-hal yang menawan serta baik dalam diri pasangan kita. Untuk hal-hal yang menawan dan baik itulah kita memberikan rasa hormat kepadanya. Rasa hormat ini timbul secara alami karena kita memang merasakannya. Kita dapat mengatakan bahwa kita menghormatinya karena, "dia sensitif", atau "dia seorang yang jujur", dan seterusnya. Setelah menikahpun, kita masih dapat mengungkapkan penghargaan terhadap hal-hal yang baik yang kita lihat pada dirinya. Cinta memang mudah tumbuh dengan subur di atas tanah yang penuh dengan hal-hal yang menimbulkan rasa hormat.

Namun demikian, tanah tempat kita berpijak dan melangkah tidak selalu gembur dan menggemukkan tanaman. Adakalanya tanah itu berkerikil dan kering kerontang. Kita mendapatkan hal-hal yang tidak kita sukai dalam dirinya dan hal-hal ini membuat kita mengalami kesulitan dalam merasakan, apalagi memperlihatkan penghargaan kita kepadanya. Di sini saya tidak sedang membicarakan hal-hal atau perbuatan-perbuatan yang berkaitan dengan dosa. Yang saya maksudkan adalah perbedaan-perbedaan yang menyangkut cara berpikir dan kebiasaan hidup. Bukankah salah satu sumber pertengkaran kita adalah perbedaan berpikir dan kebiasaan hidup? Bukankah sering kali pertengkaran timbul karena kita merasa "tidak dimengerti"? Nah, hal- hal inilah yang sedang saya bicarakan yakni perbedaan-perbedaan yang berkaitan dengan cara berpikir dan kebiasaan hidup, yang akhirnya mencetuskan pertengkaran dan membuat kita sukar menghormati pasangan kita lagi.

Pada saat-saat seperti ini, kita ditantang untuk menerimanya, lengkap dengan segala "kelemahannya" (perbedaan-perbedaan itu). Saya menyukai definisi Webster's New World Dictionary yang melekatkan kata-kata "terutama dengan sukarela" pada kata menerima. Menerima dengan terpaksa bisa menyebabkan timbulnya kepahitan hidup, kebencian, rasa tertindas, dan kemuakan. Sebaliknya, menerima dengan sukarela menciptakan suasana kelegaan, kemerdekaan, dan kemandirian. Suasana seperti ini hanya dapat muncul apabila kita bersikap bahwa memang sebenarnya kita dipaksa untuk menerima, namun pada akhirnya kita harus dapat memilih menerimanya dengan seutuhnya.

Saya teringat akan situasi di jemaat Korintus di mana terjadi pelbagai perpecahan dan salah satu sumbernya adalah perbedaan pendapat. Dalam 1 Kor. 8, Rasul Paulus membahas mengenai makan yang telah dipersembahkan kepada berhala. Sebagian jemaat berkeyakinan bahwa mereka tidak boleh memakan makanan tersebut, namun sebagian lagi berpandangan sebaliknya. Perhatikanlah nasehat saleh dari Rasul Paulus pada ayat 1, "Tentang daging persembahan berhala, kita tahu: 'kita semua mempunyai pengetahuan.' Pengetahuan yang demikian membuat orang menjadi sombong, tetapi kasih membangun." Rasul Paulus menerangkan bahwa memang pada dasarnya memakan makanan yang telah dipersembahkan kepada berhala tidaklah salah (ayat 4 hingga 6). Namun ia menekankan bahwa yang terpenting bukanlah hal memiliki pengetahuan ini. Dengan kata lain, bukan "apa"-nya, yang terpenting, melainkan hal menerapkan pengetahuan ini. Dengan kata lain, bukan "apa"-nya, yakni apakah kasih menjadi dasar, perantara, dan tujuan penyampaian pengetahuan ini. Tatkala saya merenungkan kembali peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam pernikahan kami, saya menyadari bahwa acap kali saya cenderung menekankan "apa"-nya, yakni saya merasa sayalah yang benar atau sayalah yang memiliki pengetahuan yang benar. Ini bukan saja tidak menyelesaikan masalah, malah makin membakar suasana. Saya berkeyakinan bahwa kasih hanya dapat tumbuh apabila kita sudah menerima pasangan kita seadanya - dengan sukarela. Pertengkaran timbul karena masing-masing merasa benar atau memiliki pengetahuan yang paling tepat, sama seperti yang terjadi pada jemaat Korintus. Ini dapat dan akan terus berlangsung selama kita hidup bersama dengan orang lain. Pada kesempatan ini saya ingin mengajak para pembaca sekalian untuk mencoba cara yang dipaparkan Firman Tuhan. Cobalah untuk "menerima, terutama dengan sukarela" barulah kasih akan timbul. Jangan terlalu menekankan pengetahuan yang dapat membuat kita sombong alias enggan untuk merendahkan diri. Setelah melakukan petunjuk surgawi ini, mungkin kita akan sedikit terkejut menyaksikan bahwa tanpa terasa, kita semakin dapat menghargai pandangan-pandangan pasangan kita, alias kita mulai "merasakan atau memperlihatkan hormat" kepadanya. Cobalah dan saksikan hasilnya.

PERSPEKTIF PSIKOLOGIS

Kiat Membesarkan Anak

Membesarkan anak bukanlah masalah sepele. Saya percaya bahwa para pembaca yang adalah orangtua (terutama ibu) akan membenarkan kalimat ini. Sebagaimana hubungan suami-istri akan mempengaruhi hubungan suami-istri yang sehat dan kuat cenderung menghasilkan anak-anak yang sehat dan kuat pula. Namun kebalikannya juga betul. Hubungan suami istri yang sehat dan kuat cenderung menghasilkan anak-anak yang sehat dan kuat pula. Hubungan suami-istri yang lemah dan sakit- sakitan, cenderung menghasilkan (atau merupakan tanda) hubungan suami-istri yang lemah dan sakit-sakitan. Dr. James Dobson, seorang psikolog Kristen dari Amerika, sangat menyadari peranan yang penting dari cara membesarkan anak yang sehat dalam keharmonisan hubungan suami istri. Dalam bukunya The New Dare to Dicipline yang kemudian diintisarikan dalam majalah Focus on the Family (March,1994) ia menjabarkan lima kiat membesarkan anak.

Pertama adalah menumbuhkan respek pada orangtua merupakan faktor yang sangat penting dalam membesarkan anak. Ada tiga alasan yang membuat hal ini penting, antara lain: 1) Karena sesungguhnya anak belajar memberi respek kepada orang lain sewaktu ia belajar memberi respek kepada orangtuanya. Keluarga adalah unit sosial terkecil dan sering kali cara kita berinteraksi dan bereaksi terhadap dunia luar merupakan cermin dari bagaimana kita berinteraksi dan bereaksi terhadap keluarga kita. Seorang anak yang tidak menghormati orangtuanya cenderung mengalami kesukaran menghormati figur-figur lain di luar rumahnya. Saya memahami adanya kasus-kasus tertentu di mana orang tua bukan hanya menelantarkan melainkan juga menindas anak mereka. Dalam kasus-kasus khusus seperti itu saya menyadari kesukaran yang timbul bagi anak untuk menghormati orangtuanya. Namun saya percaya bahwa yang dimaksud oleh Dr. Dobson adalah kasus pada umumnya, dimana anak yang tidak dididik untuk hormat kepada orangtua cenderung menjadi anak yang sukar hormat kepada orang lain. 2) Karena respek pada orangtua akan menolong orangtua menanamkan nilai-nilai rohani dalam diri anak tatkala anak mencapai usia remaja. Apabila kita baru mau menanamkan pentingnya respek sewaktu anak menginjak remaja, niscaya kita telah terlambat dan akan mengalami kesulitan mengajarkan nilai-nilai rohani dalam dirinya. 3). Karena respek pada orang tua acap kali dikaitkan dengan respek pada Tuhan sendiri. Anak kecil yag belum berkemampuan berpikir secara abstrak sering kali mengasosiasikan figur orang tua, terutama ayah, dengan figur Tuhan. Jadi, anak yang kurang ajar terhadap orang tua sejak kecil akan cenderung tidak respek terhadap Tuhan pula.

Kiat kedua dalam membesarkan anak ialah, kesempatan terbaik untuk berdialog dengan anak adalah pada waktu kita baru saja mendisiplinkannya. Membesarkan anak tidak terlepas dari konfrontasi dan disiplin karena adakalanya anak dengan sengaja melawan otoritas orang tua. Pada saat-saat seperti inilah penting bagi orang tua untuk mematahkan pemberontakan anak karena pada saat seperti ini, rasa respeknya pada orang tua akan bertumbuh. Biasanya dalam saat konfrontasi dan disiplin seperti ini, anak akan meluap-luap dengan emosi dan setelah itu mengakhiri perlawanannya dengan tangisan. Ini adalah momen yang penting bagi kita, orang tua untuk memeluk anak, mengatakan kepadanya bahwa kita mengasihinya dan memberi tahu anak akan kesalahannya. Dengan cara ini, anak akan memahami bahwa kita tidak menolaknya atau menghukum dirinya, melainkan menghukum perbuatannya. Jadi orang tua tidak seharusnya takut mendisiplin anak selama tidak berlebihan karena momen-momen seperti ini biasanya dapat mempererat hubungan orangtua- anak.

Kiat ketiga ialah, kendalikan anak tanpa bertaerik-teriak. Menurut Dr.Dobson, berteriak-teriak memarahi anak tidak menyelesaikan masalah, malah akan membuat anak terbiasa dengan kemarahan orangtua. Menggunakan teriakan kemarahan untuk mengendalikan anak sama dengan mencoba menjalankan mobil dengan cara membunyikan klakson. Oleh karena itu cara yang lebih efektif adalah memanfaatkan sesuatu yang penting baginya. Saya setuju dengan pandangan Dr. Dobson ini karena saya pun menyaksikan betapa cepatnya anak-anak kami makan tatkala istri saya berkata, "Kalau tidak selesai makan, kalian tidak boleh ikut pergi." Bagaikan pelari yang mendekati garis final, demikian pula mereka berlari menuju meja makan dan makan dengan lahap - tanpa kami harus berteriak-teriak marah.

Kiat keempat dalam membesarkan anak adalah, jangan limpahkan anak dengan materi. Pada waktu kita hidup dalam kekurangan, tidaklah sukar bagi kita untuk menolak permintaan anak dengan alasan, kita tidak memiliki uang untuk membeli barang yang ia minta itu. Namun tatkala kita mempunyai uang, menolak permintaan anak menjadi cukup sulit. Kita seakan-akan tidak lagi memiliki alasan untuk menolak permintaannya. Setiap kali kami sekeluarga mengunjungi pasar swalayan, anak-anak selalu mengajak kami (sudah tentu dengan rayuan) untuk melihat-lihat di tempat penjualan mainan anak-anak dan setiap kali pula mereka meminta kami untuk membelikan sesuatu. Biasanya saya menolak permintaan mereka dengan alasan harganya, bagi kami terlalu tinggi. Dasar anak-anak, sekarang mereka mengubah taktik mereka. Setelah mangumandangkan permintaan mereka, pertanyaan pertama yang mereka ajukan adalah, apakah harganya mahal atau tidak. Masalah mulai timbul (bagi kami), karena adakalanya barang yang mereka inginkan harganya memang tidak terlalu tinggi. Sedangkan alasan utama kenapa kami tidak bersedia membelikan barang itu adalah karena kami ingin membatasi barang mainan mereka agar tidak melimpah- ruah dan hilang nilainya. Akhirnya saya terpaksa mengatakan bahwa kami tidak dapat membelikan mainan itu karena mereka sudah memiliki mainan sejenis itu atau kami menjanjikan untuk membelikan mainan itu pada hari ulang tahun mereka.

Dr.Dobson menekankan bahwa anak yang dilimpahi dengan materi niscaya mengalami kesukaran menghargai milik kepunyaannya. Saya menambahkan, anak yang tidak pernah menghargai milik kepunyaannya cenderung berkembang menjadi seseorang yang tidak berterima kasih dan mementingkan diri sendiri. Anak ini cenderung menjadi seseorang yang egois dan mementingkan haknya belaka, tanpa memikirkan kewajibannya dan kepentingan orang lain. Ia tidak mungkin menghargai pengorbanan orang lain dan tidak mengenal nilai pengorbanan diri. Segala sesuatu menjadi terlalu mudah baginya dan ia pun akhirnya cenderung memudahkan atau meremehkan segala sesuatu. Ingatlah, membatasi kepunyaan mereka tidaklah sama dengan menyengsarakan mereka. Membatasi keinginan anak penting untuk kita lakukan pada abad kemakmuran materi ini demi kebaikannya sendiri.

Terakhir, Dr. Dobson menjelaskan kiat membesarkan anak adalah menjaga keseimbangan antara kasih dan disiplin. Ia menuturkan sebuah cerita yang pernah terjadi pada abad ke-13 di mana Raja Frederick II mengadakan sebuah percobaan dengan 50 bayi. Tujuan eksperimen ini ialah untuk mengetahui bahasa apa yang akan digunakan oleh anak-anak ini apabila mereka dibesarkan tanpa pernah mendengar perkataan apapun. Raja tersebut meminta ibu pengasuh ini untuk membersihkan dan memberi mereka makan namun melarang para pengasuh ini untuk membelai ataupun berbicara kepada bayi-bayi ini. Percobaan ini ternyata gagal total karena akhirnya kelima puluh bayi ini akhirnya meninggal dunia.

Seorang anak membutuhkan kasih sayang dan penerimaan orangtuanya sama seperti ia memerlukan makanan dan minuman. Tanpa kasih sayang dan penerimaan, ia harus bertumbuh besar menjadi seorang manusia yang haus dan lapar akan kasih serta penerimaan orang lain. Namun ia pun memerlukan disiplin yang akan menolongnya menguasai diri dan patuh kepada otoritas di atasnya. Disiplin membantunya hidup dalam kerangka atau struktur sehingga ia tidak berkembang menjadi liar tak terkendali bahkan oleh dirinya sendiri. Disiplin diperlukan sebagai saran orangtua mengkomunikasikan pelajaran-pelajaran bermakna yang ia perlukan.

Dr. Dobson menyimpulkan, "Tatkala anak menantang dan memberontak, menangkanlah tantangan itu dengan meyakinkan. Ketika anak bertanya, 'Siapakah yang berkuasa (di rumah ini) ?'- beri tahu dia (bahwa Andalah, sebagai orangtua yang berkuasa di rumah ini). Saat ia bergumam, 'Siapakah yang mengasihi saya ?'- dekaplah ia dalam pelukan Anda dan penuhi dia dengan kasih sayang. Perlakukan dia dengan respek dan penuh penghargaan dan tuntutlah perlakuan yang sama darinya.

PERTANYAAN ANDA

Bagaimanakah mengatasi anak yang sukar makan ?

Seorang anak lahir ke dalam dunia tanpa pemahaman akan jadwal atau keteraturan, termasuk jadwal makan tiga kali sehari. Dengan kata lain, ia lahir tanpa suatu pengertian bahwa ia harus makan pada waktu-waktu tertentu yang telah ditetapkan oleh masyarakat pada umumnya. Ia lahir dengan suatu konsep (atau insting) bahwa ia dapat makan atau tidak dapat makan sekehendaknya. Pada waktu ia merasa lapar ia minta makan; pada saat ia tidak merasa lapar, ia menolak untuk makan. Pemahaman akan jadwal berkembang seiring dengan pertumbuhan anak menjadi dewasa.

Seringkali orangtua merasa kuatir tatkala anak, yang sebelumnya mudah makan, tiba-tiba tidak suka makan. Jika ini adalah kasusnya, pertama- tama saya menganjurkan agar Anda mengecek kesehatan anak tersebut. Mungkin saja ia sedang sakit atau ada sariawan di mulutnya yang membuat ia tidak berselera untuk makan. Apabila ia sehat secara medis, barulah kita memperhatikan segi kejiwaannya. Ada beberapa hal yang dapat kita lakukan. Anak kecil pada umumnya mengalami kesulitan untuk berdiam diri dan makan membutuhkan konsentrasi serta waktu berdiam diri. Ia secara terpaksa harus "dipenjara" untuk makan sedangkan anak pada usia di bawah 8 tahun, biasanya belum memiliki makanan favorit (sudah tentu punya "makanan favorit" seperti coklat atau permen, namun dalam pembahasan ini, hal-hal itu saya kategorikan sebagai camilan). Pada orang dewasa, nafsu makan dapat timbul tatkala ia merindukan makanan kesukaannya, sedangkan anak kecil biasanya belum membentuk asosiasi seperti ini. Jadi bagi anak kecil makan bukanlah suatu peristiwa yang terlalu mengasyikkan, malah sedikit menyusahkan, apalagi jika harus duduk diam.

Untuk mengurangi ketidaknyamanan pada waktu makan, kita bisa menciptakan suasana yang lebih santai. Dengan anak yang berusia di atas 5 tahun, mungkin kita bisa mengajaknya berbicara dan menemaninya makan, meski kita sendiri tidak perlu makan pada waktu itu. Suasana seperti ini dapat mengurangi kejemuan makan. Apabila cara-cara ini tidak berhasil, barulah kita terapkan disiplin, misalnya dengan menegurnya dengan tegas, menyimpan mainannya, melarangnya bermain sepeda atau komputer untuk hari itu, dan lain sebagainya. Mudah-mudaham jawaban ini dapat membantu. Selamat mencoba!

Sumber
Halaman: 
--
Judul Artikel: 
Parakaleo (Edisi Juli - Sept. 1994)
Penerbit: 
Departemen Konseling STTRI

Komentar