Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I
Alkitab dan Tindak Kekerasan
Edisi C3I: e-Konsel 136 - Pola Mendidik Anak dalam Keluarga Kristen
Alkitab mengisahkan berbagai tindak kekerasan yang terjadi. Pembunuhan, peperangan, dan sejumlah orang yang mati martir sering disebutkan dalam kisah-kisah di Alkitab. Sering kali, kekerasan terjadi karena perbuatan dosa yang dilakukan oleh orang yang tidak taat -- yang hidupnya tidak sesuai dengan kehendak Allah. Kekerasan juga merupakan akibat dari perang yang Tuhan izinkan terjadi untuk menghukum orang yang jahat dan untuk mengatur keadilan.
"Tongkat dan teguran" seperti yang terdapat dalam Amsal 29:15, merupakan penekanan disiplin untuk menghilangkan kebodohan dari seorang anak, untuk melindungi anak tersebut dari perilaku merusak diri, "memberi nasihat", dan mengusahakan perdamaian dan relasi yang baik dalam keluarga (Amsal 22:15; 23:13-14; 29:15,17).
Alkitab tidak mengizinkan atau membenarkan terjadinya kekerasan terhadap anak, pasangan, orang tua, ataupun kekerasan dalam hal seksual. Sebaliknya, Perjanjian Baru menekankan perilaku yang bukan merupakan tindak kekerasan. Yesus tidak hanya menghukum pembunuh saja, tetapi juga orang yang marah terhadap orang lain (Matius 5:21-23). Melalui Khotbah di Bukit, Yesus mengajarkan, "Jangan menghakimi," atau sebaliknya kita akan dihakimi oleh kesalahan dan kelemahan kita sendiri (Matius 7:1-5). Dalam surat kepada jemaat di Kolose, para suami diajarkan untuk mengasihi istri mereka dan tidak berbuat kasar kepada mereka, "Hai suami-suami, kasihilah isterimu dan janganlah berlaku kasar terhadap dia" (Kolose 3:19). Para ayah diperintahkan untuk "... janganlah sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya" (Kolose 3:21). Para majikan diperintahkan supaya melakukan apa yang "adil dan benar". Tidak ada tempat untuk melakukan kekerasan atau gangguan terhadap pekerja. "Hai tuan-tuan, berlakulah adil dan jujur terhadap hambamu; ingatlah, kamu juga mempunyai tuan di sorga" (Kolose 4:1). Orang-orang percaya diajarkan untuk menghilangkan "Segala kepahitan, kegeraman, kemarahan, pertikaian, dan fitnah ..., demikian pula segala kejahatan." Kita diajarkan untuk "... ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu" (Efesus 4:31-32). Di antara orang percaya diajarkan, "Tetapi percabulan dan rupa-rupa kecemaran atau keserakahan disebut sajapun jangan di antara kamu, sebagaimana sepatutnya bagi orang-orang kudus. Demikian juga perkataan yang kotor, yang kosong, atau yang sembrono -- karena hal-hal ini tidak pantas -- tetapi sebaliknya ucapkanlah syukur" (Efesus 5:3-4). Dalam 1 Timotius dan Yakobus, kita bisa membaca betapa pentingnya memperlakukan saudara kita yang lebih tua dan orang lain yang lebih senior dengan baik dan hormat. Tidak ada tempat bagi orang percaya untuk melakukan kekerasan terhadap orang yang lebih tua (1 Timotius 5:1-8,17; Yakobus 1:27).
Semua contoh di atas menggambarkan teladan yang baik. Meskipun demikian, banyak yang gagal mengindahkan perintah-perintah ini, padahal perintah ini jelas menunjukkan bahwa Allah menentang kekerasan. Untuk itu, umat-Nya pun harus menentang kekerasan.
Bagaimana dengan korban kekerasan? Yesus mengatakan kepada kita supaya kita mengasihi musuh kita dan mendoakan orang yang menganiaya kita (Matius 5:43; 6:14; Filipi 4:6). Matius 5:39 mengatakan, "Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapa pun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu." Kita diperintahkan untuk mengampuni orang yang berbuat dosa kepada kita dan kita tidak boleh khawatir tentang apa pun juga. Perintah ini menuntun para konselor Kristen untuk memberi nasihat kepada para korban kekerasan supaya tidak membalas pukulan, tindakan kasar, dan kekerasan lainnya.
Sebenarnya, Alkitab tidak memerintahkan kepada kita untuk tidak menjaga atau tenang-tenang saja apabila anak-anak atau orang tua kita mendapat perlakuan kasar dari anggota keluarga lainnya. William Barclay menuliskan pendapatnya tentang Matius 5:38-42, "Berulang kali hidup membawa kita pada hal-hal yang besar atau pun kecil; dan di ayat ini Yesus mengatakan bahwa orang Kristen yang sejati harus belajar untuk tidak mudah marah dan tidak melakukan pembalasan yang sia-sia." Dengan pertolongan Allah, korban kekerasan bisa belajar mengasihi orang yang menganiaya mereka, mendoakan musuh mereka, mengampuni orang yang kasar kepada mereka, dan percaya Allah akan memberikan kedamaian dalam diri mereka di tengah-tengah situasi kehidupan yang sulit ini. Hal ini tidak menutup kemungkinan bagi korban dan konselornya untuk mengambil langkah pencegahan terhadap kekerasan, melindungi korban dari bahaya yang mungkin datang, dan untuk mengajarkan contoh-contoh tindakan baik yang telah diajarkan dengan jelas oleh Alkitab.
SEBAB-SEBAB TINDAK KEKERASAN
Mengapa seseorang itu melakukan kekerasan terhadap orang lain baik secara fisik maupun psikologis? Jawaban yang paling mendasar adalah keberdosaan manusia, tetapi hal ini tidak menjelaskan mengapa ada orang yang melakukan tindak kekerasan yang berdosa ini, sedang orang lain tidak melakukannya. Sekali lagi, kita dihadapkan pada perilaku kompleks yang tidak disebabkan oleh satu hal. Perkosaan bisa menimbulkan akibat yang sangat berbeda bila dialami oleh seorang anak yang sudah dewasa yang mengabaikan dan memperlakukan ibunya yang sudah tua dengan tidak baik, atau bila dialami oleh seorang anak yang pernah mengalami pelecehan seksual yang dilakukan oleh ayahnya. Dalam daftar beberapa penyebab kekerasan berikut ini, perlu Anda perhatikan bahwa setiap kasus konseling yang Anda hadapi, semua, beberapa, atau bahkan tidak satu pun dari daftar berikut ini yang bisa Anda gunakan. Setiap situasi memiliki penyebabnya sendiri.
Sebelum melihat penyebab-penyebabnya, kita perlu menghilangkan satu pengertian yang salah, yang sering kali dipercayai oleh korban dan keluarganya. Tidaklah benar bila kita menganggap bahwa korban kekerasan biasanya memancing dengan memberi tanda bahwa dia ingin diperlakukan kasar. Contohnya, sangat kejam dan tidak benar bila kita menyimpulkan bahwa korban perkosaan benar-benar ingin diperkosa dan mereka sebenarnya bisa mencegah hal ini bila mereka benar-benar mau melarikan diri. Dalam kesempatan tertentu, tanpa disadari, korban bisa saja mengundang reaksi dari pelaku, tapi hal ini bukanlah hal yang biasa terjadi dan tentu saja tidak normal. Perkosaan merupakan serangan kekerasan terhadap seorang wanita dengan menggunakan seks sebagai senjata. Bagi kebanyakan korban, peristiwa seperti ini sangat mengguncang dan sering kali menjadi pengalaman hidup yang mengerikan. Korban perkosaan dan juga korban-korban kekerasan lainnya tidak mengharapkan hal ini terjadi, dan mereka pun juga tidak diam-diam menikmatinya.
Apa yang menyebabkan terjadinya kekerasan? Berikut beberapa alasan di antara begitu banyak, kompleks, dan bertumpuk-tumpuknya alasan yang biasa ditemui konselor.
1. Stres yang disebabkan oleh lingkungan atau suasana.
Bertahun-tahun yang lalu, para psikolog untuk pertama kalinya mengidentifikasikan adanya perilaku frustrasi-agresi (frustration-agression). Saat seseorang sedang benar-benar frustrasi, reaksi yang biasanya timbul adalah melampiaskan perasaannya secara verbal atau fisik kepada orang lain atau benda-benda di sekitarnya. Contohnya, seorang pengusaha yang tertekan membentak sekretarisnya, atau seorang petenis yang frustrasi membanting raketnya ke tanah, atau seseorang yang memukul anjing kesayangan keluarganya.
Orang tua lebih mudah frustrasi karena tangisan atau rengekan anak-anaknya. Mereka berharap ada suatu cara untuk "membungkam anak itu". Mempunyai saudara yang sudah tua, yang semakin hari semakin tergantung dan tidak dapat merawat dirinya sendiri, juga menjadi penyebab frustrasi yang lebih parah. Jika mulai ada tekanan dalam hal keuangan dan pekerjaan, akan lebih mudah lagi melampiaskannya kepada anggota keluarga, apalagi bila anggota keluarga itu lemah, tidak mampu menolong, atau tidak mampu mandiri. Kadang-kadang stres yang disebabkan oleh hal-hal sepele bisa memicu kekerasan, misalnya, tangisan anak yang mengganggu/menginterupsi hubungan seksual orang tuanya, atau frustrasi karena membersihkan sisa-sisa makanan atau pakaian kotor. Tentu saja, stres yang terjadi dalam hidup pelaku kekerasan bukan merupakan alasan baginya untuk melakukan kekerasan, meskipun stres tersebut disebabkan oleh korbannya. Sebaliknya, stres bisa membantu kita memahami mengapa ada orang melakukan kekerasan.
Seorang penulis menyatakan bahwa stres yang menyebabkan kekerasan sering kali terjadi dalam tiga tahap. Pertama, tahap pembentukan ketegangan di mana stres meningkat dan teknik-teknik untuk mengatasinya menjadi semakin tidak efektif. Pada tahap yang kedua, terjadilah kekerasan. Sering kali ledakan kekerasan itu tidak masuk akal dan pelaku harus dihentikan secara fisik. Tahap ketiga adalah tahap penyesalan setelah penyerangan. Orang yang melakukan kekerasan ini meminta maaf yang sedalam-dalamnya, menunjukkan perasaan yang sangat menyesal, berjanji tidak akan mengulangi lagi, dan kadang-kadang membanjiri korbannya dengan hadiah-hadiah dan kasih sayang. Hal ini menjadikan korban berharap kekerasan itu tidak akan diulang lagi. Dengan demikian, korban diharapkan mau terus menjalin hubungan, namun pada saat stres kembali menyerang, siklus ini cenderung terulang lagi.
2. Belajar melakukan kekerasan.
Sering kali anak-anak yang mengalami kekerasan atau yang melihat kekerasan dari orang tua mereka akan menjadi pelaku kekerasan. Penelitian tentang kekerasan terhadap orang yang sudah tua menunjukkan bahwa ternyata dari empat ratus anak yang dibesarkan tanpa mendapat perlakuan kasar dari orang tuanya, hanya satu yang setelah dewasa menyerang orang tuanya, dibandingkan dengan satu dari dua anak yang diperlakukan kasar oleh orang tuanya. Laporan lain menunjukkan bahwa anak-anak yang diabaikan, tidak pernah belajar bagaimana peduli terhadap orang lain sehingga mereka tumbuh menjadi orang yang tidak peduli terhadap anak-anak mereka sendiri.
Penelitian lain mendukung kesimpulan tentang perlunya pembelajaran sejak awal. Saat orang dewasa menampar atau memukul orang yang merawatnya, orang yang ditampar itu akan lebih terdorong untuk membalas tamparannya. Bila anak-anak tumbuh dalam lingkungan keluarga di mana pukulan dan kontak fisik lainnya menjadi hal yang biasa, anak-anak ini akan belajar melakukan kekerasan. Penelitian terhadap beberapa veteran perang dan polisi rahasia pada masa rezim totaliter telah menunjukkan bahwa orang biasa bisa dilatih untuk menyakiti dan menyiksa orang lain tanpa merasa bersalah. Perilaku kasar dan tindak kriminal jelas dapat dipelajari dan dihilangkan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
3. Kegelisahan pribadi.
Kebanyakan penelitian menunjukkan bahwa pelaku kekerasan adalah orang yang merasa tidak aman, impulsif, dan terancam. Pada umumnya, mereka memiliki konsep diri yang rendah. Kadang-kadang seseorang yang senang memukul istrinya, memiliki rasa cemburu, posesif, atau terintimidasi oleh istrinya sendiri sehingga sang suami mencoba mendorong perasaan ketidakmampuannya dengan berlaku kasar. Beberapa orang tua yang suka memukul, merasa tidak cukup baik sebagai orang tua, sehingga mereka mencoba mengatur keturunannya dengan kekerasan. Orang tua yang memiliki rasa toleransi yang rendah terhadap perilaku hiperaktif normal yang dilakukan anak-anak mereka, menggunakan kekerasan sebagai cara untuk mengatur anak-anaknya. Penelitian terhadap narapidana pelaku perkosaan menunjukkan bahwa sering kali mereka adalah seorang pemarah yang melampiaskan amarah dan memenuhi kebutuhan seksualnya dengan menyerang wanita dan menggunakan seks sebagai senjata. Sebaliknya, "incest" (hubungan seks dengan saudara yang sedarah) tidak begitu menyakitkan, tetapi sering kali dilihat sebagai pria yang melihat saudara perempuannya dengan kelembutan hati dan pengertian. Beberapa ayah yang menikahi anak perempuannya mendapatkan banyak kepuasan seksual di tempat lain, tetapi mereka tidak memiliki kedekatan emosional yang berasal dari hubungan seks ayah dan anak. Para pria lainnya dapat dengan mudah mengambil keuntungan pribadi dengan melampiaskan kebutuhan seksualnya kepada anak-anak yang ada di sekitarnya -- anak-anak yang tidak berani atau tidak mau memprotes tindakan itu.
Masih ada sebab-sebab kekerasan lainnya. Kadang-kadang, ada kekuatan untuk terus berjuang di antara pelaku kekerasan dan korban. Penelitian menunjukkan bahwa film-film, barang-barang berbau pornografi, dan program televisi yang menampilkan kekerasan seksual, dapat dan turut meningkatkan kekerasan, khususnya kekerasan terhadap wanita. Itulah sebabnya, terjadi kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang yang dibebani dengan tanggung jawab besar terhadap keluarga.
Seorang ibu berusia 68 tahun yang meninggal akibat kelaparan menyebabkan lingkungan sekitarnya diolok-olok. Tetapi seorang wartawan melaporkan bagaimana anak ibu itu tidak mampu merawat ibunya. Ibu itu adalah orang yang membingungkan, tidak dapat mengendalikan diri, buta, tidak mau ditolong, dan tidak mau bekerja sama. Ibu ini tidak mau makan dan kadang-kadang memasukkan makanan yang sudah dikunyah ke dalam sakunya. Anak ibu ini sendirian merawat ibunya, padahal dia juga harus bekerja. Dia tidak mengetahui pelayanan sosial apa saja yang ada di lingkungannya, yang mungkin dapat membantu. Dia tidak berkata-kata kasar kepada ibunya atau pun melakukan kekerasan kepada ibunya. Dia berlaku kasar kepada ibunya hanya dalam bentuk pengabaian karena tidak dia tahu bagaimana mengatasi kesulitannya.
Uraian di atas menjelaskan kompleksitas dan kesulitan dalam usaha menunjukkan kasus-kasus kekerasan. Namun, berbeda dari masalah-masalah lainnya, dalam kasus kekerasan, korbannya mungkin tidak begitu tertarik mengetahui mengapa kekerasan itu terjadi sehingga diperlukan perhatian yang lebih dalam lagi untuk menolong memulihkan para korban kekerasan. (t/Ratri)
Diterjemahkan dan disunting seperlunya dari: | ||
Judul Buku | : | Christian Counseling: a Comprehensive Guide |
Judul Asli Artikel | : | The Bible and Abuse |
Penulis | : | Gary R. Collins, Ph.D. |
Penerbit | : | Word Publishing, Dallas 1988 |
Halaman | : | 296 -- 299 |