Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I
Konseling untuk Orang yang Masih Lajang
Edisi C3I: e-Konsel 027 - Singleness
"Melajang seringkali dipandang sebagai hal yang tidak biasa, kurang beruntung, tidak alami dan bahkan tidak diinginkan," ungkap seorang penulis artikel yang antusias. Lalu penulis itu melanjutkan bahwa pandangan itu sekarang telah berubah. Hidup melajang "bukan lagi merupakan cacat sosial". Pada kenyataannya, orang-orang yang masih lajang menikmati penerimaan sosial yang jauh lebih besar daripada sebelumnya .... Pernyataan hidup melajang telah dijunjung sejajar dengan pernyataan pernikahan, menjadikan status pernikahan murni sebagai masalah pilihan pribadi.
Walaupun alasan kesejajaran ini menggembirakan, namun seringkali, saya menduga, bahwa pergumulan orang-orang yang masih lajang adalah hal-hal seputar kesepian, kemarahan, rasa bersalah, hubungan interpersonal, kepercayaan diri, seks di luar pernikahan, dan homoseksual. Sebagai konselor perlu menyadari hal-hal berikut ini:
1. Evaluasi Sikap Anda Sendiri Sehubungan dengan Hidup Melajang
Belum lama berselang, sebuah gereja yang besar di daerah pinggiran telah mempekerjakan seorang pendeta untuk melayani para jemaat yang masih lajang. "Saya perlu suatu pekerjaan," kata pendeta itu. "Pekerjaan ini hanyalah sementara karena saya sebenarnya ingin sekali menjadi pendeta senior di gereja ini." Sikap seperti ini ditangkap dengan cepat, terutama oleh orang-orang lajang yang terbiasa menerima perlakuan seperti itu. Tidak ada konselor bisa menjadi efektif selama dia memiliki sikap yang negatif terhadap orang-orang lajang, berpikiran bahwa orang-orang lajang itu kedudukannya lebih rendah, atau menganggap bahwa kehadiran orang- orang lajang itu sebagai ancaman.
Orang-orang lajang, seperti yang telah kita perhatikan, seringkali merasa canggung di gereja. Kebanyakan dari mereka merasa tidak diinginkan, merasa dibiarkan, atau kadang-kadang menjadi obyek dari praduga dan tekanan-tekanan yang tidak terlalu kentara. Ingat, tidak selamanya benar bahwa sebagian orang dewasa yang masih lajang mengalami kesepian, kalut dengan urusan mencari pasangan hidup, beresiko buruk, mempunyai kecanggungan sosial, takut untuk menjalin keakraban atau tanggung jawab, tidak dewasa secara rohani, mudah marah, atau mengasihi diri sendiri. Setiap orang lajang, sama seperti orang yang telah menikah, adalah seorang pribadi yang istimewa dan unik, baik dengan segala kekuatan pribadi dan kebutuhannya. Beberapa orang lajang mempunyai banyak permasalahan karena kelajangan mereka; sebagian yang lain tidak.
2. Menolong dengan Penerimaan
Konsele yang masih lajang perlu penerimaan yang suportif, telinga yang mau mendengar cerita mereka, dan kadang-kadang seseorang yang dapat memahami rasa sakit, kepahitan, dan pergumulan tanpa disalahkan. Saat seorang konsele yang lajang mengalami perasaan diterima, maka dia kemungkinan akan menjadi lebih jujur dalam menghadapi frustasi-frustasi seputar kelajangannya. Sebagai tambahan, kemungkinan mereka juga akan lebih terbuka untuk merenungkan ajaran alkitabiah bahwa hidup melajang juga merupakan panggilan Allah kepada beberapa orang. Bantulah konsele untuk melihat bahwa hidup melajang tidaklah masalah untuk selalu menjadi orang kedua atau terpuruk dalam penderitaan hidup dan merasa kurang lengkap. Jadilah orang yang cukup realistik untuk mengetahui bahwa kesendirian dan frustasi-frustasi yang dialami orang lajang memang bia muncul. Sebaliknya, Anda kadang-kadang boleh mengingatkan para konsele bahwa menjadi orang lajang tidak perlu menghadapi problema- problema yang menimbulkan frustasi yang biasa dihadapi oleh orang- orang yang sudah menikah. Ketika permasalahan ini didiskusikan, berilah kesempatan kepada konsele untuk mengekspresikan perasaan dan pikirannya. Ingat, bahwa kita tidak menyelesaikan permasalahan untuk para konsele, namun kita menyelesaikan permasalahan bersama-sama dengan konsele.
3. Dorong untuk Membuat Rencana Hidup yang Realistik
Sebagai tambahan untuk menghadapi permasalahan dan berurusan secara jujur, orang-orang yang hidup melajang dapat belajar untuk memperjelas rencana-rencana mereka bagi masa depan. Tidaklah salah untuk mengharapkan kehidupan pernikahan atau untuk menyadari adanya kemungkinan untuk menikah di masa mendatang, tetapi tidaklah sehat untuk membangun kehidupan di atas peristiwa-peristiwa yang belum pasti. Lebih dari itu, para individu khususnya orang-orang Kristen, harus belajar untuk mempersiapkan masa depan dan untuk hidup di masa kini. Bagi orang-orang lajang, hal ini termasuk menghadapi kenyataan bahwa pernikahan (atau menikah kembali) mungkin atau tidak mungkin menjadi suatu kenyataan. Hal ini membutuhkan perhatian dan pengembangan dari kemampuan dan keahlian seseorang, pertimbangan akan kehendak Allah dalam kehidupan seseorang, perencanaan untuk tujuan jangka panjang dan jangka pendek, dan tindakan untuk menjalankan rencana-rencana tersebut guna mencapai tujuan. Konselor dapat menolong untuk memberikan pertimbangan-pertimbangan tersebut, memandu para konsele dalam memikirkan dan mewujudkan rencana mereka. Ada kalanya, orang lajang akan membutuhkan bantuan untuk permasalahan-permasalahan nyata seperti mencari pekerjaan, menyeimbangkan pengeluaran, atau menjalankan pekerjaan rumahtangga. Hal ini merupakan kebutuhan khusus bagi orang dewasa muda, orangtua tunggal, atau orang-orang yang baru saja kehilangan pasangannya. Dari semua hal tersebut, tujuannya pertama adalah untuk menerima dan mengatasi permasalahan tersebut, kemudian menuju ke arah untuk menolong orang-orang yang hidup lajang tersebut.
4. Dibimbing untuk Menjalin Hubungan Antar Pribadi
Karena orang lajang tidak memiliki pasangan, dia harus dibantu untuk menjalin hubungan yang akrab yang terlepas dari pernikahan. Secara teori tampaknya mudah, tetapi penerapannya sangatlah sulit.
John Fischer menyarankan dua prinsip untuk membantu orang-orang lajang dalam menjalin hubungan: menerima orang lain apa adanya tanpa berusaha untuk mengubah mereka, dan melibatkan diri dengan orang lain sebagai usaha untuk saling belajar dan berbagi. Namun saat seorang wanita lajang dan pria lajang berkomunikasi seperti tersebut, sesuatu yang biasa disebut Fischer sebagai "keanehan" mungkin akan muncul. Hal ini merupakan serangan halus yang secara perlahan-lahan menggerogoti jalinan karena orang-orang itu mulai ragu, "Apakah dia orangnya?" "Apakah ini yang disebut 'hubungan istimewa'? "Bagaimana jika saya nanti 'menggagalkannya'?" Jika ada ketakutan dan ketidakinginan untuk membicarakan pikiran tersebut secara terbuka, maka kedua orang itu akan merasa tidak enak, percakapan semakin sulit dilakukan, dan salah satu dari mereka (biasanya si pria) akan mundur. Untuk menghindari hal tersebut, Fischer menyarankan bahwa ketakutan-ketakutan itu dapat diatasi, jika pasangan itu secara terbuka setuju untuk melupakan kekuatiran mereka tentang pernikahan dan bahwa mereka dapat melanjutkan hubungan mereka yang nonromantis.
Bagi orang Kristen, hal ini dapat diatasi dengan suatu sikap yang secara konsisten meletakkan hubungan itu di tangan Tuhan dan mau untuk dipimpin oleh-Nya, bahkan jika hal ini berarti bahwa pasangan ini harus berjalan ke arah yang berbeda. Para konselor harus membantu orang-orang lajang untuk menghadapi tidak hanya "keanehan" mereka tetapi juga tantangan-tantangan saat menjalin hubungan secara efektif dengan orang-orang dari beragam situasi.
5. Berikan Bantuan bagi Orangtua Tunggal
Kebanyakan orangtua, ada saatnya merasa jenuh dan frustasi dalam menjalankan tugasnya untuk membesarkan anak-anak, tetapi orangtua tunggal harus mengalami frustasi-frustasi itu sendirian dan membuat keputusan sendiri. Beberapa bukti menujukkan bahwa tekanan-tekanan yang dialami orangtua terutama lebih dirasakan oleh para ibu yang berperan sebagai orangtua tunggal. Banyak di antara ibu tersebut memiliki pendapatan yang tidak cukup, standar hidup yang rendah, dan permintaan-permintaan yang terlalu banyak menyita waktu mereka. Tekanan itu akan terasa berkurang jika ada tenaga pembantu dan teman-teman yang menberikan dukungan atau dorongan, namun para ibu tunggal empat kali lebih sering mencari pelayanan kesehatan mental bila dibandingkan dengan para ibu yang masih didampingi oleh suaminya. Para orangtua tunggal perlu memahami dan mengekspresikan perasaannya tentang bagaimana menghadapi masalah tanpa pasangannya dan seringkali membutuhkan panduan praktis dalam membuat keputusan.
Orangtua tunggal kadang-kadang perlu diingatkan bahwa kesulitan hidup yang mereka hadapi, dirasakan juga oleh anak-anaknya. Statistiknya bervariasi di berbagai negara, tetapi di Amerika Serikat sekitar seperempat dari semua anak muda yang berumur di bawah 18 tahun dibesarkan oleh orangtua tunggal. Anak-anak ini membutuhkan perhatian, kasih, dan kontak dengan orang dewasa baik pria maupun wanita, serta kesempatan untuk terlibat bersama keluarga dari kedua orangtuanya yang dapat memberikan pandangan yang lebih luas tentang orang dewasa dan kehidupan keluarga. Komunikasi yang diwarnai dengan kejujuran, keterbukaan, ketulusan, dan kasih perlu dirasakan di rumah.
Kadang-kadang gereja dan konselor Kristen menarik orang-orang lajang yang menderita gangguan emosi, takut untuk menjalin hubungan, suka mengeluh, atau cenderung untuk memanfaatkan gereja sebagai tempat untuk mencari pasangan dan pengasuh anak secara gratis, atau teman tidur sementara. Melayani orang-orang lajang, terutama orangtua tunggal, dapat menyerap banyak waktu, dan belum tentu dijamin keberhasilannya. Namun pemikiran itu dapat membatasi diri untuk memberikan konseling kepada orang-orang lajang. Membantu orang lain selalu melibatkan waktu dan resiko, namun kepuasan yang diterima sangatlah besar -- baik bagi konsele, konselor, gereja, dan Kerajaan Kristus.
Kadang-kadang juga membantu bagi para orangtua tunggal untuk menjalin hubungan dengan para orangtua lain sehingga bisa saling terlibat dalam memberikan dukungan dan dorongan. Jika Anda mengadakan pertemuan-pertemuan informal dengan para pasangan yang sudah menikah, cobalah untuk menemukan orang-orang yang tidak merasa terganggu untuk menjalin hubungan dengan para orangtua tunggal. Dalam semuanya itu, tujuan dari pelayanan ini adalah menolong para konsele untuk percaya sepenuhnya kepada Allah, memenuhi kebutuhan mereka secara efektif, dan belajar untuk membesarkan anak-anak mereka dengan penuh kasih, disiplin dan pengertian.
6. Bantulah Orang untuk Menunggu
Menunggu tidaklah mudah, terutama di jaman yang serba cepat, penuh efisiensi, dan ketidaksabaran serta ketidaknyamanan ini. Ketika segala sesuatu tidak terjadi dengan cepat, tampaknya paling mudah adalah segera keluar dari permasalahan, membuat keputusan, dan melakukan tindakan yang mandiri. Namun, orang Kristen secara sukarela berada di bawah bimbingan ketuhanan Kristus -- Kristus yang tidak terburu-buru dan menginginkan kebaikan bagi orang-orang Kristen, seringkali membuat mereka menunggu. Dengan menunggu, kita akan belajar kesabaran, berurusan dengan dosa yang belum diakui atau permasalahan pribadi, dan berusaha untuk mengubah sikap kita. Menunggu tidak berarti bahwa kita hanya duduk-duduk saja dan tidak mengerjakan apa-apa. Kita bertindak hati-hati dan sesuai dengan kehendak Tuhan. Lalu kita percaya bahwa rencana-rencana Allah bagi kita akan tiba tepat pada waktu-Nya.
Bagaimana hal itu bisa diterapkan oleh orang-orang lajang? Beberapa diantara mereka berdiam diri dan menunggu Allah menyediakan seorang pasangan baginya, dengan asumsi bahwa jika mereka sungguh-sungguh beriman dan telah menyenangkan Allah, maka Dia akan menyediakan hadiah yaitu seorang suami atau istri yang tepat. Allah tidak menentang pikiran tersebut. Para konsele yang masih lajang, sama seperti mereka yang telah menikah, harus didorong untuk mempercayai kebaikan Allah, menanti-nantikan Allah setiap hari, dan berusaha untuk belajar menerima kebaikan-Nya dalam setiap kehidupan kita.