Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I
Keunikan Konseling Pastoral
Meskipun konseling pastoral memunyai kesamaan ciri dengan konseling yang dilakukan oleh para ahli lainnya, konseling pastoral tetap berbeda. Jika tidak, konseling pastoral tidak benar-benar berfungsi dengan baik dalam tugas penggembalaan. Keunikan konseling pastoral dihubungkan dengan 5 faktor: pelatihan konselor pastoral, peran konselor pastoral, konteks konseling pastoral, sasaran konseling pastoral, dan sumber-sumber konseling pastoral.
- Pelatihan Konselor Pastoral.
- Fungsi Konselor Pastoral.
- Konteks Konseling Pastoral.
- Sasaran Konseling Pastoral.
- Sumber-sumber Konseling Pastoral.
Pelatihan para pendeta bersifat khusus karena pelatihan ini memberikan suatu perspektif rohani yang unik pada subjek pribadi dan persoalan mereka kepada para konselor pastoral. Pendeta adalah satu-satunya ahli konseling yang secara rutin mendapatkan pelatihan dalam teologi sistematis, pelajaran alkitabiah, etika, dan sejarah gereja. Susunan pemahaman ini memberi para konselor pastoral suatu perspektif tak ternilai terhadap orang-orang yang meminta pertolongan kepada mereka. Oleh karena itu, alangkah memalukan jika para pendeta mengabaikan perspektif ini demi perspektif psikologis dan menilainya lebih unggul atau lebih bergengsi. Para psikolog atau psikiater Kristen, dengan refleksi dan pemeriksaan diri, bisa membawa pandangan subjektifnya sejalan dengan pandangan alkitabiah, tetapi filter klinis yang mereka pakai untuk melihat seseorang berbeda dengan perspektif para pendeta. Satu perspektif tidak lebih unggul daripada yang lain. Keduanya penting, namun pelatihan para pendeta memberikan suatu perspektif unik, pelatihan itu memperlengkapi mereka untuk melihat orang secara rohani dan memahami pengembaraan mereka, serta pergumulan mereka dalam hubungannya dengan Allah.
Meskipun para pendeta telah mengikuti satu atau dua kursus dalam psikologi atau konseling pastoral, ilmu mereka dalam bidang ini sangatlah sedikit bila dibandingkan dengan ilmu yang dimiliki oleh psikolog, psikiater, atau psikoterapis. Dengan demikian, konseling pastoral tidak perlu meniru konseling yang diberikan oleh para ahli kesehatan jiwa. Keunikan perlengkapan yang diberikan kepada para pendeta adalah untuk memelihara keutuhan rohani, dan perlengkapan ini seharusnya menjadi inti setiap konseling khususnya konseling pastoral. Fokus rohani ini berdasarkan atas pelatihan pastoral yang khusus dan melambangkan sebuah pendekatan konseling yang tidak hanya sesuai dengan aspek-aspek lain dalam fungsi pastoral, tetapi juga menggunakan konseling pastoral untuk diintegrasikan dalam konteks pemeliharaan pastoral.
Para pendeta pun unik di antara para konselor dalam fungsi sosial dan simbolis mereka. Mereka adalah sosok pemimpin agama dan, suka atau tidak suka, mereka secara simbolis melambangkan nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan religius. Oleh karena itu, orang-orang yang mendekati para pendeta memiliki harapan yang berbeda dibandingkan mereka yang datang kepada orang-orang yang tergabung dengan para ahli konseling lainnya. Mereka berharap para pendeta menggambarkan nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, dan komitmen-komitmen Kristen dan "membawa makna Kristen ke dalam persoalan manusia" (Clebsch dab Jaekle 1964, 4-5).
Fakta bahwa para pendeta dianggap sebagai wakil gereja Kristen berarti beberapa orang tidak mau mendekati mereka saat mereka bergumul dengan persoalan pribadi. Alasan-alasan untuk masalah ini cukup beragam dan terkait dengan respons unik mereka terhadap peran simbolis kependetaan. Banyak orang dewasa tetap memandang kependetaan dari cara pandang masa kecil mereka, barangkali mereka teringat akan pertemuan-pertemuan dengan sosok-sosok pemimpin agama yang tegas dan keras dalam menghakimi dan menghukum. Cukup dimengerti jika orang-orang tersebut takut untuk mendekati seorang konselor pastoral pada saat mereka membutuhkan. Beberapa orang lainnya memunyai pandangan yang lebih positif terhadap kependetaan, namun mereka menganggap para pendeta hanya tertarik dengan hal-hal yang agamawi saja, mereka menilai persoalan mereka terlalu duniawi atau sekuler bagi seorang pendeta.
Namun, perkumpulan dan harapan simbolis yang sama ini membuat sebagian besar orang memiliki kesimpulan yang bertentangan. Dalam sebuah penelitian yang penting dan cukup terkenal pada tahun 1957, 42 persen rakyat Amerika melaporkan bahwa ketika mereka menghadapi persoalan pribadi yang signifikan, pendeta adalah orang pertama yang akan mereka temui untuk meminta pertolongan. Seorang dokter keluarga dipilih oleh 29 persen sampel (Gurin, Verhoff, dan Feld 1960). Ketika penelitian ini diulangi lagi pada tahun 1976, pendeta masih menjadi penolong yang paling banyak dipilih, sekarang dipilih oleh 39 persen masyarakat (Verhoff, Kukla, dan Dorran 1981). Urutan kedua kali ini ditempati oleh psikolog dan psikiater yang dipilih oleh 29 persen sampel. Dokter umum (nonpsikiater) turun menjadi peringkat ketiga, menjadi pilihan pertama 21 persen responden. Statistik ini menjelaskan bahwa meskipun tampaknya ada penurunan pengaruh gereja dalam masyarakat, persentase masyarakat yang menemui para pendeta untuk meminta pertolongan atas masalah pribadi lebih besar daripada mereka yang menemui ahli jiwa lainnya. Mereka membuat pilihan itu karena peran khusus yang mereka kaitkan dengan pendeta, yaitu fungsi perwakilan gereja Kristen yang menghasilkan perspektif Kristen sekaligus sumber-sumber pemulihan Kristen yang unik dalam pekerjaan mereka sebagai konselor.
Gereja merupakan ikatan simbolis dalam konteks konseling pastoral yang terkait erat dengan fungsi ekspektasi yang dihubungkan dengan menjadi pelayan gereja. Hiltner dan Colston mempelajari proses konseling dalam konteks yang berbeda-beda dan menemukan bahwa dalam kondisi yang sama, konseling berlangsung lebih cepat dalam konteks gereja (Hiltner dan Colston 1961). Mereka menyimpulkan bahwa alasan hal ini adalah bahwa lambang-lambang dan ekspektasi-ekspektasi yang terkait dengan gereja memperjelas posisi konselor pastoral pada hal-hal penting dengan cepat sehingga mempersingkat waktu yang diperlukan konseli untuk mengenali kualitas-kualitas konselor. Beberapa ikatan umum yang lain, seperti tempat yang tenang dan aman, atau tempat seseorang menemui Allah, juga memudahkan pelaksanaan konseling dalam konteks gereja.
Namun demikian, yang lebih bernilai lagi adalah fakta bahwa gereja bukan sekadar bangunan, melainkan komunitas iman. Idealnya, seorang pendeta memberi konseling dalam keadaan yang tetap, penuh kepercayaan, hubungan yang penuh kasih, dan tidak ada ahli penolong lain yang memunyai sumber komunitas yang sebanding. Jika dalam kenyataannya, sidang jemaat adalah jenis komunitas ini, pendeta dapat menghubungkan orang-orang yang terluka dengan jemaat dan kelompok dalam gereja yang dapat memberi kasih dan dukungan. Dalam situasi tertentu, pendeta tidak bertanggung jawab untuk memenuhi semua kebutuhan orang-orang yang meminta pertolongannya, namun bisa dikatakan, dialah perantara sumber-sumber pemulihan di gereja. Potensi pemulihan dari persekutuan semacam ini jarang disadari sepenuhnya, tetapi saat para jemaat mendekati kemungkinan ini, sumber-sumber yang tersedia bagi konselor pastoral semakin melimpah.
Satu aspek konteks konseling pastoral khusus yang terakhir berhubungan dengan kontak alamiah antara pendeta dan jemaat. Seperti telah dicatat sebelumnya, para pendeta memberikan konseling dalam jaringan hubungan yang di dalamnya orang-orang bisa saling mengenal dan memahami dalam berbagai situasi. Hal ini meningkatkan kepercayaan sehingga sangat mempermudah proses konseling. Ini juga berarti bahwa para pendeta sering kali mampu mengidentifikasi persoalan sebelum mencapai fase lanjut dan memunyai kesempatan untuk terlibat lebih awal. Para psikoterapis sering kali sangat terlambat memahami konseli. Bahkan, mereka tidak berada dalam posisi untuk berinisiatif dalam menjangkau seseorang yang membutuhkan pertolongan.
Pemahaman yang jelas tentang sasaran konseling adalah salah satu aspek penting dalam upaya konseling. Tanpa sasaran jelas, konseling menjadi aktivitas yang tidak bertujuan yang mana sarana-sarana yang ada menjadi sesuatu yang terakhir. Apalagi, sasaran berbagai pendekatan konseling lebih menentukan karakter khusus konseling daripada aspek lainnya, bahkan daripada teknik yang digunakan. Jika konseling pastoral bersifat khusus, sasarannya harus jelas dan spesifik.
Sasaran utama konseling pastoral adalah pemfasilitasan pertumbuhan rohani. Hal ini mencakup menolong para konseli untuk memahami persoalan dan kehidupan mereka dengan mengingat hubungan mereka dengan Allah, kemudian hidup lebih sungguh dalam hubungan tersebut.
Dasar pelayanan pendeta adalah bahwa pertumbuhan rohani merupakan pondasi seluruh kesatuan manusia, dan pada saat yang sama, terkait dengan seluruh aspek kesatuan yang lain. Tidak ada bidang kehidupan yang tidak memiliki kepentingan religius. Oleh karena itu, tidak ada bidang kehidupan yang tidak relevan dengan konseling pastoral. Entah fokusnya pada kesedihan menghadapi kehilangan, konflik dalam suatu hubungan, persoalan memilih pekerjaan, atau kekhawatiran menghadapi penyakit, tantangannya adalah untuk menolong seseorang yang membutuhkan bantuan untuk hidup di hadapan Allah dan meneladani kesempurnaan kehidupan-Nya.
Saat menyarankan agar para konselor pastoral memunyai perhatian utama dalam memfasilitasi pertumbuhan rohani tidak berarti agar mereka hanya memerhatikan atau mengutamakan persoalan-persoalan yang tampaknya rohani. Semua persoalan memunyai unsur rohani karena seluruh kehidupan bersifat religius atau rohani. Apalagi, persoalan-persoalan rohani muncul paling jelas dalam konteks pengalaman dan pergumulan hidup sehari-hari, dan keduanya merupakan fokus alami hubungan konseling. Keunikan konseling pastoral tidak terletak pada persoalan yang dibahas, melainkan pada sasarannya.
Untuk memunculkan fokus rohani ini ke dalam topik yang sedang dibahas membutuhkan keterampilan yang besar dari pihak pendeta. Kepentingan rohani dari persoalan atau pengalaman tertentu harus dipahami terlebih dahulu kemudian diidentifikasi dengan saksama bagi setiap individu. Jadi, pendeta sebagai konselor harus peka terhadap Roh Kudus yang adalah Penasihat sejati (Oates 1962). Para konselor pastoral seharusnya benar-benar menyadari ketergantungan mereka kepada Roh Kudus, bahkan waktu mereka menyadari bahwa pemulihan tidak datang dari penerapan teknik-teknik tertentu secara terampil maupun dari kehidupan, melainkan dari Allah, yang hadir di tengah-tengah kehidupan dan tersedia sebagai sumber segala pertumbuhan dan perubahan yang membangun (Brister 1964).
Terakhir, konseling pastoral itu unik dalam penggunaan sumber-sumber religius. Doa, Kitab Suci, sakramen, pengurapan minyak atau penumpangan tangan, dan renungan atau bacaan rohani, semuanya (tergantung dari kebiasaan religius seseorang) tersedia sebagai sumber-sumber potensial untuk proses konseling. Kegagalan dalam memanfaatkan salah satu di antaranya menyebabkan terkikisnya aspek pastoral khusus dalam konseling seseorang.
Namun demikian, pertama dan terutama, kita harus memerhatikan bahwa sumber-sumber religius ini adalah bagi kehidupan konselor pastoral itu sendiri. Sumber-sumber ini dapat dipergunakan secara tepat dalam konseling jika semuanya sudah diterapkan dalam kehidupan pribadi pendeta.
Ada suatu pengorbanan pribadi yang besar terkait dengan ketentuan dalam konseling. Berada dengan seseorang yang bingung, terluka, marah, atau takut membutuhkan kerelaan untuk ikut merasakan penderitaannya. Dalam kesempatan lain, saya menyarankan agar sikap mau merasakan penderitaan dan penyakit seseorang yang mencari pertolongan mencerminkan respons pemulihan Allah atas kita karena dosa-dosa kita dengan cara yang kurang sempurna (Benner 1983). Meskipun tindakan konselor pastoral tidak memunyai pengaruh penebusan utama seperti yang dinyatakan dalam keikutsertaan Yesus dalam menanggung dosa kita, tindakan-tindakan tersebut menggambarkan unsur proses pemulihan yang penting dan mengingatkan kita mengapa sangat perlu bagi konselor untuk mengalami pembaruan terus-menerus melalui Kitab Suci, doa, dan sakramen. Hanya ketika baterai rohani seseorang diisi ulang terus-menerus, dia dapat berharap memiliki sesuatu untuk diberikan kepada orang lain. Hanya dalam perjalanan pribadi seseorang bersama Tuhan, dia dapat menemukan kekuatan untuk menanggung bukan hanya bebannya, tetapi juga beban orang lain.
Ketika sumber-sumber religius ini digunakan dalam konseling, semuanya harus digunakan dengan hati-hati dan bijak. Khususnya bagi pendeta, sangat penting untuk mengetahui bagaimana sumber-sumber ini dirasakan oleh konseli. Doa, pembacaan Kitab Suci, dan sumber-sumber religius lainnya membawa beban emosional yang berat dan negatif bagi beberapa orang. Hal tersebut juga bisa digunakan dengan mudah untuk memunculkan rasa bersalah yang keliru atau kekhawatiran yang tidak perlu. Hal-hal itu juga bisa menghalangi percakapan kreatif dengan mudah. Sebagai contoh, seseorang datang kepada pendeta dengan berharap percakapan mereka akan menggunakan doa sebagai suatu pengelakan dari keterlibatan langsung atau pembacaan Kitab Suci sebagai suatu tindakan bersembunyi di balik otoritas ilahi. Hulme mencatat bahwa bahasa dan praktik-praktik religius memberikan cara-cara menghindari percakapan yang serius kepada pendeta. Dia juga mencatat bahwa melepaskan/meninggalkan peran sebagai pemimpin rohani dengan menggunakan bahasa atau praktik-praktik yang berorientasi religius dapat menjadi jalan untuk memegang kendali atas situasi yang mengancam atau tidak nyaman (Hulme 1981). Dia terus mengamati bahwa "percakapan murni, di sisi lain, membutuhkan pelepasan kendali dan orang yang terlibat dalam percakapan berisiko memeroleh hasil yang tidak terduga dalam setiap pertemuan" (halaman 12).
Dengan demikian, penting bagi para pendeta untuk mengetahui mengapa sumber-sumber religius tertentu dipergunakan dalam situasi tertentu. Apakah itu cara untuk menghindari pembicaraan tentang pokok bahasan yang tidak menyenangkan? Atau mungkinkah itu suatu cara untuk menyediakan penghiburan prematur, bahkan untuk menghilangkan kegelisahan atau penderitaan mereka? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam itu, jelas perlu bagi para pendeta untuk mengetahui diri mereka dan mampu bercermin pada tingkah laku mereka dengan kadar objektivitas dan kejujuran tertentu. Tanpa pemeriksaan diri, konseling pastoral tak jarang menjadi sekadar obrolan rohani klise.
Penggunaan sumber-sumber religius secara tepat dalam konseling didahului dengan sadarnya pendeta terhadap persoalan konseli dan latar belakang religiusnya sekaligus sikapnya terhadap agama pada saat itu. Selain itu, sebelum menggunakan sumber-sumber tersebut, pendeta sebaiknya bertanya apakah semuanya itu akan berguna dan dihargai. Hal ini menunjukkan penghormatan pada perasaan dan keyakinan konseli dan sering kali akan membuka percakapan yang efektif tentang konflik dan hambatan rohani. Tentu saja, jika konseli memilih untuk tidak menggunakan doa atau Kitab Suci dalam sesi itu, bukan berarti kita membatasi doa bekerja baginya di lain waktu.
Clinebell mencatat bahwa sumber-sumber religius sebaiknya digunakan dengan cara-cara yang menguatkan konseli alih-alih dengan cara-cara yang mungkin mengecilkan prakarsa, kekuatan, atau tanggung jawabnya (Clinebell 1984, 123). Hal ini penting, khususnya bagi orang-orang yang cenderung bergantung dan dengan mudah berserah pada kuasa doa atau pembacaan Kitab Suci oleh pendeta alih-alih belajar untuk menggunakan semuanya itu sendiri. Terhadap orang-orang semacam ini, sering kali tepat bagi pendeta untuk meminta mereka berdoa alih-alih sekadar mendoakan mereka.
Clinebell juga menyatakan penting bagi pendeta untuk menggunakan sumber-sumber itu dengan cara-cara yang “memfasilitasi alih-alih menghambat kemunculan dan penghilangan perasaan-perasaan negatif” (halaman 123). Salah satu cara untuk melakukan hal ini adalah melalui dorongan untuk merenungkan perikop-perikop tertentu seperti Mazmur 6, Mazmur 13, Mazmur 31, Mazmur 63, Mazmur 73, dan Mazmur 109. Perikop-perikop tersebut, dan banyak lainnya di Alkitab, menjelaskan bahwa Allah tidak asing terhadap ungkapan keterusterangan yang kuat dari umat-Nya dan Dia mengundang mereka untuk datang kepada-Nya di tengah kebingungan, keraguan, kemarahan, keputusasaan, dan kesedihan mereka. Inilah yang dimaksudkan Clinebell sebagai memfasilitasi kemunculan dan penghilangan perasaan-perasaan negatif.
Inti sumber-sumber religius ini adalah menyediakan hubungan dinamis antara Allah dan konseli yang meminta pertolongan pastoral. Oleh karena itu, penggunaan sumber-sumber itu tidak boleh bersifat mekanis, legal, atau magis. Jika digunakan dengan kepekaan, semuanya itu dapat secara unik menolong konseli merasakan pemeliharaan, pemulihan, dan kehadiran Allah secara pribadi yang menopang. Jika meningkatkan hubungan pribadi dengan Allah, sumber-sumber itu memberi kontribusi luar biasa terhadap proses konseling. Jika tidak berhasil menghadirkan hubungan tersebut, sumber-sumber itu barangkali digunakan secara salah. (t/Dicky)
Diterjemahkan dari:
Judul asli buku | : | Strategic Pastoral Counseling |
Judul asli artikel | : | The Uniqueness of Pastoral Counseling |
Penulis | : | David G. Benner |
Penerbit | : | Baker Book House, Michigan, 1992 |
Halaman | : | 23 -- 32 |