Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I
Sekonyong-konyong
Oleh: Pdt. Paul Gunadi, Ph.D.
Tokoh Yusuf dalam Alkitab adalah seorang pemuda yang luar biasa. Bayangkan, dalam sekejap ia berubah status: dari seorang anak kecil yang dimanja ayahnya, sekonyong-konyong ia menjadi seorang budak yang dijual saudaranya. Dari seorang anak yang mempunyai segalanya, ia meluncur turun menjadi seorang budak yang kehilangan segalanya. Namun ia tidak selalu berada di dasar kehidupan, perlahan namun pasti ia merangkak naik menjadi kepala rumah tangga di rumah majikannya. Tetapi sekali lagi, ia harus mengalami bantingan yang menghempaskannya ke lantai dasar kehidupan: ia difitnah istri majikannya karena ia menolak berzina dengan istri yang tidak setia itu. Terlemparlah Yusuf ke penjara dan di sanalah ia mendekam seraya menantikan hari pelepasannya. Hari itu pun tiba tatkala Raja Firaun bermimpi dan ia dipanggil untuk menerjemahkan makna mimpi itu. Dari seorang budak sekaligus tahanan, sekonyong-konyong ia melesat ke atas menjadi seorang perdana menteri -- orang kedua setelah Firaun!
Ada satu pengamatan tentang Yusuf yang layak kita perhatikan. Kendati ia harus mengalami bantingan dan lonjakan -- yang selalu terjadi dengan sekonyong-konyong -- Yusuf tidak pernah berubah: Ia tetaplah Yusuf yang takut akan Tuhan. Karier atau tugas apa pun yang disandangnya, ia tetap sama: Ia mengerjakan semuanya dengan sebaik-baiknya dan dengan penuh tanggung jawab. Dan, ini yang penting: pada masa duka ia tidak mengerut, pada masa suka ia tidak mencelat. Ia tetaplah Yusuf yang baik hati dan bagi saya, ini yang membuatnya luar biasa.
Donald Super menjelaskan bahwa pembentukan karier berawal di usia remaja -- tahap yang disebutnya TAHAP KRISTALISASI -- masa di mana kita mulai memikirkan pelbagai pilihan karier. Selanjutnya, kita memasuki TAHAP SPESIFIKASI yakni kurun di mana kita menyempitkan pilihan pada satu atau dua bidang saja dan ini biasanya terjadi di akhir masa remaja. Kemudian kita membulatkan tekad dan menindaklanjuti pilihan itu dengan, misalnya berkuliah atau mengikuti pelatihan -- fase yang disebut Donald Super sebagai TAHAP IMPLEMENTASI.
Setelah usai berkuliah, kita pun turun ke lapangan kerja dan mulailah kita membuat fondasi guna membangun karier. Tahap ini -- yang disebut TAHAP STABILISASI -- berlangsung pada masa dewasa awal dan berjalan sampai usia pertengahan. Pada bagian puncak dari perkembangan karier sebelum kita akhirnya mulai beranjak turun, biasanya kita melewati TAHAP KONSOLIDASI -- tahap di mana kita mengembangkan karier yang telah kita dirikan. Begitulah kira-kira perjalanan karier kita pada umumnya.
Masalahnya adalah, tidak semua kita termaktub dalam kategori "pada umumnya". Ada sebagian dari kita yang harus dan terus berkutat menemukan pilihannya sampai usia senja. Ada sebagian lagi yang terpaksa beralih karier karena paksaan kondisi sehingga harus mengawali tahap stabilisasi lagi di saat seyogianya kita mulai mengembangkan karier. Dan, ada di antara kita yang sampai saat ini, tetap tidak tahu di mana seharusnya kita berada dalam garis karier ini. Kita masih merenung dan mungkin menyesali langkah-langkah yang pernah kita ambil. Kita tersesat di hutan belantara kehidupan dan tidak tahu bagaimana dapat keluar.
Beberapa waktu yang lalu saya bercakap-cakap dengan seorang pengemudi taksi yang bercerita tentang masa lalunya. Ternyata ia keluaran sekolah lanjutan yang kondang di kotanya; bahkan ia pun pernah berkuliah di sebuah perguruan tinggi yang baik namun sebelum tamat, ia meninggalkan bangku kuliah. Ia tidak menjelaskan alasannya namun ia menyesali hidupnya. Sekarang pada usia menuju 40 ia terpaksa menumpang lagi dengan orang tuanya; ia merasa malu dan bersalah.
Bagi kita yang pernah atau tengah menikmati karier, kita menyadari bahwa pada akhirnya kita mengaitkan karier dengan diri kita sendiri. Misalkan, seorang dokter medis kerap memanggil dirinya dengan sebutan "dokter" tatkala ditanya siapa namanya. Atau, seorang pendeta akan menyebut gelar kependetaannya sewaktu sedang memperkenalkan dirinya. Baik secara tersurat atau tersirat, kita mengidentikkan diri dengan pekerjaan yang kita lakukan sebab bukankah kita mencurahkan porsi terbesar dari waktu kita pada pekerjaan? Itu sebabnya mengubah garis karier kadang menjadi sebuah tugas yang berat. Saya kira salah satu penyumbang kesukarannya adalah karena perubahan karier bermuara pada perubahan identitas diri -- suatu gambar pengenal yang telah melekat pada diri selama bertahun-tahun.
Kesukaran berikutnya berhulu pada kenyataan bahwa pembangunan karier tidak terjadi dengan sekonyong-konyong. Sebagaimana diuraikan Donald Super, fase penaburan dimulai pada masa remaja dan pada umumnya kita baru mencicipi hasil tuaian pada masa mendekati paro-baya suatu rentang waktu yang mencakup sekurangnya dua dekade. Perubahan karier berarti meninggalkan investasi waktu, tenaga, dan uang yang tidak sedikit. Namun, hidup tidak selalu berjalan seperti yang kita bayangkan. Adakalanya kita dibuat kaget karena sekonyong-konyong kita harus membelokkan arah perjalanan dan kita tidak siap. Ketidaksiapan bisa berbuntut panjang dan tragis: ada yang frustrasi, ada yang depresi, dan ada yang mengakhiri hidupnya.
Saya kira Yusuf pun tidak pernah siap menyambut perubahan "karier" yang selalu menyapa hidupnya dengan sekonyong-konyong (Kejadian 37-50). Dari seorang anak yang dihangati kasih sayang ayah, ia tidak siap dilempar ke dalam sumur untuk dibunuh oleh saudara kandungnya sendiri. Ia pun tidak siap menggantikan kondisi hidupnya dari seseorang yang merdeka menjadi seorang budak. Ia juga tidak siap difitnah dan dibuang ke penjara tanpa proses peradilan yang menurut perhitungan manusia di situlah ia akan terus mendekam sampai ajal menjemputnya.
Terakhir, saya kira ia pun tidak siap menerima promosi yang tidak kepalang tanggung: menjadi penguasa salah satu negara terjaya pada zamannya.
Charles Swindoll kerap mengingatkan agar kita tidak menggenggam hidup erat-erat -- peganglah hidup namun jangan menggenggamnya. Kita tidak tahu kapan kita harus melepaskan pegangan tangan kita dan genggaman yang erat sudah tentu akan menyulitkan kita untuk melepaskan apa pun itu yang kita sayangi, termasuk karier. Keengganan atau ketidaksiapan kita melepaskan genggaman karier bisa menimbulkan korban: kita sendiri atau orang lain yang kita tuding tengah mengancam karier kita.
Meski ia tidak pernah siap, Yusuf bertahan dalam kondisi apa pun sebab ia tetap percaya bahwa masih ada Tuhan dalam hidup ini dan bahwa Ia tetaplah Allah yang baik yang masih melihat dan memelihara anak yang dikasihi-Nya. Situasi "sekonyong-konyong" tidak harus meluluhkan iman dan karakter kristiani kita. Apa pun kondisinya, ingatlah, jangan menggenggam karier, genggamlah tangan Tuhan saja!
Sumber: | ||
Judul Buku | : | Parakaleo, Edisi Juli-September, Vol.X, No.3 |
Penulis | : | Pdt. Paul Gunadi, Ph.D. |
Penerbit | : | STTRII |
Halaman | : | 2 - 4 |