Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I
Air Susu Dibalas Air Tuba
 
Mulai saat ini saya harus lebih hati-hati mengamati ‘si sulung’. Kemarin, tiba-tiba saja dia memukul kepala adiknya dengan mainan. Untung saja tidak terjadi apa-apa dengan ‘si bungsu’." - "Kedua anak lelaki saya tidak pernah rukun, setiap kali bertemu pasti berkelahi, kemarin yang besar meninju yang kecil sampai bibirnya berdarah."
Keluhan-keluhan seperti ini banyak keluar dari orang tua yang mempunyai dua anak atau lebih. Persaingan, iri hati, dan cek-cok sulit dihindari ketika anak pertama kita tidak lagi menjadi anak tunggal. Hati orang tua pastilah merasa susah ketika melihat anak-anaknya berkelahi. Bagaimana dengan Hawa? Hawa bukan saja melihat kedua anaknya berkelahi, akan tetapi si sulung membunuh si bungsu.
Kain adalah anak pertama di dalam dunia ini, dan Kain adalah anak pertama yang memberontak dan melakukan hal yang bertentangan dengan maksud Tuhan. Kain menjadi pembunuh dan pengecut. Ia adalah anak yang mengecewakan hati kedua orang tuanya. Siapakah yang salah? Apakah semua itu adalah hasil pendidikan yang salah? Mungkinkah Adam dan Hawa lebih mengasihi Habel daripada Kain sehingga membangkitkan rasa iri hati pada Kain yang akhirnya berubah menjadi kebencian dan dendam? Mungkin saja!!
Mungkin juga Adam dan Hawa sangat mengistimewakan Kain sebagai anak pertama, sehingga penolakan Tuhan terhadap persembahannya membuatnya begitu terpukul.
Mungkinkah Adam dan Hawa terlalu sibuk mengurus dunia ciptaan Allah sehingga tidak sempat memperhatikan adanya persaingan tidak sehat di antara kedua anak mereka? mungkin saja!!! Akan tetapi Alkitab tidak mempersalahkan Adam dan Hawa. Tuhan minta pertanggung jawaban pribadi Kain di dalam kasus pembunuhan Habel. Tuhan mempermasalahkan bagaimana Kain menguasai hatinya dan kebebasannya. Dengan demikian ada kemungkinan bahwa Adam dan Hawa sudah mendidik Kain baik-baik, akan tetapi pada akhirnya Kain membalas kebaikan Tuhan dan kedua orang tuanya dengan kejahatan. Air susu di balas dengan air tuba. Akan tetapi Tuhan mengganti kekecewaan, kebingungan dan mungkin rasa bersalah mereka dengan kelahiran Set.
Dari catatan Alkitab mengenai peristiwa dapat menimbulkan berbagai pertanyaan theologis dan praktis, misalnya:
Pertanyaan theologis:
Di dalam I Yoh. 3:11,12 dikatakan bahwa Kain berasal dari si jahat. Nampaknya seolah-olah dia tidaklah termasuk dalam kaum pilihan Tuhan. Apakah mungkin anak kita, yang dibesarkan di dalam keluarga Kristen ternyata bukan kaum pilihan?
Apakah iman orang tua menentukan keselamatan anak? Jika ya, sejauh mana dan bagaimana?
Pertanyaan praktis :
Apakah mungkin, jika orang tua yang sudah mendidik anak dengan baik seturut Firman Tuhan menghasilkan anak-anak yang murtad?
Sejauh mana orang tua dapat membimbing anak kepada keselamatan?
Tanggapan Lisan dari pembaca:
Pertanyaan itu seringkali muncul ketika anak saya sulit sekali diatur. Apalagi kalau dia mulai melawan. Dalam hati saya bertanya: "Apakah pengorbanan saya akan menjadi sia-sia? Apakah dia dapat mengingat kasih sayang yang saya curahkan? akankah dia melupakannya begitu saja dan membalas kebaikan saya dengan kejahatan? Apakah anak saya bisa menjadi anak yang saya harapkan?" Saya sudah meninggalkan pekerjaan demi dia, akan tetapi saya tidak merasakan balasan pengertiannya. Yach sudah barang tentu.. karena dia masih kecil. Tapi bagaimana kalau dia tidak akan pernah mengerti? (AL)
Tanggapan Lisan dari anggota KTB:
Cerita Kain dan Habil membuat saya berpikir betapa pentingnya kita memperlakukan anak-anak kita secara adil. Saya pernah mengalami kesulitan dengan si sulung, oleh karena saya ingin dia menjadi kakak yang baik bagi adik-adiknya. Saya menuntut dia untuk berdikari, menolong adik, mengalah, dan sebagainya. Saya tidak menyadari bahwa diapun adalah anak-anak. Dia masih butuh pelukan saya waktu tidur, dia masih butuh perhatian khusus, ciuman dan kadang-kadang dia ingin bermanja-manja dengan saya. Puji Tuhan, akhirnya saya menyadarinya dan saya minta maaf padanya. Saya mulai berusaha untuk menyediakan waktu saya untuk memperhatikan dia secara individu sebagaimana saya juga memperhatikan adik-adiknya. Sejak saat itu, dia tidak lagi nakal untuk mencari perhatikan saya. Dia banyak sekali membantu saya. Dengan memberikan wakktu untuk memperhatikannya, ternyata saya dapat menyelesaikan tugas-tugas saya sebagai ibu rumah tangga dengan lebih efektif.
 
Mengenai iman orang tua terhadap keselamatan anak, saya dan suami tidak bisa menjamin keselamatan anak-anak. Yang dapat kami lakukan adalah melakukan tanggung jawab kami sebaik-baiknya dan menyerahkan anak-anak kami ke dalam pimpinan Tuhan. Itulah iman kami. (SS)
 
Saya percaya akan perjanjian Allah kepada umat pilihanNya. Tuhan sudah memberikan karunia iman kepada kita sebagai orang tua dan kita harus menerima iman itu dengan teguh sehingga memperkuat praktek pendidikan iman kita kepada anak-anak. Jika kita penuh keraguan apakah anak kita diselamatkan atau tidak, praktek pendidikan iman kepada anak-anak kita akan menjadi lemah. Saya pribadi percaya bahwa anak saya adalah termasuk dalam umat pilihan Allah. Itulah sebabnya saya menyerahkan anak saya dalam baptisan anak. (ALS)
Tanggapan tertulis salah satu anggota KTB Eunike:
Konsep tentang air susu dibalas dengan air tuba seringkali dihubungkan dengan pengharapan orang tua terhadap terwujudnya harapan tersebut dari si anak. Apabila anak yang dididiknya baik-baik menjadi anak yang saleh, maka orang tua merasa diri berhasil. Demikian pula halnya jika orang tua mengharapkan anaknya lulus dengan nilai yang memuaskan. Dan banyak lagi kepuasan-kepuasan lain sesuai dengan pengharapan-pengharapan orang tua.
 
Bagaimana dengan konsep iman Kristen? Seharusnya konsep Iman Kristen mempunyai pengertian yang lebih mendalam karena ukuran kepuasan kita bukanlah sesuatu yang dapat diukur dengan mata.
 
Berkat dari diskusi Alkitab dalam KTB "Eunike":
Janji Tuhan terhadap Hawa bahwa keturunannya akan meremukkan kepala ular (iblis) membuat Hawa menjadi seorang ibu yang memiliki visi yang besar. Dengan visi yang besar itu, Hawa berperan sungguh-sungguh sebagai seorang ibu bagi Kain. Namun, cerita tentang Kain justru membuat kita tersentak karena Kain yang berasal dari si Jahat membunuh adiknya yang benar (Ibr. 9:25). Kain berencana untuk melakukan dosa tersebut justru pada saat Kain sedang mempersembahkan korban bakaran buat Tuhan.
 
Untuk menjawab pertanyaan "Apakah Hawa tidak mendidik Kain di masa kanak-kanaknya?", saya harus terlebih dulu bertanya "Mengapa Habil tidak seperti Kain? Ia mempunyai hati yang mengasihi Tuhan." Kedua, "Jika Hawa tidak menjalankan perannya dengan benar sebagai ibu bagi Kain, mengapa Tuan tidak menghukum Hawa seperti Tuhan menghukum imam Eli? Apakah karena Imam Eli adalah seorang Imam/pemimpin agama sehingga ia dituntut tanggung jawab yang lebih besar daripada Hawa?" Ketiga, "Apakah dengan hilangnya kedua anak sekaligus (Kain dan Habil) itu merupakah hukuman bagi Hawa?" Saya tidak bisa menjawab semua pertanyaan ini dengan pasti. Hal yang pasti yang dapat saya kemukakan adalah bahwa setelah semua peristiwa kriminal tersebut, Hawa mendapat penghiburan dari Tuhan dan dipercaya untuk mendidik Set sebagai pengganti Habil. Dari keturunan Set kemudian lahirlah Yesus Kristus, juru selamat dunia.
 
Bagi saya, kemungkinan air susu dibalas dengan air tuba tidak dapat dijawab dengan suatu pembuktian yang dapat dilihat dengan mata jasmani. Janji Tuhan buat orang benar tidak bicara tentang keuntungan di luar, tetapi keuntungan yang kekal dan dinikmati oleh hati yang mengasihi Tuhan. Seperti Hawa yang dihibur dan dipercaya oleh Tuhan melalui kesempatan menjadi ibu Set, demikianlah Tuhan membalaskan air susu dengan air susu. Betapa bahagianya Hawa akan kepercayaan dan anugerah Tuhan dalam hidupnya.
(Rachel Roho, 30 tahun)
 
Tanggapan Tertulis dari pembaca:
Saya dididik oleh orang tua yang suka berdoa, baik sebelum makan dan tidur, juga sebelum dan sepulang dari bepergian atau kerja. Setiap malam ayah mengumpulkan anak-anaknya untuk berdoa bersama. Pola kehidupan doa ini sangat melekat dalam kehidupan saya dan saudara-saudara saya, sehingga saat kami dewasa kamipun mempunyai kehidupan doa yang indah. (Beppy Latumeten, 23 tahun)
 
Mama saya adalah seorang wanita Kristen sederhana yang sangat mengasihi Tuhan. Sejak saya kecil, beliaulah yang dominan dalam mendidik dan membentuk kepribadian saya. Mama membuka salon kecantikan di rumah. Dengan bekerja di rumah, mama tetap dapat mengawasi saya sambil menambah penghasilan untuk keluarga. Mama selalu berusaha menyediakan waktu untuk saya di tengah-tengah kesibukan salon dan pelayanan di gereja. Mama selalu memakai waktu makan siang dan malam bersama untuk bertukar pikiran, saling menceritakan pengalaman dan perasaan. Hal ini membuat ikatan batin yang mendalam antara saya dan mama. Walaupun waktu kecil saya sering nakal dan kadang-kadang hampir terpengaruh teman-teman sekolah yang tidak baik, kasih mama selalu mengingatkan saya untuk takut berdosa pada mama dan Tuhan. Kasih saya kepada mama makin bertambah hingga saat ini. Saya tidak mungkin membalas kasih mama dengan air tuba. (SR, mahasiswa Sekolah Theologia)
 
Ayahku telah tiada, akan tetapi saya tidak bisa melupakan kenangan manis bersamanya: Ciuman dan pelukan setiap kali ia ada di rumah (ia adalah seorang pendeta yang sibuk), ketika pergi naik bemo aku duduk dipangkuannya, juga ketika ngobrol di meja makan. Sekalipun waktu yang beliau miliki tidak sebanyak ibu, tapi ayah sudah menjalankan perannya sebagai seorang pemimpin rohani bagi anak-anaknya. Tiap malam kami dikumpulkan untuk berdoa dan membaca Alkitab. Banyak pertanyaan-pertanyaan kami mengenai pengajaran Alkitab yang dijawab oleh ayah. Dia tidak banyak bicara, tapi pengaruhnya sangat besar dalam keluarga kami. (RR)
 
Sejak kecil saya melihat perjuangan ibu saya. Dia selalu memberikan yang terbaik bagi ke lima anaknya. Saya mengamati bahwa orang tua yang bersusah-susah pada masa mudanya, akan memperoleh kebahagiaan pada masa tuanya. Ketika masih muda ibu saya sebagai seorang janda miskin harus merawat dan mendidik anak sendiri sambil bekerja mencari uang (menjahit di rumah). Sekarang ketika anak-anak sudah dewasa dan berpenghasilan baik, ibu sangat disayang dan dihormati oleh anak-anak. Saya percaya bahwa apa yang ditabur oleh orang tua itulah yang akan dituai nantinya. (CK- calon ayah)
Kesimpulan
Di dalam buku You and Your Family, Dr. Tim La Haye memberikan diagram silsilah dua orang yang hidup pada abad 18. Yang pertama adalah Max Jukes, seorang penyelundup alkohol yang tidak bermoral. Yang kedua adalah Dr. Jonathan Edwards, seorang penginjil yang saleh dan pengkhotbah kebangunan rohani. Dia juga menikah dengan seorang wanita yang mempunyai iman dan filsafat hidup yang baik. Melalui silsilah mereka ditemukan bahwa dari Max Jukes, terdapat 1.026 keturunan, 300 orang mati muda, 100 orang di penjara, 190 orang pelacur, 100 orang peminum berat. Dari Dr. Edwards, terdapat 729 keturunan, 300 orang pengkhotbah, 65 orang profesor di universitas, 13 orang penulis, 3 orang pejabat pemerintah dan satu orang wakil presiden Amerika. 1)
Dari diagram tersebut, kita bisa melihat bahwa kebiasaan, keputusan dan nilai dari orang-orang tua di atas kita sangat mempengaruhi kehidupan kita. Demikian juga dengan apa yang kita berikan kepada anak-anak kita, bukan saja mempengaruhi mereka tapi juga mempengaruhi generasi di bawah kita selanjutnya.
Alkitab tidak menuntut kita untuk memberikan hasil yang baik, tapi Alkitab mengajar kita untuk hidup taat dan takut pada Tuhan serta mengajarkan Firman Tuhan kepada keturunan kita dengan setia. Tanpa kita sadari, anak-anak mengamati gaya hidup kita.
Akan tetapi dari catatan Alkitab, kita melihat bahwa keselamatan seorang anak mempunyai dimensi yang jauh lebih dalam dari sekedar ‘pembalasan budi seorang anak secara moral.’ Keselamatan seorang anak merupakan hal yang ‘spiritual’ dalam hubungan anak dengan Allah. Keyakinan iman kita akan keselamatan anak sangat ditentukan oleh perspektif theologia anda. Di dalam buku "Teaching for Spiritual Growth", Perry G. Downs mencatat tiga perspektif yang berbeda mengenai keyakinan iman orang tua akan baptisan dan keselamatan anak: 2)
 
1. Perspektif Roma Katolik.
Di dalam perspektif ini, baptisan anak menyucikan anak-anak dari dosa asal. Jika anak-anak mati tanpa dibaptis terlebih dahulu, ia tidak dapat masuk ke surga. Oleh sebab itu, baptisan anak sangat penting bagi keselamatan anak. Dengan kata lain, orang tua akan merasa lega setelah anak-anaknya memperoleh sakramen baptisan.
 
2. Perspektif Lutheran.
Orang-orang Lutheran percaya bahwa ketika anak-anak bayi dibaptis, Tuhan mengaruniakan "iman yang bekerja" di dalam hati anak-anak sehingga mereka suatu saat dapat percaya dan diselamatkan. Dengan demikian, baptisan adalah sarana bagi anugerah Allah bekerja untuk menyelamatkan anak dengan cara mengaktifkan iman dalam diri mereka. Para orang tua dengan perspektif ini akan mempersiapkan anak-anak untuk percaya pada usia tertentu.
 
3. Perspektif Reformed.
Orang-orang reformed percaya bahwa iman diperoleh anak melalui pendidikan orang tua yang beriman. Baptisan anak merupakan tanda perjanjian antara orang tua dan Allah, bahwa orang tua akan membesarkan anak di dalam iman Kristen. Gereja yang memegang perspektif ini percaya bahwa ketika orang tua membesarkan dan mendidik anak di dalam iman, Allah akan meregenerasikan mereka dan memberikan mereka anugerah iman. Para orang tua dengan perspektif ini sangat menganggap penting tanggung jawab mendidik iman dengan keyakinan bahwa anak yang dianugerahi adalah kaum pilihan Allah.
Masalah yang kita hadapi sekarang ini adalah: banyak dari antara kita yang mendidik anak tanpa di dasari perspektif theologia sama sekali sehingga pendidikan yang kita lakukan bersifat umum dan tanpa kekuatan rohani. Sebagai orang tua Kristen kita harus mempunyai nilai "plus" di dalam pendidikan anak. Bagaimanakah dengan keyakinan anda akan keselamatan anak anda?
 
 
1) Rolf Z., Train Up a Child. Wheaton, Illinois: Living Books, 1994. hal. xi-xii.
2) Perry G. Downs. Teaching for Spiritual Growth. (Grand Rapids, Michigan: Zondervan Pub. House, 1994), hal. 203-204.
 
Peperangan Rohani harus dilawan dengan Senjata Rohani.
 
Greg Johnson dan Mike Yorkey
Faithful Parents, Faithful Kids