Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I
Membantu Seorang Konseli Memahami Ketidakseimbangan Kimia
Edisi C3I: e-Konsel 382 - Menghadapi Konseli yang Labil
Sering kali, konseli diberi tahu oleh dokter mereka bahwa mereka memiliki "ketidakseimbangan kimia". Diagnosis yang mendasarinya mungkin adalah depresi atau gangguan bipolar. Mereka yang didiagnosis sebagai penderita "bipolar" adalah, berkali-kali, dikatakan bahwa mereka seperti penderita diabetes yang harus diberi insulin.
Mereka harus mengonsumsi obat untuk menjaga suasana hati agar stabil, dan mungkin obat antidepresan untuk menjaga agar bahan kimia dalam otak mereka ada dalam keseimbangan yang tepat. Mereka yang didiagnosis sebagai penderita "depresi" sering mengatakan bahwa mereka, juga, memiliki penyakit ketidakseimbangan kimia di otak mereka yang akan diperbaiki oleh obatnya.
Apakah hal itu benar? Mari saya jelaskan mengapa saya yakin hal itu tidak benar.
Di otak terdapat zat kimia yang disebut neurotransmiter. Neurotransmiter ini (dopamin, norepinefrin, dan serotonin) seperti jembatan kimia kecil yang memungkinkan aktivitas listrik bergerak dari sel ke sel di dalam otak. Aktivitas listrik menunjukkan bahwa otak masih hidup atau dapat menunjukkan aktivitas kejut. Apa yang menjadi aktivitas listrik tidak menjadi pemikiran seseorang. Sebenarnya, para ilmuwan tidak tahu bagaimana seseorang memikirkan sebuah pikiran.
Apa yang dokter tahu adalah bahwa antidepresan mengubah keseimbangan neurotransmiter di otak. Sebenarnya, mereka mengubah keseimbangan pada tingkat yang sangat tidak normal. Juga diketahui bahwa antidepresan, bagi sebagian besar pasien, akan mengangkat suasana hati mereka. Apa yang tidak diketahui, bagaimanapun, adalah bagaimana (dengan yang dimaksudkan farmakologis) suasana hati depresi diubah. Kemudian, hal itu menjadi teori bahwa suasana hati pasien diangkat karena obat perubahan keseimbangan kimia. Oleh karena itu, diasumsikan bahwa depresi disebabkan oleh ketidakseimbangan "kimia" neurotransmiter.
Mungkin tampak aneh bagi pendeta dan orang-orang nonmedis lainnya bahwa dokter akan memberikan obat ketika mereka tidak secara jelas memahami cara kerjanya, tetapi itu adalah hal yang umum di dalam kedokteran. Misalnya, mungkin diperkirakan 100 tahun sebelum dokter menemukan bagaimana aspirin mengurangi demam, tetapi mereka tetap memberi aspirin karena mereka tahu itu berhasil.
Mungkin juga tampaknya aneh bahwa dokter kadang-kadang begitu cepat untuk mendiagnosis bahwa seseorang memiliki ketidakseimbangan kimia dibanding menyuruh mereka datang kepada pendeta atau konselor untuk belajar mengendalikan pikiran mereka, untuk memperbaiki emosi mereka, atau merespons lebih baik terhadap keadaan sulit. Alasan begitu banyak dokter melakukan ini adalah mereka diajarkan di sekolah kedokteran untuk melihat orang seolah-olah tubuh fisik merupakan segala-galanya. Dengan kata lain, seorang manusia adalah organisme fisik canggih, jadi jika mereka mengalami depresi, mereka pastilah menjadi korban penyakit fisik. Dokter cenderung melihat hal-hal melalui "model medis" mereka. Jadi, ketika seorang pasien mengalami emosi yang menyakitkan, ini dianggap karena penyebab fisik, seperti (mereka berteori) sebuah ketidakseimbangan kimia, bukan berasal dari dalam (hati, jiwa, dan pikiran).
Penting untuk diingat bahwa dokter memberikan antidepresan karena mereka memiliki dampak pada beberapa orang, dan bukan karena mereka benar-benar tahu bagaimana atau apa yang sebenarnya menyebabkan hampir semua depresi. Bahkan, mereka tidak dapat menguji pasien untuk mengetahui tingkat neurotransmiter di otak mereka tanpa melakukan biopsi otak mereka yang, tentu saja, tidak mereka lakukan.
Konselor Berdasarkan Alkitab dan Bidang Kedokteran
Konselor alkitabiah harus menghormati dokter dan pelatihan yang mereka miliki. Namun, kita harus mengakui bahwa "praktik kedokteran" sampai batas tertentu adalah sebuah permainan menebak yang berpendidikan. Oleh karena itu, kita harus berhati-hati untuk tidak terintimidasi mengonsumsi obat-obatan yang mungkin tidak perlu, untuk menutupi gejala-gejala yang seharusnya kita tangani secara alkitabiah. Juga, obat-obatan ini dapat menyebabkan masalah dan kadang-kadang termasuk efek samping yang permanen, yang bagi sebagian orang, akan mengalami kesulitan yang ekstrem untuk melepaskan diri dari obat.
Efek samping dari melepas obat antidepresan adalah tidak bisa berhenti menangis, suasana hati yang memburuk, tidak bersemangat, kesulitan berkonsentrasi atau tidur, pikiran untuk bunuh diri, kecemasan, serangan panik, mudah marah, impulsif, agresivitas, menyakiti diri, kebingungan, masalah memori, halusinasi, sakit seperti flu dan nyeri, demam, berkeringat, mual, muntah, sakit perut, perasaan berputar, gaya berjalan goyah, sakit kepala, gemetaran, mati rasa, kesemutan, sensasi seperti kejut listrik di otak atau tubuh, telinga berdenging, mengeluarkan air liur, bicara cadel, kram otot, mulut berkedut tak terkendali. [i] Tentu saja tidak setiap pasien mengalami semua gejala lepas dari obat sampai parah, tetapi penelitian telah menunjukkan bahwa "sebanyak 78 persen pasien memiliki reaksi lepas dari obat ketika mereka menghentikan obat-obat antidepresan mereka, tergantung pada obat tertentu".[ii]
Ada penyebab fisik yang masuk akal untuk depresi seperti hypothyroidism atau efek samping obat-obat seperti steroid atau obat tekanan darah tinggi. Hal-hal tersebut dapat dan harus ditangani secara medis. Namun, sebagian besar pasien depresi didiagnosis memiliki ketidakseimbangan kimia, diberi tahu secara dogmatis bahwa mereka memiliki penyakit dan harus minum obat untuk menyembuhkannya agar mereka dapat sembuh atau, setidaknya, tetap stabil. Hal ini tidak benar. Hal itu juga bukan merupakan metode yang alkitabiah untuk belajar bagaimana mengelola emosi kita.
Bagi pendeta dan konselor yang memiliki konseli-konseli yang sudah mengonsumsi obat-obat antidepresan dan menginginkan untuk lepas, saya sangat menyarankan Anda (dan mungkin konseli) membaca "The Antidepressant Solution" [Solusi Antidepresan - Red.] oleh Dr. Joseph Glenmullen (Free Press Publishers, 2005). Penting untuk memperingatkan konseli yang ingin menghentikan pengobatannya agar tidak begitu saja melakukannya tanpa berkonsultasi dengan dokter terlebih dahulu. Seseorang yang tidak mengindahkan peringatan ini menghadapi risiko besar mengalami gejala melambung yang parah (dan mungkin akan diberi obat psikiatris tambahan!). Oleh karena itu, dokter perlu membimbing dia dalam proses yang aman. Bagi mereka yang belum mengonsumsi obat-obat antidepresan, mereka harus didorong untuk mencari bantuan dari pendeta atau konselor yang alkitabiah yang akan memberi mereka harapan dari Tuhan dan membantu mereka belajar untuk mengatasi masalah mereka dengan cara yang memuliakan Tuhan, dan pada akhirnya akan memberi mereka ketenangan pikiran.
Jika ditanya, kebanyakan dokter akan mengakui bahwa diagnosis ketidakseimbangan kimia adalah "tebakan terbaik" mereka, dan bahwa obat-obatan pasti memiliki efek samping yang tidak menyenangkan, bahkan efek samping yang parah untuk tidak mengatakan efek dari pelepasan obat. "Bahkan, psikiater terkemuka seperti Dr. David Healy tidak percaya lagi pada teori ketidakseimbangan kimia. Sekarang, para peneliti setuju bahwa apa pun yang dilakukan obat-obat antidepresan, itu tidaklah memperbaiki ketidakseimbangan".[iii]
Ketika Yeremia dalam keadaan depresi, ia ingat hal-hal tertentu tentang kesempurnaan Allah dan itu memberinya harapan:
Tetapi hal-hal inilah yang kuperhatikan, oleh sebab itu aku akan berharap: Tak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu! "TUHAN adalah bagianku," kata jiwaku, oleh sebab itu aku berharap kepada-Nya. (Ratapan 3:21-24).
Harapan sejati orang percaya adalah di dalam Tuhan. Orang Kristen harus dikontrol oleh Roh Kudus yang buahnya adalah kasih, sukacita, dan damai sejahtera, dibanding dikendalikan oleh obat yang mengubah suasana hati. Teori ketidakseimbangan kimia depresi tidaklah benar. Sesungguhnya, depresi adalah emosi yang sangat nyata dan menyengsarakan. Konseli yang berjuang dengan depresi memerlukan bantuan dan harapan yang menghormati Allah dan memungkinkan mereka untuk memberikan kemuliaan bagi-Nya.[iv]
Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku, dan mengapa engkau gelisah di dalam diriku? Berharaplah kepada Allah! Sebab aku bersyukur lagi kepada-Nya, penolongku dan Allahku! (Mazmur 42:11). (t/Jing-Jing)
Referensi:
[i] Glenmullen, Joseph. The Antidepressant Solution (New York, New York: Free Press, 2005), p.135.
[ii] Glenmullen, p.1.
[iii] Doctor Laura Hendrickson (former Psychiatrist and MD) in e-mail correspondence with Martha Peace, June 2005.
[iv] For a biblical counselor in your area look on the www.biblicalcounseling.com web site under "find a counselor".
Diterjemahkan dari:
Nama situs | : | Biblical Counseling Coalition |
Alamat URL | : | http://biblicalcounselingcoalition.org/blogs/2014/07/10/helping-a-counselee-understand-chemical-imbalance/ |
Judul asli artikel | : | Helping a Counselee Understand Chemical Imbalance |
Penulis artikel | : | Martha Peace |
Tanggal akses | : | 13 Oktober 2015 |