Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I

Melawan Keputusasaan

Edisi C3I: e-Konsel 172 - Melawan Keputusasaan

Rasa putus asa tidak datang pada diri seseorang tanpa sebab. Ada beberapa hal yang bisa menyebabkan seseorang menjadi putus asa dan seolah-olah tidak berdaya lagi melanjutkan hari-harinya. Berikut ringkasan perbincangan dengan Pdt. Paul Gunadi mengenai putus asa dan bagaimana mengatasinya. Selamat menyimak.

T: Sebenarnya keputusasaan itu apa?

J: Keputusasaan adalah lenyapnya pengharapan akan terjadinya sesuatu yang kita dambakan. Sebetulnya kita pernah mengalami keputusasaan, tetapi mungkin yang membedakan adalah derajatnya atau berapa parahnya. Kita pernah kehilangan pengharapan akan terjadinya sesuatu yang sudah kita rindukan, yang kita pikirkan akan kita peroleh, tetapi akhirnya kita tidak bisa menikmati. Lalu lenyaplah pengharapan, itulah yang menimbulkan keputusasaan.

T: Kalau dikatakan lenyap, itu berarti sudah tidak bisa diharapkan lagi?

J: Betul, jadi selama masih ada pengharapan, tidak ada keputusasaan. Keputusasaan hanyalah muncul tatkala kita sudah benar-benar merasakan ini final, tidak ada lagi yang bisa kita harapkan, yang kita dambakan itu tidak mungkin lagi datang kepada kita.

T: Kalau begitu, bagaimana bisa tahu bahwa kita sedang berputus asa?

J: Ada beberapa cirinya, yang pertama adalah kita merasakan kesedihan yang dalam. Keputusasaan sebetulnya adalah rasa kehilangan. Saat pengharapan lenyap, apa yang kita dambakan tidak bisa menjadi kenyataan, sebetulnya yang terjadi adalah kita memasuki proses kehilangan. Proses kehilangan melahirkan reaksi dukacita, reaksi dukacita adalah reaksi kesedihan atas hilangnya sesuatu atau seseorang yang sangat bermakna bagi kita. Jadi, ciri pertama biasanya adalah kita mengalami kesedihan yang dalam.

T: Selain hal itu, apa tanda lainnya?

J: Rasa kecewa. Rasa kecewa muncul tatkala pengharapan tidak bisa kita realisasikan, yang kita nantikan tak mungkin kembali lagi. Waktu terjadi keputusasaan, yang muncul adalah kemurungan dan juga kekecewaan yang dalam karena yang dinantikan tidak menjadi kenyataan, dampaknya sangat tragis. Keputusasaan itu melahirkan ciri atau gejala yang bisa diamati, salah satunya adalah rasa kecewa yang dalam.

T: Selain kekecewaan dan kesedihan, apakah ada ciri yang lain?

J: Rasa apatis, rasa tidak peduli lagi. Orang yang putus asa cenderung bersikap masa bodoh. Mereka tidak lagi memunyai pengharapan pada orang di sekitar mereka, mereka sudah memvonis bahwa tidak ada yang bisa dikerjakan atau dilakukan oleh orang lain. Jadi, mereka hanya bisa pasrah menerima nasib mereka, salah satu respons yang biasanya muncul adalah rasa tidak peduli, apatis sekali. Itu sebabnya, kalau kita ingin menolong orang yang sedang berada dalam kondisi putus asa itu tidak mudah karena pertama-tama kita harus membangkitkan kembali motivasi yang sudah terhilang. Mereka sudah tidak lagi mau peduli pada apa pun yang kita katakan dan jalan apa pun yang kita tawarkan sebab mereka sudah putus asa.

T: Itu berbeda dengan orang yang tidak peduli?

J: Ada bedanya, ada orang-orang yang memang memunyai bawaan sikap tidak peduli dengan orang, hanya mengurus dirinya sendiri, tetapi tidak putus asa. Orang-orang seperti ini hanyalah orang yang memang mungkin sangat privat sekali, tidak mau mengganggu orang dan tidak suka diganggu orang, jadi akhirnya rasa kepedulian terhadap sesama juga berkurang. Kalau ini tidak, bisa jadi orang yang tadinya sangat memedulikan sesamanya, mau membantu orang lain, akhirnya saat keputusasaan menimpanya, dia tidak lagi memunyai keinginan tersebut.

T: Ciri lain selain rasa sedih, kecewa, dan apatis?

J: Yang lainnya lagi adalah rasa ingin mengakhiri hidup. Jadi, lenyapnya pengharapan yang kita dambakan (apalagi yang didambakan itu bermakna buat kita) biasanya akan membuat kita berpikir buat apa hidup. Kita akan kehilangan makna hidup atau tujuan hidup. Ini bisa saya kaitkan dengan seseorang yang misalkan kehilangan suami atau istri atau anak atau orang tua yang sangat dikasihi. Yang terberat adalah tatkala kita berpikir bahwa sepeninggalnya orang tersebut, tidak akan ada orang lain yang bisa menggantikannya, tidak akan ada lagi yang bisa menduduki posisi itu. Misalnya, kita terbiasa hidup dengan pasangan kita tahun demi tahun dan sekarang sudah berlangsung selama 30 tahun, lalu kita harus kehilangan dia. Yang sangat memukul sebetulnya bukan kehilangan itu sendiri, tetapi pemikiran bahwa setelah dia pergi, tidak akan ada lagi seseorang di samping yang bisa menemani, mencintai dan dicintai, dan bercengkerama. Kehilangan pengharapan akan adanya "momen-momen" yang spesial seperti itulah yang bisa membuat kita akhirnya putus asa.

T: Rasa ingin mengakhiri hidup itu sungguh-sungguh mau mengakhiri hidup atau cuma sekadar luapan emosinya saja?

J: Pada awalnya, semuanya memang bersumber dari luapan emosi, tapi riset memerlihatkan orang yang bunuh diri adalah orang yang pernah mencoba bunuh diri. Artinya, orang yang berhasil mati karena bunuh diri adalah orang yang sebelumnya pernah mencoba, bisa sekali atau berkali-kali, tetapi tidak berhasil. Misalkan makan atau menelan pil, tetapi keburu diselamatkan atau hal-hal yang lainnya. Berikutnya, orang yang pernah mencoba bunuh diri adalah orang yang pernah berkata-kata bahwa dia akan bunuh diri meskipun belum ada tindakannya. Terakhir, orang yang pernah berkata ingin bunuh diri adalah orang yang awalnya berpikir tentang kematian dan mau mati. Jadi, kaitannya atau urutannya seperti itu.

T: Tadi sudah ada empat ciri, apakah mungkin itu merupakan suatu campuran dari keempatnya, atau dari ketiganya, atau berdiri sendiri-sendiri, atau bagaimana?

J: Biasanya keempatnya memang ada, tetapi kita bisa membedakan dari sudut derajatnya, seberapa besar kecilnya. Sudah tentu rasa ingin mengakhiri hidup itu adalah puncak segalanya. Kalau sudah ada rasa murung, kecewa, dan tidak peduli yang dalam, biasanya langkah terakhir atau respons terakhir adalah buat apa hidup.

T: Perasaan-perasaan itu muncul pasti ada penyebab atau sumbernya, apa yang menyebabkannya?

J: Salah satu penyebab keputusasaan yang paling umum adalah penderitaan yang tak kunjung berakhir. Namun, kalau kita menderita, sebetulnya tanpa disadari kita memberikan jadwal atau memberikan batas waktu, seolah-olah kita ini memunyai jam dalam hati kita atau jiwa kita kapan seharusnya penderitaan itu berakhir. Sewaktu penderitaan itu tak kunjung berakhir, meskipun sudah jatuh tempo menurut penanggalan jiwa kita, reaksi yang muncul adalah keputusasaan.

T: Tetapi sebenarnya apakah jadwal itu bisa mundur?

J: Ada orang-orang yang berhasil melewati tanpa putus asa, yaitu orang-orang yang berhasil menarik jadwal itu atau batas temponya dan dia akan berkata, "Memang ini porsi hidupku", dan dia akan lewati hari lepas hari. Orang yang tidak berhasil mengundurkan batas temponya itulah orang yang akan akhirnya melewati keputusasaan.

T: Apa penyebab yang lain?

J: Yang lainnya adalah penantian akan yang lebih baik ternyata tidak terwujud. Jadi, saat kita akhirnya sadar bahwa yang kita dambakan itu lenyap, biasanya ada satu harapan tersirat, yaitu mungkin akan mendapatkan yang lainnya. Sesuatu yang tidak seideal yang kita dambakan, tetapi satu tingkat di bawahnya. Karena secara alamiah kita berpikir atau memunyai pengharapan seperti itu, maka kita akan menginvestasikan penantian kita. Saat yang kita nantikan itu tidak terwujud, kita putus asa sebab yang ideal tidak kita dapatkan. Yang di bawah ideal yang kita juga harapkan itu pun tidak datang, akhirnya kita terpaksa memakan yang paling buruk, menelan yang paling pahit; itu yang sering kali memukul kita.

T: Apakah ada contoh konkret di dalam Alkitab sehubungan dengan keputusasaan?

J: Di Mazmur 10, sekaligus kita melihat jawaban-jawaban dari firman Tuhan. Mazmur 10:1, "Mengapa Engkau berdiri jauh-jauh ya Tuhan, dan menyembunyikan diri-Mu dalam waktu-waktu kesesakan." Teriakan mengapa Tuhan menyembunyikan diri, bahasa yang sangat kuat sekali seolah-olah Tuhan memang tidak mau menolong. Ayat ke-12 disambung lagi: "Bangkitlah Tuhan ya Allah, ulurkanlah tangan-Mu, janganlah lupakan orang-orang yang tertindas." Jadi, dalam keadaan sesak, tertekan, dan putus asa, kita cenderung menuduh Tuhan seolah-olah sengaja bersembunyi dan sengaja tidak mau menolong kita yang tertindas, itu kondisi kita dalam keadaan putus asa. Tapi pemazmur tidak berhenti di situ, dia melanjutkan di Mazmur 10:14, "Engkau memang melihatnya sebab Engkaulah yang melihat kesusahan dan sakit hati, supaya Engkau mengambilnya ke dalam tangan-Mu sendiri. Kepada-Mu-lah orang lemah menyerahkan diri, untuk anak yatim Engkau menjadi penolong." Jadi langsung pemazmur menjawab, Tuhan melihat penderitaan manusia, pemazmur tidak berhenti pada teriakan, tidak berhenti mengapa Tuhan bersembunyi, tetapi dia langsung berkata Tuhan melihat, ini adalah pernyataan imannya dan ditutup dengan Mazmur 10:17 yang berkata: "Keinginan orang-orang tertindas telah Kau dengarkan ya Tuhan, Engkau menguatkan hati mereka, Engkau memasang telinga-Mu untuk memberi keadilan kepada anak yatim dan orang yang terinjak, supaya tidak ada lagi seorang manusia di bumi yang berani menakut-nakuti." Terakhir, pemazmur berkata: "Tuhan bertindak". Jadi, pada masa keputusasaan, hati harus diimbangi dengan kepala, itu nasihatnya. Artinya, meskipun hati berteriak, mengeluh, meraung-raung, jangan sampai kepala tidak bersuara. Kepala adalah ingatan akan firman Tuhan, ingatan akan siapa Tuhan. Tuhan kita bukanlah Tuhan yang kejam, yang jahat, yang senang melihat anak-anak-Nya kesusahan dan menderita. Kalau Dia Tuhan yang jahat, Dia tidak akan mati di kayu salib untuk dosa kita. Jadi, bukti bahwa Tuhan mengasihi kita dan Tuhan adalah Tuhan yang baik adalah bukti sejarah. Dia telah mati untuk dosa kita, jangan sampai kesusahan hidup kita akhirnya menutupi fakta yang sudah sangat jelas itu.

T: Akan tetapi, biasanya hal-hal seperti itu tidak teringat lagi oleh seseorang yang sedang putus asa. Perasaannya menutupi pikirannya, itu bagaimana?

J: Sering kali demikian, maka pada awalnya, sewaktu kita sudah mulai merasakan keputusasaan, kita harus langsung melawannya dengan firman Tuhan, dengan berdoa mengingatkan lagi bahwa Tuhan tidak seperti yang kita rasakan. Biarkan pikiran kitalah yang memandu langkah hidup kita, bukan perasaan kita lagi. Langkah yang lainnya lagi, yang praktis dan yang bisa kita lakukan, adalah bersekutu dengan sesama kita, cari orang lain, bicara dengan orang lain, dan izinkan orang untuk menguatkan kita.

Sajian di atas kami ambil/edit dari isi kaset TELAGA No. T101B yang telah diringkas/disajikan dalam bentuk tulisan. Jika Anda ingin mendapatkan transkrip lengkap kaset ini lewat e-mail, silakan kirim surat ke: < owner-i-kan-konsel(at)hub.xc.org> atau < TELAGA(at)sabda.org >. Atau kunjungi situs TELAGA di:

==> http://www.telaga.org/transkrip.php?melawan_keputusasaan.htm

Sumber
Judul Artikel: 
TELAGA - kaset No. T101B (e-konsel Edisi 172)

Komentar