Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I
Apakah Kamu Pernah Berbohong ?
Orangtua acapkali mengeluh tentang kurangnya kejujuran pada anak-anak mereka. Menurut orangtua, mereka tidak pernah mengajarkan anak-anaknya berbohong, tetapi anak-anak sudah dapat membohongi orangtua sejak mereka masih sangat muda. Bahkan sebenarnya banyak orangtua sudah mengajarkan tentang dosa dan akibatnya, namun mereka masih dikelabui juga oleh putra-putri mereka. Berikut ini pendapat beberapa anak sehubungan dengan perilaku berbohong mereka.
"Tidak pernah, kan tidak boleh. Bohong itu dosa, kata Alkitab. Saya baca sendiri." Gideon, 1 SD
"Bohong itu kan dosa, kata mama. Saya nggak pernah bohong...." Hellen, 3 SD
"Bohong itu tidak bagus, itu kata semua orang, papa, mama, dan kakak." Inggrid, 3 SD
"Saya pernah bohongin kakak, habis dia nakal sih. Ya, sebenarnya tidak boleh bohong..." Elia, TK B
"Tidak boleh bohong, jadi saya tidak pernah...." Tri, 1 SD
"Saya tidak pernah bohong, tidak boleh, nanti dimarahi Tuhan. Itu kata ibu..." Elizabeth, 2 SD
"Kata papa kita tidak boleh bohong.... Saya tidak pernah bohong." Patricia, 3 SD
"Pernah, bohongin mama tapi ketahuan, jadi dimarahin. Sekarang tidak bohong lagi, kata Tuhan tidak boleh bohong." Thomson, 1 SD
"Pernah sih.... tapi kata mama bohong itu tidak boleh, nanti dosa, masuk neraka." Robert, 1 SD
"Saya tidak pernah bohong, kan tidak boleh, dosa.... itu kata kakak di sekolah minggu, juga kata papa." Kiki, 3 SD
"Pernah, tapi takut dimarahi. Lagian kan dosa, jadi tidak boleh, nanti dimarahi mama." Nathanael, 4 SD
"Pernah, tapi ketahuan sama papa dan mama, sampai saya dihukum. Sekarang kapok, tidak mau bohong lagi. Lagipula bohong itu dosa, kata mama." Jonathan, 4 SD
"Pernah, bohongin teman yang nakal. Jadi sekali-sekali bohongin dia tidak apa-apa, supaya dia jera. Tapi kalau dengan teman yang baik, ya tidak perlu dibohongi." Vina, 6 SD
"Tidak boleh bohong karena itu dosa, kata Firman Tuhan nanti akibatnya maut. Tapi saya pernah bohong juga sih..." Michele, 6 SD
"Pernah bohong. Sebenarnya tidak boleh bohong, itu dosa. Saya tahu dari Alkitab, juga dikasih tahu mama." Yosephine, 6 SD
_____________________________________
Ada beberapa hal menarik yang dapat kita cermati dari komentar-komentar mereka. Beberapa anak langsung mengakui bahwa mereka pernah berbohong ketika mereka ditanya, sementara anak yang lain lebih banyak menjawab bahwa mereka tidak pernah berbohong sama sekali. Ada pula yang menyatakan bahwa kebohongannya dimaksudkan untuk membawa "kebaikan". Bagaimanapun juga, semua anak mengetahui dan mengakui bahwa berbohong adalah perbuatan yang salah, dosa, dan tidak diperkenan baik oleh Tuhan maupun orangtua. Kebanyakan mereka memperoleh pemahaman tersebut dari orangtua. Namun karena anak-anak yang dimintai komentar ini adalah murid-murid sekolah minggu sebuah gereja, mereka tentunya mendapatkan juga pesan-pesan moral sejenis dari guru-guru sekolah minggu mereka.
Anak-anak yang menjawab pernah berbohong tidaklah menunjukkan bahwa orangtua maupun guru sekolah minggu gagal menanamkan kebenaran kepada mereka. Karena hal ini mungkin saja berarti bahwa mereka justru adalah anak yang jujur dan peka terhadap dirinya. Sebaliknya, anak-anak yang mengatakan tidak pernah berbohong juga tidak berarti sudah berhasil mengamalkan nilai-nilai kebenaran yang pernah diajarkan. Yang menarik yaitu pengakuan pernah berbohong dikemukakan oleh anak yang usianya lebih muda (TK dan 1 SD), sedangkan anak-anak yang lebih besar, misalnya kelas 3 SD, justru mengatakan bahwa mereka tidak pernah berbohong.
Untuk menghayati dan mengamalkan sebuah nilai kebenaran, setiap individu perlu melewati dua tahapan atau proses. Anak mulai belajar tentang perilaku benar atau salah dari orang-orang yang ada di sekitarnya. Awalnya, anak akan mematuhi hal yang benar itu karena ia tidak mau dihukum. Dengan bertambahnya usia, ia menjalankan hal yang benar karena ingin dipuji dan memperoleh dukungan orang lain. Anak mulai merasa wajib melakukan yang benar.
Sampai sejauh ini, dapat dikatakan bahwa nilai kebenaran yang dipegang anak masih bersifat objektif (tahap objektif). Anak memegang nilai-nilai tersebut lebih karena pengaruh orang lain. Namun memasuki tahap perkembangan berikutnya, yaitu sekitar usia 18 tahun, individu diharapkan sudah mempunyai prinsip pilihan sendiri. Pada tahap ini, anak sudah memiliki nilai mereka sendiri dan tindakan mereka tidak lagi didasarkan pada pendapat orang lain (tahap subjektif). Tahap subjektif ini tentunya akan berlangsung dengan lebih mulus kalau pada tahapan perkembangan objektif, individu yang bersangkutan sudah memperoleh bekal nilai yang memadai dari orang-orang di sekelilingnya.
Kita dapat pula melihat komentar-komentar anak-anak di atas dengan cara pandang yang berbeda. Melihat usia mereka, jawaban-jawaban mereka mencerminkan bahwa mereka masih berada pada tahap perkembangan objektif. Di sisi lain, kita melihat juga bahwa manusia sudah berjuang dengan dosa sejak usia dini. Jadi, meskipun mereka tahu bahwa mereka tidak boleh berbohong, mereka sulit untuk tidak berbohong. Hukuman dan kemarahan yang mereka terima tatkala mereka berbohong juga tidak menjamin bahwa mereka tidak akan berbohong lagi.
Di sinilah pentingnya kita mengajarkan pula mengenai kasih karunia dan pengampunan Allah. Manusia memerlukan karya penebusan Kristus di atas kayu salib untuk membebaskannya dari status keberdosaan dan belenggu dosanya.
"Jika kita berkata, bahwa kita tidak berdosa, maka kita menipu diri kita sendiri dan kebenaran tidak ada di dalam kita. Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan. Jika kita berkata, bahwa kita tidak ada berbuat dosa, maka kita membuat Dia menjadi pendusta dan firman-Nya tidak ada di dalam kita." (I Yohanes 1:8-10)
Esther Tjahja, S.Psi