Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I
Mainan yang Mencelakakan
Sadarlah dan berjaga-jagalah! Lawanmu, si Iblis, berjalan keliling sama seperti singa yang mengaum-aum dan mencari orang yang dapat ditelannya (I Petrus 5:8)."
Bulan Januari 2000 kita disentakkan oleh berita mengenai banyaknya korban kebutaan akibat senjata api mainan di Jakarta, Bandung, dan Solo. Akibat buruk dari mainan ini mungkin masih tersebar di kota-kota lain. Reaksi keras dan tuntutan agar mainan ini dirazia dan dirampas pun bermunculan. Bahkan ada tuntutan agar pabrik mainan ini segera ditutup, padahal pabrik mainan ini terdapat di RRC. Reaksi demikian sangat dapat dipahami. Mengingat teror yang diakibatkannya cukup luar biasa. Cacat akibat mainan ini berdampak seumur hidup. Membuat banyak orangtua merasa was-was dengan anak-anak mereka.
Suasana negeri kita yang belum aman segera memicu ketakutan masyarakat. Bayangkan saja bahwa tiba-tiba banyak anak memanggul senjata mainan yang sangat mirip dengan aslinya. Harian Kompas (Kamis, 20 Januari 2000) mengingatkan kita bahwa senjata mainan ini merupakan sarana yang mudah untuk mensosialisasikan kekerasan.
Mensosialisasikan kekerasan? Ya. Bahkan di negara maju semacam Amerika pun terjadi pembunuhan murid sekolah oleh teman-temannya sendiri. Akibat terlalu terbiasanya anak-anak ini bermain senjata api (sungguhan).
Banyak orang lupa bahwa terjadinya kekerasan dan kejahatan lainnya yang dilakukan anak-anak bukanlah peristiwa yang terjadi secara tiba-tiba. Ada semacam proses pembiasaan yang acapkali terjadi secara perlahan, tersamar, namun pasti. Mulanya mungkin sekedar kurang harmonisnya orangtua. Anak yang tidak memperoleh pemuasan kebutuhan kasih dan perhatian menjadi marah melihat orang lain hidup bahagia. Karena mereka sendiri mengalami kekosongan hidup, mereka lalu berkeinginan kuat meniadakan kehidupan. Peristiwa kekerasan yang disaksikan anak melalui film maupun kenyataan hidup membuat mereka tidak lagi peka dengan penderitaan orang lain. Senjata mainan merupakan salah satu pintu masuk menuju sosialisasi kekerasan yang ironisnya justru disediakan oleh orangtua yang kurang peka dan waspada.
Sebenarnya yang lebih bahaya dan lebih tersamar dari itu adalah sosialisasi kehadiran iblis. Bukan dalam arti kiasan lagi, namun dalam arti yang sebenarnya. Sasaran yang paling empuk adalah anak-anak. Sekali lagi, orangtua yang kurang peka dan waspada yang justru membuka pintu bagi sosialisasi macam ini.
Bila diperhatikan, ada beberapa mainan kreatif (disebut mainan kreatif karena untuk memainkannya harus dipasang dan disambung), robot, computer game dan video game yang terang-terangan memasang figur iblis sebagai tokohnya. Bahkan mainan "edukatif" yang dimaksudkan untuk melatih matematika pun memakai cara ini. Ada pula dalam bentuk bonus yang disertakan dalam produk permen karet. Anak yang terpikat dan terbiasa dengan mainan-mainan semacam ini lalu menjadi sangat toleran, bahkan bersahabat dengan iblis. Sungguh mengerikan!
Bila senjata api mainan mengundang banyak reaksi, mainan dengan figur iblis tidak banyak diprotes dan diam-diam laku manis. Sulit dibuktikan kaitannya, namun beberapa anak Tuhan seolah terdorong untuk melakukan tindakan-tindakan amoral (seperti misalnya terus-menerus berbohong, mencuri, bermusuhan) setelah mereka bermain dengan unsur-unsur demikian.
Iblis dengan cerdik memanfaatkan titik-titik lemah anak-anak Tuhan untuk masuk ke dalam kehidupannya. Untuk mengalahkannya, diperlukan pengetahuan dan kecerdikan pula. Ternyata mainan yang diperlukan untuk mengembangkan keterampilan dan perkembangan anak dapat pula dimanfaatkan untuk kepentingan si jahat.
Mohon kewaspadaan ekstra dari para orangtua! Jauhkan mereka dari cengkeraman pengaruh si jahat. Ajarkan mereka Firman Tuhan agar mereka tidak mudah terjatuh ke dalam pengaruh iblis.
 
 
Rubrik: R e f l e k s i
- Heman Elia -