Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I
Pendidikan Anak dan Masa Depan Umat Manusia
Memasuki tahun 1998 dengan pelbagai tantangan telah membekali setiap pribadi dewasa dengan kecemasan dan pertanyaan "apa yang akan kita hadapi dan.... bagaimana masa depan umat manusia?" Lebih kurang lima bulan terakhir ini kita terus menerus membaca tentang analisa, ulasan dan hasil-hasil brain-storming dari ahli-ahli dan pengamat politik dan ekonomi tentang krisis yang sedang terjadi dan pendapat/pikiran mereka tentang apa yang mungkin dapat dilakukan. Terus-terang saja hampir semuanya mengecewakan. Penulis merasa prihatin, karena sedikit sekali bahkan hampir tidak ada yang benar- benar mencoba memikirkan akar persoalannya. Menganalisa gejala tak pernah menyelesaikan persoalan. Cara berpikir dengan orientasi phenomenological hanyalah reaksi terhadap gejala dan itu tak lain dari pada upaya memindahkan fokus perhatian manusia dari satu ke bagian yang lain saja.
Persoalan manusia sepanjang sejarah sama saja, hanya bentuk dan manifestasinya saja yang berubah-ubah. Alkitab mengatakan,"apa yang pernah ada akan ada lagi, dan apa yang pernah dibuat akan dibuat lagi.....tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari" (Pengkhotbah 1:9). Kalau dulu, oleh karena dosa dan kebodohan menusia terjerat dengan kesia-siaan, maka sekarang juga demikian. Dan...kalau "belenggu dosa" hanya dapat dibebaskan melalui darah Yesus Kristus, maka "kebodohan" hanya dapat diatasi melalui pendidikan. "Didiklah anak muda menurut jalan yang patut baginya maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang *KOSONG*
Jadi, di mana sebenarnya letak kunci penentu masa depan hidup manusia? Jawabnya sederhana, yaitu pendidikan. Sekali lagi pendidikan. Karena apa yang sekarang ini kita tuai adalah apa yang dahulu telah ditaburkan dalam jiwa anak-anak manusia. Krisis moneter hanyalah menifestasi dari kecerobohan dan ketamakan jiwa manusia, dan krisis politik hanyalah buah dari keangkuhan dan kedegilan hati manusia. Akar persoalan yang ada sekarang ini adalah kegagalan yang sama, James Dobson pernah mengatakan, "Our schools and education in the Christian families must have enough structure and discipline to require certain behavior from children because one of the purposes of education is to prepare them for life/ pendidikan di rumah maupun di sekolah harus memiliki struktur dan disiplin yang cukup untuk pembentukan pola-pola tingkah laku anak, karena salah satu tujuan pendidikan yang terpenting adalah mempersiapkan mereka untuk kehidupan (Focus on the Family, April 1996). Prinsip yang sama telah melahirkan kata-kata bijaksana yang berbunyi, "the child is the father of the man / anak sebenarnya ayah dari orang dewasa karena apa yang ada pada orang dewasa sebenarnya buah dari apa yang telah terjadi di masa kanak-kanak," (Sprinthall, et al, "Educational Psychology: A Developmental Approach," McGraw-Hill, 1994, p.142).
Masa pendidikan terpenting adalah masa kanak-kanak, dan kepentingannya menyangkut beberapa prinsip di bawah ini:
- Disiplin.
Hampir setiap pendidik sekarang percaya bahwa "learning must be fun/ belajar harus merupakan pengalaman yang menyenangkan." Memang pernyataan tersebut ada kebenarannya. Anak perlu menyukai "belajar: atau perasaan tertekannya menghambat proses belajarnya. Tetapi, jikalau kita renungkan apa yang Alkitab katakan, kita akan heran betapa kebenaran tersebut sebenarnya hanyalah kebenaran separuh (half-truth). Alkitab tidak secara penuh mendukung pernyataan bahwa pendidikan "harus menyenangkan *KOSONG yang "tidak menyenangkan" karena setiap individu anak hakekatnya "berdosa," dan apa yang mereka mau adalah melawan kebenaran Allah. Tidak pernah ada pendidikan yang benar tanpa disiplin.
Meskipun demikian, disiplin bukanlah merupakan hal yang secara natural dengan sendirinya setiap pendidik dan orangtua miliki. Orangtua dan guru perlu selalu mawas diri dan mengevaluir apakah disiplin yang mereka terapkan benar-benar sesuai dengan hukum alam yang Allah ciptakan (sesuai dengan phase pertumbuhan dan keunikan setiap anak) dan sesuai dengan prinsip kebenaran firman-Nya (motivasi dan tujuan yang sesuai dengan rencana Allah). Sebagai contoh, ialah pengalaman dari si anak genius, Wiliam Sidis, yang kehidupannya berakhir dengan tragis oleh karena kesalahan-didik ayahnya, yaitu psikolog Boris Sidis. Boris melatih si anak dengan penuh disiplin tetapi mengabaikan prinsip-prinsip pendidikan konventional yang menghargai perlunya pengembangan jiwa anak secara bertahap sesuai dengan kematangan umurnya. Hasilnya memang pada usia 5 tahun Wiliam sudah dapat menulis sebuah risalah anatomi, dan pada usia 11 tahun diterima di Harvard dan bahkan dapat memberi ceramah tentang "jasad empat dimensional." Tetapi kehidupan sosialnya sangat miskin. Majalah terkenal The New Yorker, th 1937 memuat berita tentang dia yang pada usai 39 tahun ditemukan miskin, dan sakit jiwa di sebuah gubuk reyot di daerah kumuh. Ia mati dalam kemiskinan dan kesepiannya, karena tidak berani bertemu dan bergaul dengan sesama manusia.
Disiplin adalah bagian terpenting dari pendidikan, tetapi disiplin harus dilaksanakan dalam kebenaran, atau..apa yang dihasilkan bukanlah pribadi yang siap menghadapi realita kehidupan yang sesungguhnya.
- Standar dan struktur.
Barangkali setiap kelompok masyarakat mempunyai budayanya sendiri dengan struktur yang unik untuk menentukan standar tingkah laku yang acceptable/ yang dianggap baik dan dapat diterima. Manusia dalam interaksinya sebagai makhluk-makhluk sosial telah menghasilkan struktur dan standar-standar tingkah-laku yang mereka anggap sebagai tingkah-laku "yang seharusnya" dilakukan oleh setiap anggota kelompok masyarakatnya. "Sungkem" yang dilakukan pada hari Lebaran, dirasakan oleh orang-orang Jawa sebagai tingkah-laku hormat yang terbaik, pada orangtua. Bagi kelompok masyarakat lain, memeluk dan mencium pipi mungkin merupakan hal yang lebih tepat.
Meskipun demikian, di samping keunikan budaya masing-masing, ternyata ada banyak persamaan-persamaan yang telah ditanamkan Allah dalam batin manusia. Ada standar dan struktur yang berlaku umum yang membekali disiplin dengan motivasi dan cara yang "lebih tepat." Dobson dalam artikel yang sama mengatakan, Maybe one of the greatest gifts a loving teacher can contribute to an immature child, therefore, is to help him *KOSONG* /mungkin salah satu kelebihan yang utama dari guru yang baik adalah kemampuannya menolong anak belajar dengan sukarela, duduk dengan tenang pada saat ia ingin berlari-lari, atau dengan suka rela mengangkat tangannya karena perhatian dan partisipasinya di kelas pada saat ia sebenarnya seorang anak yang maunya ngobrol terus dengan teman-temannya, dst....
Ada standar dan ada struktur tingkah laku "yang lebih tepat" yang memberikan arah dari disiplin dalam pendidikan. Pendidik yang baik tahu, dalam setiap konteks atau kondisi, tingkah laku apakah "yang seharusnya anak lakukan" jikalau ia ingin anak tersebut menjadi pribadi yang lebih baik. Jelas kepentingan pendidikan bukan hanya masalah cognitive dan mutu bahan pelajaran, karena yang terpenting dari pendidikan adalah struktur dan standar tingkah laku. Bagaimana seorang anak dapat dipersiapkan menjadi pribadi yang lebih baik, adalah inti dari seluruh kegiatan didik-mendidik. Coba bayangkan jikalau dunia ini penuh dengan orang yang pandai dan tahu bagaimana menjadi kaya tetapi berkepribadian kerdil. Bagaimana masa depan umat manusia jikalau pendidikan formal di sekolah maupun informal di rumah tidak memiliki struktur dan standar tingkah-laku yang memang khusus dirancang untuk membentuk pribadi-pribadi yang baik?
- Sistem kehidupan dalam keluarga.
Barangkali salah satu kendala pendidikan yang paling sering dibicarakan tetapi yang paling sedikit mendapat perhatian yang sungguh-sungguh, adalah sistim kehidupan dalam keluarga. Setiap keluarga mempunyai sistimnya sendiri-sendiri yang terbentuk melalui interaksi antar pribadi-pribadi di dalamnya. Seringkali sistim tersebut berubah-ubah di luar kemampuan individu untuk mencegahnya. Tahu-tahu sudah muncul ekses di mana kondisi sudah menjadi tidak kondusif lagi untuk pendidikan dan pertumbuhan jiwa, khususnya bagi anak-anak dalam keluarga tersebut.
Kesadaran akan gejala ini seharusnya ada dalam diri setiap orangtua. Lebih dini lebih baik, karena sistim yang terbentuk biasanya akan menjadi beku dan sulit untuk diubah lagi. Coba bayangkan orangtua yang sudah biasa tidak pernah bercakap-cakap hati ke hati dengan anak-anak mereka. Bagaimana mungkin mereka dapat mendidik anak-anak mereka, apalagi jikalau sistim "non-dialogis" seperti ini sudah terbentuk sejak anak-anak masih kecil.
Hampir setiap pendidik mengakui betapa pentingnya peran orangtua dan keluarga dalam pendidikan anak. Peck dan Havighurst menemukan, dalam risetnya, bahwa peran keluarga dalam pendidikan karakter dan moral, jauh lebih besar dibandingkan dengan lembaga-lembaga kemanusiaan yang lain, seperti sekolah dan gereja (J.M. Lee, "The Flow of Religious Instruction," Alabama:REP, 1973, p.65). Dan realita ini akan menjadi semakin kuat bagi keluarga-keluarga Kristen yang terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan rohani ("The Psychology of Character Development." NY.Willey *KOSONG* by the age of six (and possibly even earlier) the child's basic personality structure is already formed; subsequently experiences which the individual undergoes merely ampifly, reinforce, or expand these basic personality configurations / struktur kepribadian anak terbentuk pada usia 6th bahkan mungkin lebih dini lagi, dan apa yang ia lakukan di kemudian hari hanyalah manifestasi dalam bentuk-bentuknya yang baru (J.M. Lee, "Toward a Future for Religious Education," Dayton, Ohio: Pflaum Standard, 1970, p.30).
Sistim dalam kehidupan keluarga merupakan salah satu komponen terpenting dalam pembentukan kepribadian manusia. Dalam sistem yang kondusif, orangtua menemukan kebebasan untuk mendidik dan menjadi model yang riil dan konsisten bagi anak-anak mereka. Semakin dini orangtua menyadari dan membentuk sistim yang kondusif, semakin besar kemungkinan keberhasilan pendidikan moral dan karakter anak.
Pendidikan memegang peran terpenting dalam menentukan masa depan hidup manusia. Apa yang manusia lakukan sekarang ini, hanyalah manifestasi dari kepribadian yang telah terbentuk sejak kecil dalam keluarga, dan pengalaman dengan struktur pendidikan moral dan karakter di sekolah-sekolah. Bagaimana peran keluarga-keluarga Kristen (juga sekolah dan gereja) dalam mempersiapkan generasi yang lebih baik adalah jawab dari persoalan hidup manusia sekarang ini. Tuhan kiranya memberkati mereka yang mendengar dan menjawab panggilan-Nya.