Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I

Delapan Cara Membangun Rumah Tangga Bahagia

Dalam bukunya "Communication is Key to Your Marriage" (Komunikasi adalah Kunci dalam Pernikahan Saudara), Norman Write menulis: Keluarga bahagia adalah rumah tangga yang dibentuk oleh manusia yang tidak sempurna.

Akan tetapi, mereka berjanji akan menyerahkan diri dalam kasih kepada peribadi yang lain yang juga tidak sempurna.

Kita semua (suami istri) terdiri atas orang-orang yang tidak sempurna. Sebelum menikah, semua laki-laki ingin mendapatkan istri yang paling baik, paling sempurna, paling cantik, paling ini, dan paling itu. Demikian juga wanita. Mereka mengharapkan seorang suami yang paling gagah, banyak uang, ini, dan itu. Akan tetapi, rahasia kebahagian keluarga bukan terletak pada kecocokan yang demikian.

Memang, tidak ada manusia yang sempurna. Kebahagiaan itu terletak pada janji yang dibuat bersama. Seorang yang tidak sempurna berjanji untuk menyerahkan diri dalam kasih secara pribadi kepada orang lain yang juga tidak sempurna. Inilah yang membuat mereka sempurna: Keduanya diikat oleh kasih Tuhan Yesus Kristus.

Saya tidak mengatakan pernikahan yang bahagia itu dibentuk oleh manusia yang sempurna, melainkan terdiri atas orang yang tidak sempurna yang terikat dalam kasih dan berjanji untuk saling mengasihi. Dengan ikrar itu tiap anggota saling melengkapi kasih itu dalam tiap perbedaan watak, pribadi, serta dalam segala kekurangan dan kelebihannya.

Perbedaan watak dan pribadi serta kekurangan lain dapat dibentuk oleh kasih yang sudah diikrarkan bersama. Di situlah terdapat rahasia keluarga bahagia. Dengan janji itu kita tidak hanya melihat kekurangan istri atau suami saja. Kita tidak mudah bereaksi terhadap hal-hal negatif dari teman hidup kita. Dalam pernikahan pasti ada hal yang kurang sempurna. Akan tetapi, justru dari kekurangan dan ketidaksempurnaan itulah terdapat saling menerima dan melengkapi untuk menyusun rumah tangga bahagia.

Dengan mengerti hal di atas bukan berarti Saudara dapat sukses dalam pernikahan pada hari esok. Kalau Saudara pernah gagal dalam pernikahan, firman Tuhan ini membuat hari esok lebih baik dari hari kemarin. Seorang penginjil tua dari Belanda, Corry Ten Boom, dalam bukunya "Ist New Day" (Tiap Hari Baru) berkata, "Untuk mereka yang percaya kepada Tuhan Yesus, hari esok senantiasa lebih indah dari hari ini." Itu bukan sekadar ucapan. Hal ini juga melukiskan kehidupan penginjil ini. Dalam usianya yang ke-86 tahun, hidupnya makin bercahaya seperti bintang-bintang oleh imannya kepada Tuhan Yesus. Waktu usianya 85 tahun, saya mengunjungi dia dan berdoa bersama. Saya melihat, dalam umur setua itu wajahnya tampak bercahaya.

Jika masa lampau rumah tangga Saudara mengalami kegagalan, itu bukan berarti bahwa besok Saudara tidak bisa membangun rumah tangga bahagia lagi. Janganlah putus asa. Bangkitlah kembali dengan anugerah Tuhan Yesus sambil menaiki tangga demi tangga untuk mencapai kebahagiaan di dalamnya.

Saya telah melayani banyak keluarga yang hubungan rumah tangganya retak. Ada yang berkata, "Kami tidak bisa lagi membangun keluarga ini. Kami sudah tiba di puncak perceraian, puncak kesulitan, dan tidak bisa turun lagi." Akan tetapi, Alkitab hanya berbicara soal program pernikahan, tidak ada program perceraian. Bagaimanapun gagalnya! Saya lihat, mereka yang sungguh menaati kata-kata Alkitab berhasil membangun rumah tangga dalam damai sejahtera Kristus.

Pada suatu hari seorang ibu datang kepada saya. Ada masalah dalam keluarganya. Suaminya sangat ringan tangan. Memang, suami ini baru masuk Kristen setelah menikah dengan ibu itu. Dalam pelayanan saya menyampaikan kata-kata Ibu Corry Ten Boom yang tua itu: Hari esok lebih cerah daripada hari ini kalau engkau percaya kepada Tuhan Yesus dan menyerahkan rumah tangga ini agar diolah-Nya. Pasti ada harapan baru lagi. Keduanya mengangguk. Kami berdoa menyerahkan kembali rumah tangga itu kepada Tuhan secara total. Terasa dari keluhan jiwanya, air matanya keluar. Akan tetapi, sebentar kemudian menjadi kering. Setelah berdoa wajah itu tampak gembira. Bagi orang percaya dan mengarahkan diri kepada Tuhan Yesus, hari esok pasti lebih indah.

Dalam tiap rumah tangga ada dua kemungkinan tindakan kita. Yang pertama ialah sikap yang menghancurkan. Tindakan ini senantiasa mencari hal-hal yang negatif dan terus melakukan hal yang kurang baik. Ia selalu mengejar kesalahan teman hidupnya, senang menceritakan kepada orang lain kekurangan-kekurangan istri atau suaminya. Sikap kedua senantiasa membangun di atas dasar yang baik dalam hubungan antara suami dan istri. Demikian juga terjadi dalam hubungan antara orangtua dan anak.

Marilah kita membaca firman Tuhan di dalam Efesus 4:29: "Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia." Roma 14:13 berkata, "Karena itu janganlah kita saling menghakimi lagi! Tetapi lebih baik kamu menganut pandangan ini: Jangan kita membuat saudara kita jatuh atau tersandung!"

Dengan mengemukakan dua sikap utama di atas, saya mengajak kita mengikuti secara saksama delapan cara membangun keluarga bahagia:

III. 1. Tutuplah Pintu Kamar

Di dalam kamar yang tertutup itulah Saudara, suami istri, atau Saudara sebagai orangtua bersama anak-anak dapat mengemukakan hal-hal negatif yang mengganggu perasaan.

Istilah "masuk dalam kamar" dan "tutuplah pintu" maksudnya di sanalah kita dapat menyampaikan dengan terus terang apa yang kita anggap salah atau kita lihat tidak baik yang dilakukan anggota keluarga kita yang lain. Dalam kamar tertutup kita bisa mengemukakan hal-hal yang menyakitkan atau yang tampak menghina. Cara demikian menghindarkan perasaan menghina. Meskipun salah, tetapi dalam pembungkusan kasih.

Ajaklah istri atau suami ke kamar tidur, atau anak-anak juga, bila pembicaran menyangkut masalah mereka. Lakukanlah hal ini dengan hati-hati agar mereka yang tidak berkepentingan tidak mengetahuinya. Bagaimanapun kita bermaksud baik, tidaklah benar bila kekurangan keluarga kita bicarakan di hadapan orang lain.

Kadang-kadang, dengan tidak sadar seorang suami menyampaikan kata-kata yang tidak sedap didengar mengenai istrinya di hadapan anak-anak. Atau istri menyampaikan hal-hal jelek mengenai suami kepada anak-anak. Nasihat dalam 1 Yohanes 3:18 sangat penting: "Anak-anakku, marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah. Mengasihi bukan dengan perkataan tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran." Itu berarti Saudara harus dapat menahan diri agar teguran itu dapat dilakukan dalam kasih. Meskipun hal itu keji dan hina, tetapi tetap salah bila hal itu dilakukan di hadapan orang lain. Itulah sebabnya hukum ini berkata: Masuk dalam bilik tertutup. Di sanalah tempat paling tepat untuk suami atau istri membicarakan kekurangan satu dengan yang lain.

Pernah terjadi, seorang istri menemukan suaminya menyeleweng dengan wanita lain. Begitu suaminya kembali, ia mengucapkan kata-kata hinaan kepada suaminya di hadapan anak-anak mereka, "Dari mana kamu? Mengapa pulang terlambat? Saya tahu, kamu berzina. Kamu baru pulang dari tempat pelacuran!"

Suami itu memang salah, tetapi tindakan istri itu tidak hanya menrendahkan ayah di hadapan anak-anak, melainkan keluarganya. Jalan terbaik bukan begitu. Suami itu harus menyadari kesalahanya untuk meminta ampun kepada Tuhan, kembali dengan cara demikian. Yang terpenting ialah membangun di atas dasar yang baik.

Kita mungkin tidak setuju dengan tindakan suami atau istri kita yang salah. Boleh jadi ia jatuh ke dalam kebejatan moral. Akan tetapi, seandainya Saudara dapat memenuhi hukum ini, masih ada hal-hal positif dari suami atau istri Anda yang dapat menjadi titik tolak pembangunan rumah tangga Saudara. Semua itu dapat dilakukan di tempat tertutup. Bahkan, hal-hal yang sudah dianggap paling kotor, paling najis dapat disampaikan sepuas-puasnya. Ini yang dimaksud membangun di atas dasar yang baik. Artinya, bagaimanapun suami atau istri masih dapat menahan diri untuk marah pada tempat dan waktu tertentu. Pasangan Saudara akan menghargai sikap yang demikian. Sebaliknya, bila Saudara saling menegur atau mencaci-maki di hadapan anak-anak, Saudara hanya mengakibatkan hancurnya keluarga itu. Suasana pun akan rusak.

Pernah terjadi, ada pasangan suami istri yang sudah menikah selama 20 tahun minta pelayanan saya. Ternyata, sebelum menikah suami tersebut seorang yang tidak kaya, jabatannya cukup saja dan mereka sederhana. Setelah menikah kariernya menanjak. Ia mendapat posisi tinggi dalam jabatannya. Uang yang masuk banyak. Seharusnya mereka berbahagia, tetapi sebaliknya yang terjadi. Suami yang sekarang mempunyai jabatan tinggi menganggap rendah istrinya, seperti babu.

Saya bertanya kepada si suami, "Bagaimana Saudara memanggil Ibu?"

Jawabnya, "Saya memanggilnya: Hai, Perempuan! Kata-kata "istriku" sudah tidak cocok lagi. Dua puluh tahunan yang lalu bisa, sekarang tidak karena perempuan ini tidak bisa mengikuti jalan pikiran saya. Dia tidak pandai ini dan itu, tidak cantik, dan sebagainya."

"Siapa yang salah dalam hal ini?" saya jawab sendiri, "Bapak!"

"Mengapa Bapak tidak menggunakan uang dan jabatan itu untuk kemajuan ibu?" Karena uang dan pangkat yang tinggi para suami memandang rendah istrinya. Itu bukan membangun ke atas, tetapi membunuh ke bawah.

III. 2. Saling Menghormati

"Demikian juga kamu, hai suami-suami, hiduplah bijaksana dengan isterimu, sebagai kaum yang lebih lemah! Hormatilah mereka sebagai teman pewaris dari kasih karunia, yaitu kehidupan, supaya doamu jangan terhalang." (1 Petrus 3:7)

Jalan utama untuk bergaul dengan orang lain ialah menunjukkan rasa hormat, sopan santun, dan saling menghargai. Dalam 1 Petrus 3:7 Rasul Paulus mengarahkan para suami, terutama, agar bijaksana terhadap istri. Memang, tuntutan utama ialah supaya kepada istri dan ketaatan suami merupakan syarat mutlak. Dengan saling menghormati kita masuk dalam pembangunan rumah tangga bahagia.

Kadang-kadang saya merasa aneh. Ada suami yang berlaku sopan, menghargai istri orang atau wanita lain, sedangkan istri sendiri kurang dihormati. Demikian juga saya melihat para istri lebih menghormati laki-laki atau suami orang lain daripada suami sendiri. Mereka berlaku sopan, penuh tata tertib, dan rapi terhadap tamu-tamu. Para istri rajin menyiapkan semuanya. Akan tetapi, tidak salahkah bila Saudara tidak mengurusi suami sendiri sebagaimana mestinya? Para suami atau istri yang sering berlaku demikian, bertobatlah.

Bertobat artinya berpaling dari hidup lama yang sia-sia, dari cara hidup yang tidak memuliakan Tuhan. Firman Allah mengajarkan kita, yang satu harus menghormati yang lain. Tuhan tidak ingin kita saling merendahkan, melainkan saling menghormati.

Mungkin Saudara melihat hal ini terlalu remeh dan kecil. Menyiapkan handuk, odol, dan sebagainya terlalu kecil untuk dipikirkan. Akan tetapi, hal yang demikian justru lebih berarti dalam hidup berumah tangga. Jika suami mandi, para istri perlu menyiapkan segala kebutuhan; pakaian dalam, handuk bersih, dsb.. Kalau Saudara memang membangun ke atas, ciptakanlah suasana saling mengasihi, saling melayani.

Untuk para suami ada pertanyaan: Mengapa Saudara melayani tamu, apalagi wanita cantik dengan penuh hormat? Anda membukakan pintu mobil untuk mereka, membuka pintu rumah, dan menyilakan mereka masuk dengan lemah lembut? Apakah Anda berlaku demikian terhadap istri? Sering saya melihat ibu-ibu yang kembali dari perjalanan menjumpai suaminya sedang membaca surat kabar. Suami itu tidak cepat menyambut istrinya, bahkan terus membaca. Saudara, tinggalkan sifat ini. Ingatlah, istri juga membutuhkan perhatian Saudara. Para istri, sungguh penting menyambut suami dari kantor. Memang hal ini kecil, tetapi inilah cara untuk membangun ke atas.

Seorang penasihat perkawinan menulis sebagai berikut: Rasa hormat dan sopan santun itu memerlukan sedikir usaha, tetapi sangat besar nilainya sehingga engkau dapat memberinya tanpa usaha. Memang memberi hormat tampaknya suatu usaha yang kecil saja, tetapi nilainya besar dalam membangun rumah tangga yang bahagia. Kelihatannya remeh dan tidak berarti, tetapi justru di dalamnya pasangan Anda merasakan perhatian secara khusus. Bila Saudara berbuat demikian, suami atau istri Anda juga akan membalas dengan hormat, sopan santun, dan kasih. Para suami sukacita dan gembira. Sapalah mereka dengan kata-kata, "Hallo, Darling, welcome home! Halo, Papa, selamat datang di rumah lagi!" Hal ini kedengarannya sederhana, tetapi sudah menciptakan suasana penuh gembira dan menghilangkan rasa letih suami Saudara.

Pikirkan hal ini dengan jujur di hadapan Tuhan. Perhatikanlah nilai di balik hal-hal yang sederhana itu. Para suami, ingatlah, istri saudara lemah, lebih lemah dari Saudara. Mereka membutuhkan kasih yang penuh hikmat. Kasih itu tidak hanya dalam perkara besar, tetapi justru dalam perkara-perkara kecil. Itu lebih diharapkan. Demikian juga para istri. Angkatlah suami Saudara dengan cara yang sederhana. Tunjukkanlah kasih sayang, hormat, dan sopan santun.

III. 3. Dan Sebagaimana Kamu Kehendaki Supaya Orang Berbuat kepadamu, Perbuatlah Juga Demikian kepada Mereka (Lukas 6:31)

Istilah sebagaimana menuntut suatu kesamaan, menuntut suatu kualifikasi yang sama. Oleh sebab itu, Lukas 6:31 merupakan hukum emas dalam hidup manusia: dalam pergaulan rumah tangga, keluarga, sesama manusia, dan sebagainya. Hukum ini berlaku di mana-mana dan menuntut suatu sikap: sebagaimana Anda tidak senang bila orang berbuat jahat kepada Saudara, janganlah perbuat demikian juga kepada mereka.

Marilah kita melihat pengertian Hukum Emas ini dalam sistem keluarga secara praktis. Pernah saya melayani seorang istri yang dipukul suaminya. Pada suatu hari istri itu datang kepada saya, menunjukkan wajahnya yang biru lebam. Saya juga ingin melayani suaminya yang pada mulanya kurang sedia. Akan tetapi, dengan sikap sabar, akhirnya ia mau juga dilayani. Saya bertanya kepada bapak itu, "Bolehkah saya meminta ibu mengambil batu dan memukulkannya ke atas kepala Bapak, supaya menjadi biru seperti kepada ibu?"

"Oh, jangan," jawabnya.

"Nah, kalau Bapak tidak senang kepala Bapak dipukul, mengapa Bapak memukul orang lain, apalagi dia istri Bapak sendiri?"

Apa yang dikatakan Alkitab tentang suami istri? Keduanya telah menjadi satu daging, satu tubuh, dan satu roh. Itu berarti, bila Saudara memukul istri, itu sama dengan memukul tubuh sendiri. Juga istri memukul suaminya. Itu bukan hanya mengenai tubuh, tetapi menghina suami sendiri.

Mintalah kepada Tuhan untuk menahan diri. Cara praktis, katakan pada diri sendiri; mulai hari ini saya baru akan memukul istri saya setelah saya memukul diri sendiri. Ketika Saudara marah dan ingin mencaci-maki, arahkanlah cacian itu kepada diri sendiri. Jangan kepada teman hidup Saudara.

Kalau Saudara belum sanggup melaksanakan hal di atas, berdoalah hari ini. "Tuhan, saya berjanji hari ini tidak akan memukul istri atau suami saya. Sekarang, tabiat ini saya serahkan ke dalam tangan Tuhan. Gantilah tabiat saya sesuai dengan Hukum Emas Tuhan."

Saya sudah menikah lebih dari 30 tahun. Sebelumnya saya berjanji di hadapan Tuhan tidak akan memukul istri saya. Secara daging, sulit melakukan hal itu. Saya seorang yang cepat marah dan ringan tanggan. Karena doa dan jani itu, Tuhan memberi kesanggupan kepada saya. Dalam pernikahan kami, saya tidak pernah memukul istri saya.

Tidak seorang pun dapat mengalahkan tabiat dosa tanpa anugerah Tuhan Yesus. Jangan mengatakan, "Itu sudah pembawaan saya." Tuhan Yesus dapat mengubah semua pembawaaan, sifat, dan tabiat dosa.

Hukum Emas ini tidak hanya berlaku antara suami dan istri, tetapi juga terhadap anak-anak. Bahkan dalam lingkungan yang lebih luas lagi. Hukum Emas ini berlangsung dalam pergaulan kita sebagai manusia di tengah masyarakat. Tuliskanlah itu dengan jelas dan gantungkan pada pintu masuk kamar tidur. Dengan demikian, tiap anggota keluarga belajar menaati Hukum Emas itu untuk membangun rumah tangga keluarga Saudara. Kiranya Tuhan Yesus memberkati Saudara dalam membangun rumah tangga bahagia.

Sehubungan dengan Hukum Emas ini pernah diadakan suatu angket dengan daftar pertanyaan kepada anak-anak. Dari jawaban yang masuk ada tiga masalah yang menarik untuk kita pelajari. Inti pertanyaan dalam angket itu ialah apakah yang dikehendaki anak-anak orangtua perbuat bagi mereka?

Sering kali, kita menganggap anak-anak kita masuk perhitungan. Akan tetapi, angket itu membuktikan kepada kita betapa anak-anak juga menuntut Hukum Emas itu berlangsung dalam hubungan dengan orangtua mereka. Marilah kita perhatikan apa yang diminta anak-anak kita kepada Saudara sebagai suami atau istri, juga kepada saudara orangtua.

Yang pertama, anak-anak menulis: Kami rindu. Kami minta, ayah dan ibu menerima teman-teman sebagaimana mereka menerima kami.

Dengan kata-kata di atas, anak-anak meminta agar orangtua menyambut teman-teman mereka seperti menerima anaknya sendiri. Kita perlu mengajak anak-anak berbicara dari hati ke hati. Kita juga perlu memberi waktu kepada mereka untuk menyampaikan isi hatinya, dan kerinduan mereka terhadap teman-teman sebaya. Berilah kesempatan kepada mereka untuk menghormati sesama teman mereka.

Sering kali terjadi, kalau teman anak-anak datang, orangtua langsung mengancam, "Awas, ya. Temanmu tidak boleh masuk ke sini. Kalian main di luar saja." Di balik kata-kata itu tentu ada berbagai tafsiran: Mungkin orangtua tidak senang karena khawatir anak-anak itu merusak. Kadang-kadang, kekhawatiran itu tidak beralasan.

Kita harus ingat, anak-anak adalah suatu pribadi. Mereka menuntut suatau penghargaan dan pengertian, bagaimanapun kecilnya. Dalam empat tahun terakhir ini saya berusaha khusus dengan seorang anak. Saya lihat, mereka merasa dihargai. Di situlah terjadi titik temu yang penting sekali antara orangtua dan anak.

Dari segi ilmu jiwa, anak-anak yang berumur lima tahun ke atas mualai mengerti bahasa. Sebab itu, para ahli mengatakan, itulah mulanya terjadi perjumpaan dalam bahasa. Sebelum usia lima tahun kita masih harus mengajar dengan tangan, dengan cubitan, dengan kata-kata pendek, perintah, dan sebagainya. Akan tetapi, sesudah itu, terjadi perjumpaan bahasa. Tidak lagi dengan perantaraan rotan atau pukulan. Memang, Alkitab mengatakan rotan perlu juga untuk mendidik anak-anak. Namun, sekarang, sesudah usia lima tahun, segala sesuatu harus dapat diselesaikan dengan bahasa.

Berjumpa dalam bahasa berarti kita harus berkomunikasi dengan bijaksana. Kata-kata keras, hinaan, caci-maki, akan meninggalkan bekas yang dalam pada jiwa anak kita. Karena itu, hindarilah kata-kata yang kasar dan kotor dalam berkomunikasi dengan anak-anak. Kalau tidak, mereka akan menjadi keras kepala akibat kesalahan kita. Karena itu, belajarlah menaati Hukum Emas Tuhan, juga terhadap anak-anak.

Yang kedua, mereka mengatakan: Kami rindu ayah dan ibu mengatakan kesalahan kami, bukan dengan cara yang kasar.

Anak-anak rela dan sedia mendengar hal yang baik dan salah tentang mereka. Mereka pun sadar, cara menyampaikan hal itu harus dengan lemah-lembut dan hormat. Sering kali, karena kita menganggap anak-anak belum setingkat dengan kita, mereka boleh diomeli dan dikata-katai. Itu salah. Ajaklah mereka duduk. Kemudian sampaikan kesalahan dan kekurangan mereka. Dengan demikian, Saudara menang. Anak-anak dapat menghargai Saudara sebagai ayah dan ibunya.

Anak saya yang berumur 10 tahun telah belajar perkara-perkara rohani yang dalam. Kalau istri saya dan saya bersekutu dengan dia selama setengah sampai satu jam, terlihat dari wajahnya dia merasa dihargai. Ia pernah menyampaikan hal-hal rohani dan membicarakan perkara-perkara Allah yang dalam. Sebab itu, janganlah meremehkan anak-anak. Kita dapat menimba pelajaran yang indah dan dalam dari kata-kata anak-anak yang sudah mengerti bahasa itu.

Yang ketiga, mereka menyatakan: Kami senang dan sedia mendengarkan ayah ibu, juga sedia menaati mereka; asalkan ayah ibu sedia mendengar dan mengerti kami.

Perhatikanlah kerinduan mereka ini. Kami sedia mendengar dan mentaati ayah dan ibu asalkan mereka juga sedia mendengar dan mengerti kami. Tuntutan ini menjelaskan kepada kita bahwa pengertian mereka pun berdasarkan Hukum Emas itu.

Saya memberi contoh dari pengalaman kami bersama Petri, anak saya yang berusia 14 tahun. Anak ini memang berbakat musik, rajin, dan pandai bergaul. Anak yang demikian biasanya suka melawan, mereka bisa keras kepala, kurang tertib, dan kurang disiplin.

Pada suatu hari, sambil makan saya katakan kepadanya, "Petri, ingatlah Alkitab berkata, 'Hendaklah anak-anak mentaati orangtua di dalam Tuhan. Hormatilah orangtuamu supaya panjang umur.'" Saya sengaja menyampaikan hal ini di hadapan anak-anak lain sebab ketidaktaatannya telah menjadi pembicaraan di antara mereka. Maksud saya agar kakaknya dapat menolong dia memperbaiki diri.

Apa jawab Petri?

"Apakah Papa sudah selesai bicara? Memang, Petri juga membaca ayat itu, dari Efesus 6. Menurut Petri, Papa masih salah baca. Coba Papa baca betul-betul apa yang terdapat dalam Efesus 6 itu. Yang Papa baca baru sampai koma. Lanjutnya: 'Hai, bapa-bapa, janganlah menjengkelkan anak-anakmu. Hai ibu, janganlah menjengkelkan anak-anakmu.'"

Saya jawab, "Petri betul."

Sesudah makan kami masuk ke dalam kamar dan berbicara dari hati ke hati. Di sana Petri menyadari ketidaktaatannya. Kami berdoa bersama. Saya juga mengerti, saya tidak mempunyai waktu yang cukup untuk Petri. Dengan pengertian bersama, kami berdoa lagi dan meminta pengampunan dari darah Tuhan Yesus. Itulah permulaan untuk membangun lagi kepercayaan satu dengan yang lain.

Tidak jarang, orangtua gagal dalam hal ini. Kita tidak memberi kesempatan kepada anak-anak untuk mengatakan kekurangan orangtuanya. Sebabnya, kita menganggap diri lebih tahu, lebih mahir, lebih berkuasa. Akan tetapi, kita harus mengaku bahwa dalam kita terdapat kekurangan dan ketidaksempurnaan yang tiap kali membutuhkan pertolongan Tuhan Yesus. Bila kita menempatkan Dia sebagai kepala rumah tangga, berarti kita menyadari keberadaan kita sebagai manusia yang tidak sempurna, dan kita ingin agar Dia beroperasi dalam tiap masalah. Tuhan pasti memenangkan kita dalam setiap pencobaan. Kalau orangtua mau mengaku salah kepada anak-anak, bukan berarti kita akan kehilangan wibawa di hadapan mereka. Justru dengan sikap demikian, anak-anak juga terbuka mengaku kesalahannya. Pengakuan ini memberi tempat untuk pengampunan Allah Bapa dalam karya salib Kristus. Pengampunan pasti membawa damai sejahtera dan sukacita. Karena itu, jangan kita memakai firman Tuhan untuk menekan anak kita sebagaimana saya perbuat terhadap Petri. Bagaimana sikap Saudara terhadap anak-anak? Jangan lupakan akibatnya. Pada suatu saat, sikap kita dapat menjadi bumerang dalam kehidupan selanjutnya.

Untuk membangun rumah tangga bahagia, orangtua harus mengakui semua kesalahannya terhadap anak-anak, juga sebaliknya. Dengan demikian, ketiga kerinduan anak-anak sebagaimana disebutkan di atas akan terpenuhi. Semuanya membuat damai sejahtera Kristus memerintah dalam rumah tangga kita. Baiklah orangtua mengajar anak-anak menaati firman Tuhan dengan cara terlebih dahulu melakukan kehendak Tuhan.

III. 4. Buatlah Peraturan yang Disetujui dan Dilaksanakan Bersama

Mengapa saya menulis "dapat dilaksanakan bersama"? Dalam pelayanan, saya menemui keluarga-keluarga yang membuat peraturan dalam rumah tangganya. Hal itu baik sekali. Akan tetapi, ada orangtua yang membuat peraturan yang dia sendiri sulit menepatinya. Misalnya ibu membuat peraturan, semua anak harus bangun pukul 5 pagi. Padahal, dia sendiri baru bangun pukul 6. Hal ini tidak baik. Ibu harus bangun lebih pagi, atau paling sedikit sama. Itulah artinya "dapat dilaksanakan bersama".

Dalam rumah tangga kami istri saya menyusun beberapa peraturan untuk pembantu dan anak-anak. Misalnya pukul berapa bangun, tugas apa yang harus dikerjakan. Peraturan itu digantungkan pada pintu kamar tiap anak. Saya melihat, peraturan itu ada gunanya. Kami masing-masing belajar menaatinya. Dengan demikian, semua berjalan pada jalur semestinya.

Ada tiga ketentuan yang harus kita perhatikan dalam membuat peraturan yang demikian. Pertama, dalam menyusun peraturan hendaklah ada loyalitas terhadap suami atau istri dan anak-anak. Jangan membuat peraturan yang menekan orang lain. Peraturan haruslah bersifat umum, luas, dan obyektif.

Kedua, jangan menyusun peraturan yang menunjukkan kekurangan orang lain. Peraturan yang demikian membuat kita gagal.

Ketiga, janganlah mengizinkan anggota keluarga membicarakan kekurangan yang lain.

Hal ini paling sulit dilaksanakan bila dalam rumah tinggal mertua dari pihak istri maupun suami. Sering kali mertua yang simpati terhadap anaknya membicarakan kekurangan dan kesalahan menantunya. Karena itu, Alkitab mengatakan sebaiknya orang yang sudah menikah tidak tinggal bersama orangtua atau keluarga lain.

Dalam pernikahan, kita bertemu dengan suatu rahasia, yaitu bahwa hubungan suami dan istri itu suci, intim, dan paling dalam. Setiap pembicaraan yang mengganggu keintiman hubungan suami istri akan memengaruhi suasana dalam keluarga itu. Sebab itu, janganlah biarkan mertua atau anggota keluarga yang lain menjelek-jelekkan suami atau istri Saudara.

Bila Saudara terpaksa tinggal serumah dengan keluarga, sikap saling menghormati sangat penting. Hal itu berarti, sebagaimana seorang suami mengasihi istrinya, demikian juga ia mengasihi keluarga istrinya, dan sebaliknya. Kasih yang demikian membutuhkan hubungan lintas. Yaitu, kasih kepada orangtua istri atau suami. Perhatikanlah, makin suami mengasihi keluarga istrinya, makin istri mengasihi keluarga suaminya.

Dalam pelayanan saya menemukan suatu contoh. Seorang ibu datang kepada saya dan mengatakan, "Suami saya hanya memberikan sebagian pendapatannya kepada saya. Yang lain dikirimkannya kepada keluarganya." Hal ini bertentangan dengan peraturan di atas. Si suami menyiapkan sebagian gajinya. Tanpa izin istrinya, ia mengirim uang itu kepada keluarganya. Kalau istri juga berbuat demikian, apakah yang terjadi dalam keluarga itu? Pasti perpecahan. Akan terjadi kelompok-kelompok dalam keluarga. Apa yang dapat diharapkan dari keluarga yang demikian? Jalan keluarnya hanyalah tekad untuk membangun keluarga bahagia. Kita harus bertobat dan melatih diri terhadap ketentuan di atas.

III. 5. Saling Menghargai dengan Kata-kata

Nyatakanlah pengharapan, bukan hanya dengan perbuatan, melainkan dengan kata-kata.

Dalam pelayanan pribadi saya menemukan masalah besar yang timbul dan tumbuh karena penyataan kasih yang salah. Ada seorang anak yang masuk rumah sakit jiwa. Saya mengenal orangtuanya. Mereka mempunyai segala sesuatu. Orangtuanya mengasihi anak ini. Akan tetapi, dengan cara yang salah. Mereka memberi uang dan apa yang ia butuhkan sehinggga anak itu tidak kekurangan. Namun, mengapa anak itu sakit?

Kemudian hari, anak itu kami undang untuk tinggal bersama. Dalam pelayanan pribadi saya menemukan penyebabnya. Orangtua anak itu terlalu sibuk dengan perusahaanya. Ibunya sangat pendiam. Jadi, mereka kurang berkumpul dan saling membuka perasaan. Pertemuan hanya terjadi bila anak membutuhkan uang atau yang lain. Komunikasi yang terjadi adalah komunikasi uang, pakaian, dan sebagainya. Akan tetapi, ada yang hilang. Yaitu, komunikasi bahasa, pencurahan isi hati, dan kasih sayang.

Komunikasi kasih sayang dalam keluarga itu diungkapkan dalam bahasa uang. Akibatnya anak ini memiliki semua yang disukainya. Ia berubah menjadi pemalu dan pendiam. Dalam waktu diam dia memikirkan segala hal yang tidak berguna. Lama kelamaan ditemukannya bahwa uang tidak memuaskan. Bahkan, ia membenci uang. Ia kehilangan yang paling penting, yaitu kasih sayang dalam bentuk sikap, ungkapan bahasa dalam pergaulan.

Ingatlah, nyatakan kasih dengan kata-kata penghargaan. Anak ini memang perlu uang. Akan tetapi, ia lebih membutuhkan kata-kata penghargaan dan tempat mencurahkan isi hati. Dengan contoh di atas ada satu pelajaran penting untuk setiap suami istri sebagai ayah dan ibu. Belajarlah senantiasa mencari waktu untuk bersekutu dengan anak-anak, secara keluarga ataupun pribadi.

Hal yang sama juga penting terhadap istri atau suami. Tiap ibu memerlukan kata-kata kasih sayang. Misalnya, "My dear, my daling, I love you very much!" Tentu kata-kata itu menjadi pernyataan dari tindakan yang penuh kasih. Betapa penting kata-kata demikian. Kadang-kadang istri menjawab, "Ah, ada-ada saja!" Akan tetapi, dalam pelayanan saya menemukan bahwa hati seorang wanita merindukan kata-kata kasih sayang. Mungkin kita dapat memberikan uang, pakaian, dan semua kebutuhan jasmani yang mewah. Hal itu belum cukup! Penghargaan dalam bentuk ungkapan kasih sayang juga perlu.

Ada satu kekurangan yang senatiasa mengancam rumah tangganya, yaitu kehilangan kata-kata kasih sayang. Tidaklah salah kalau orang berkata, waktu pacaran penuh dengan kata-kata cinta. Kamus cinta yang tebal selalu dibuka. Akan tetapi, setelah menikah kamus itu ditutup.

Rindukah Saudara membangun rumah tangga bahagia? Kalau Saudara menjawab "ya", bukalah kembali kamus cinta itu. Gunakanlah untuk membangun kembali kata-kata kasih sayang yang pernah hilang.

III. 6. Usahakanlah yang Terbaik

Berikanlah yang terbaik dari semua yang Saudara miliki untuk membangun keluarga.

Kita harus berusaha membangun di atas dasar yang terbaik, yang indah, dan positif. Bagaimana caranya? Pernah terjadi beberapa penyelidikan terhadap pasangan suami istri yang sudah menikah 10 tahun. Dari hasil angket itu kita dapat melihat beberapa hal penting.

Ada suami istri bernama Santosa dan Ningsih (bukan nama sebenarnya). Mereka mengisi angket mengenai rasa percaya diri. Ternyata, Santosa memperoleh angka 12, sedang Ningsih 92. Beda yang demikian besar menimbulkan pertanyaan. Mengapa demikian?

Untuk mengetahui penyebab perbedaan itu, para ahli memanggil keduanya. Apa kata Ningsih? Pada waktu menikah suaminya seorang yang teguh dan berpendirian kokoh. Hal itu hanya berlangsung kurang lebih 2 tahun. Santosa tetap teguh dalam pendirian, tetapi lambat laun kepercayaan dirinya hilang. Santosa juga ditanya, mengapa ia kehilangan kepercayaan diri sebagai laki-laki. Apa jawabnya? Istrinya senantiasa menunjuk dia dan berkata, "Kamu, kamu selalu menjadi masalah buat saya." Sejak itu Santoso berdiam diri. Dia tidak mau menjadi masalah buat istrinya. Dalam waktu 8 tahun kepercayaan diri Santoso menurun drastis. Bukankah itu hal yang menyedihkan? Kesalahannya terletak pada sikap istrinya yang senantiasa melihat suaminya sebagai masalah. Semua kekurangan hanya terletak dalam diri Santoso.

Kita harus waspada dalam mengangkat jari, menuding suami atau istri, juga anak-anak. Kalau sekali, dua kali, masih dapat dimengerti. Akan tetapi, kalau terus-menerus, Saudara tidak lagi membangun ke atas, melainkan membunuh ke bawah. Ada prinsip rohani yang perlu diperhatikan: di mana manusia merasa kuat, di situlah terletak kelemahanya.

Saya menyampaikan satu kesaksian dari keluarga kami. Saya mengenal istri saya, kelemahan dan kekuatannya. Demikian sebaliknya. Kekuatan istri saya terletak pada kekuatannya mengatur rumah. Saya sungguh-sungguh memuji Tuhan untuk strategi maupun analisa. Akan tetapi, justru pada kekuatan saya inilah kemudian saya jatuh dalam kesombongan.

Pada suatu hari saya kurang menghargai istri saya dengan cara berkata kasar. Saya memang tidak pernah memukulnya, tetapi saya menganggap dia rendah dan remeh. Ketika itu Tuhan menegur saya. Kata-Nya, "Bertobatlah!" Sadarilah, dalam kekuatanmu terletak kelemahanmu.

Itulah saat terpenting dalam hidup kami. Saya merendahkan diri dan meminta maaf. Dengan merendahkan diri, Tuhan Yesus juga mengampuni kita. Firman Tuham dalam Filipi 2:5-11 menjelaskan tentang Tuhan Yesus. Ia yang setara dengan Allah, yang adalah Allah sendiri, telah merendahkan diri sampai mati bagi manusia. "Oleh sebab itu, maka Allah Bapa-Nya mengangkat Dia lebih tinggi dari semua makhluk!" Ia dipermuliakan melebihi segala mahkluk.

Prinsip dasar dalam rumah tangga Kristen adalah merendahkan diri, mengaku salah dan meminta ampun. Tindakan ini disusul dengan pertobatan yang dalam. Saya membangun atas dasar kekuatan yang ada pada istri saya, yaitu membangun dan melayani semua orang yang datang dengan gembira.

Pernikahan yang bahagia terletak pada ikrar kasih antara dua orang yang tidak sempurna. Itulah sebabnya, kita memohon Tuhan menolong kita menyadari kelemahan itu. Dengan kesadaran yang dari Tuhan kita memperoleh kekuatan untuk menolak kesombongan, tetapi dapat percaya kepada diri sendiri. Di dalam Tuhan Yesus kita mendapatkan harga diri yang sesungguhnya.

Betapa penting bagi kita untuk menyadari kekuatan kita. Akan tetapi, waspadalah, di dalam kekuatan itu Saudara bisa gagal dan jatuh. Sikap mengerti istri atau suami dalam kelemahan dan kekalutannya sungguh merupakan satu cara membangun di atas dasar yang baik.

Kelemahan keluarga Santoso dan Nining terletak pada sikap Ningsih yang suka menuding. Hal ini sering kali terjadi dalam keluarga. Sebab itu, doa perlu. Mintalah agar Tuhan Yesus menolong kita supaya tidak menjadi penuding lagi. Biarlah Tuhan Yesus saja yang menjadi kepala dalam keluarga kita.

Amsal penuh dengan pengajaran indah mengenai bagaimana mengajar anak-anak. Akan tetapi, jangan lupa, rasa percaya diri pada anak-anak harus ditumbuhkan sejak kecil, bukan nanti pada usia 10 atau 20 tahun. Dalam melayani anak-anak sering kali tampak, mereka takut kepada ayahnya. Hal ini karena ayah mendidik terlalu keras. Hal ini kurang baik dan tidak membangun kepercayaan diri pada anak-anak. Hubungan mesra dan wajar antara ayah, ibu, dan anak-anak penting sejak mereka kecil.

Sekali lagi, undanglah Tuhan Yesus dalam rumah tangga, dalam kamar, dan dalam hidup pribadi Saudara. Ia mengetuk di muka pintu. Kalau dibuka, Dia akan masuk, Ia hidup dan makan bersama dalam persekutuan Saudara.

III. 7. Berpihaklah pada Suami atau Istri Anda di Hadapan Anak-Anak

Firman Tuhan dalam Lukas 11:7 mendasari uraian ini. Bunyinya, "... setiap rumah tangga yang terpecah-pecah, pasti runtuh." Kalau Saudara ingin agar suami atau istri Saudara mempunyai wibawa di hadapan anak-anak, belalah suami atau istrimu. Mungkin pendidikan istri Saudara masih kurang, sedangkan anak-anak sudah sarjana atau di universitas. Kadang-kadang dalam keadaan semacam ini anak-anak tidak lagi menghargai orangtua atau ibunya sebagaimana mestinya. Para suami hendaklah sungguh-sungguh bijaksana dalam hal ini. Sampaikan kepada anak-anak bahwa ibu mereka adalah istri dan kekasih Saudara. Hargailah istri Saudara di depan mereka.

Anak-anak perlu dibentuk agar menyadari bahwa ibu yang tidak sepintar mereka itu telah menjadi alat dalam tangan Tuhan untuk membangun rumah tangga yang demikian indah. Nyatakan kepada anak-anak kelebihan-kelebihan ibu mereka.

Saya sudah mengalami hal itu dalam keluarga saya. Empat anak saya sudah di universitas. kadang-kadang ada sikap mereka yang kurang menghargai. Mereka merasa cukup pintar dan meremehkan ibunya. Kadang-kadang, dengan berbagai argumentasi mereka menyalahkan ibunya. Saya tahu itu. Di situ, saya berdiri di pihak istri saya. Bagaimanapun saya harus bicara dengan mereka, "Jangan lupa, dia bukan mamamu saja. Dia juga istri papa."

Pada suatu hari saya memanggil kedua anak saya. Dalam kesempatan itu saya menjelaskan bahwa banyak orang besar, para pahlawan, para pemimpin dunia lahir dari ibu-ibu yang kurang berpendidikan, bahkan ada yang ibunya buta huruf. Akan tetapi, mereka menghargai ibunya dengan berkata, "Ibuku yang buta huruf itulah yang meletakkan dasar dalam hidup saya."

Saudara, para suami, sampaikanlah kepada anak-anak bahwa yang meletakkan dasar dalam kehidupan rumah tangga ialah ibu mereka, istri Saudara. Jangan lupa bahwa tanpa pengorbanan ibu, tanpa kasih dan perhatiannya, tak mungkin anak-anak menjadi seperti sekarang ini. Dengan cara demikian, anak-anak menyadari, ibu mempunyai modal yang sangat menentukan dalam perkembangan hidup mereka. Kalau anak-anak mulai meremehkan ibu mereka, rumah tangga Saudara berada di ambang perpecahan. Para suami harus mengusahakan agar istri Saudara merasa terjamin dan sejahtera dalam keluarganya. Bila Saudara tidak waspada menjaga suasana demikian, istri Saudara dapat kehilangan tempat berpijak.

Kadang-kadang ada istri yang ingin dikasihi anak-anaknya. Untuk mencapai maksud demikian ia menceritakan kejelekan ayah di depan anak-anak. Hal ini salah. Bila ibu ingin rumah tangga aman, kemukakanlah selalu perkara yang indah, yang baik tentang suami. Jangan sampai anak-anak lupa, bahwa ayah dan ibunya, dengan segala kekurangan mereka berjuang untuk membangun rumah tangga itu.

III. 8. Kasih Mengatasi Segala Kesalahan

"Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu." (1 Korintus 13:7)

Seorang penulis mengatakan, rumah tangga yang baik terjadi karena janji dari istri kepada suami dan sebaliknya, yang berbunyi demikian, "Aku suami (istri) mengasihi engkau dalam keadaan baik, juga dalam keadaan yang paling rusak atau dalam keadaan sakit." Janji demikian paling penting pada tiap pernikahan.

Dalam pernikahan keadaan silih berganti. Tak satu pun rumah tangga itu berlimpahan, semuanya tidak berarti tanpa kasih. Kasihlah yang mengatasi semua tembok perintang. Kasih akan terbukti dalam keadaan sakit, dan akan terasa dalam keadaan miskin. Kasih dibutuhkan dalam pembangunan rumah tangga, terutama bila ada pencobaan yang berusaha menghancurkan rumah tangga itu. Berdoalah demikian, "Tuhan Yesus, saya ingin menjadi seorang yang membangun ke atas bagi mereka yang Engkau berikan kepadaku untuk aku kasihi, istri, suami, maupun anak-anakku. Aku tidak mau menghancurkan ke bawah."

Tuhan Yesus berkata, "Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan dunia kepadamu." Damai sejahtera Tuhan adalah damai sejahtera vertikal, yang datang dari atas. Damai ini tidak diikat oleh apa pun di sekitar kita, baik miskin, susah, maupun kaya. Damai itu akan terasa tiap hari selama Tuhan Yesus menjadi kepala dalam rumah tangga kita. Dalam Kolose 3:15 Tuhan Yesus berfirman, "Hendaklah damai sejahtera Kristus memerintah dalam hatimu ...." Memerintah! Damai sejahtera sudah diberikan. Akan tetapi, apakah ia memerintah dan menguasai keluarga kita? Oleh sebab itu, firman Tuhan, "Dan berusahalah memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahtera."(Efesus 4:3) Biarlah damai sejahtera itu memerintah dalam ikatan kasih.

Usahakan dan peliharakan! Tanggung jawab kita sebagai suami, istri, dan anak-anak terlibat di sini. Sudahkah kita memelihara damai sejahtera itu? Kalau belum, ikutilah apa yang Saudara baca sekarang dan taatilah itu. Saudaralah yang menciptakan damai sejahtera Kristus tersebut. Allah rindu, tiap orang dalam rumah tangga hidup dalam kesucian ilahi, setia sampai mati. Jangan lupa, Alkitab hanya mempunyai program pernikahan. Tidak ada program perceraian!

Diambil dan disunting seperlunya dari:

Judul buku : Membangun Rumah Tangga Bahagia
Judul bab : Bab III. Delapan Cara Membangun Rumah Tangga Bahagia
Penulis : Pdt. Dr. P. Octavianus
Penerbit : Gandum Mas, Malang 1986
Halaman : 63 -- 86

Komentar