Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I

Mengampuni Orang yang Menyakiti Kita

Edisi C3I: e-Konsel 234 - Berdamai dengan Sesama (I)

Kasih Selalu Dimulai dengan Kerendahan Hati

"Karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah." (Roma 3:23) Mari kita terapkan ayat ini kepada diri sendiri sebelum kita mulai menunjuk jari kepada orang lain. Jika kita kehilangan pandangan tentang bagaimana pada saat-saat tertentu kita bersikap buruk, kita akan menjadi sombong dan merasa benar sendiri. Jika kita sadar akan kegagalan sendiri, maka mengasihi orang-orang yang bersikap buruk menjadi semakin mudah.

Suatu hari, seorang kenalan saya sedang mengadakan perjalanan sambil mengeluh kepada Tuhan tentang masalah-masalah yang ia hadapi. Ia merasa bahwa banyak orang mengkritiknya dengan tidak adil, bahkan mengarang dusta untuk mendukung alasan mereka. Ia menjerit kepada Tuhan untuk mendapatkan simpati dan pengertian, dan ia sangat terkejut ketika Tuhan berkata kepadanya, "Bergembiralah bahwa mereka tidak mengenal engkau yang sebenarnya!"

Sering kali, kita hanya melihat apa yang baik dalam diri sendiri dan mengingat keberhasilan kita lebih daripada kegagalan kita. Jadi marilah kita perlakukan orang lain dengan cara yang sama -- "Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri." (Matius 22:39)

Ampunilah Mereka yang Menyakiti dan Menjengkelkan

Mengampuni bukan suatu perasaan. Bukan pula berusaha melupakan hal-hal buruk yang diperbuat orang terhadap kita. Mengampuni ialah suatu tindakan hati dan kemauan. Mengampuni berarti memberi seseorang sesuatu yang tidak mereka terima yaitu maaf atau pengampunan. Mengampuni juga berarti mengakui bahwa kita diperlakukan salah, tetapi menjangkau melampaui hal itu dan memberi kemurahan.

Kadang-kadang, mengampuni merupakan suatu proses. Jika kita disakiti dengan amat dalam, maka membutuhkan waktu untuk menyembuhkan luka. Di sini, mengampuni bertindak sebagai pembersihan luka terus-menerus sehingga luka itu dapat sembuh dengan baik. Ketika kita memikirkan seseorang yang pernah menyakiti atau telah berbuat dosa terhadap kita, timbul sakit hati dan rasa jengkel, maka kita perlu meneguhkan kembali komitmen untuk mengampuni. Itu tidak berarti bahwa tindakan pengampunan yang pertama tidak berlaku lagi, tetapi sebuah proses yang mungkin dibutuhkan agar Anda benar-benar sembuh.

Suatu ketika saya sangat terluka oleh seorang kawan. Saya tidak dapat mengatasi perasaan marah dan kecewa saya setiap kali teringat akan dia. Seorang kawan lainnya menasihati saya, supaya mengatakan kepada Tuhan bahwa saya mengampuni kawan itu setiap kali saya memikirkannya dan memilih untuk melakukan ini dengan kasih-Mu, dan saya tidak akan menyerah sampai Engkau menaruh kasih-Mu itu di dalam hati saya bagi dia. Saya menerima kasih-Mu itu dengan iman.

Saya berdoa seperti itu berulang kali setiap hari selama beberapa bulan, tetapi sepertinya tidak ada yang berubah. Suatu hari ketika sedang berdoa, saya melihat kawan saya dengan "mata yang baru". Saya melihat luka-luka dan sakit hatinya; saya melihat bagaimana ia telah dilukai oleh ayahnya, dan bagaimana ia meneruskan sakit hatinya itu kepada saya. Tuhan menaruh belas kasihan di dalam hati saya baginya, yang saya kira tidak akan pernah terjadi. Tuhan melakukan lebih banyak daripada yang dapat saya minta atau pikirkan!

Mendekati Orang, Bukan Menjauhi Mereka

Ketika seseorang menjengkelkan kita atau kepribadian mereka menimbulkan kekesalan, kita cenderung untuk menghindari mereka. Ketika mereka masuk ke dalam suatu ruangan, kita tidak mau melihat ke arah mereka dan dengan sendirinya kita akan bergeser ke seberang ruangan. Beberapa di antara kita akan berusaha tidak hadir dalam pertemuan atau acara di mana orang-orang tertentu akan hadir.

Salah satu kunci yang terbesar dalam mengasihi musuh-musuh kita ialah bergerak mendekati mereka, bukan menjauhi. Memang ini berlawanan dengan sifat manusia yang alami, tetapi tindakan tersebut efektif. Mungkin kita membutuhkan waktu untuk membereskan suatu hubungan yang sulit, atau menjadi tenang kembali setelah suatu perbantahan. Tetapi kita yang harus membuat komitmen terhadap orang itu dan menyelesaikan keadaan tersebut.

Saya dan istri saya kadang-kadang merasa jengkel terhadap satu sama lain, atau bahkan memunyai perbedaan pendapat tentang suatu pokok yang cukup penting. Ketika kami baru menikah, kami rasakan hal itu sebagai suatu pengalaman yang menegangkan. Sekarang kami sudah terbiasa karena kami merasa lebih aman dalam hubungan kami. Kami telah sepakat bahwa apabila hal itu timbul, kami akan mengambil beberapa jam atau jika perlu beberapa hari untuk menenangkan diri dan mendapatkan suatu pandangan yang lebih jelas. Hanya pada saat itulah kami akan membicarakan pokok masalah tersebut. Kami akan terus membicarakannya sampai kami memperoleh pengertian bersama. Komitmen bersama untuk saling mendekat inilah, dan bukan sebaliknya yang membantu kami melewati saat-saat yang sulit.

Bagaimana dengan orang yang tidak mengerti prinsip ini dan tidak mau terbuka dan membicarakan masalahnya? Kita harus tetap melakukan apa yang dapat kita lakukan untuk menjangkau orang itu, dan berusaha menciptakan suasana di mana mereka merasa dapat berkomunikasi dengan kita. Kebanyakan orang ingin berbicara, tetapi tidak tahu bagaimana memulainya. Bertemulah dengannya di tempat umum, misalnya sambil makan atau minum kopi, atau apa saja yang ia suka lakukan. Tunjukkan kepadanya bahwa Saudara terbuka, Saudara ingin meluruskan keadaan, dan Saudara mau didekati. Ketika ketegangan menjadi berkurang, Saudara dapat mulai membicarakan bidang yang sensitif dalam hubungan Saudara, mungkin dengan menanyakan apakah Saudara telah berbuat sesuatu yang menyakitinya, atau apakah ia mau membicarakan tentang ketegangan yang ada dalam hubungan Saudara dengannya.

Diambil dan disunting seperlunya dari:

Judul asli buku : Learning to Love People You Don't Like
Judul buku terjemahan : Belajar Mengasihi Orang yang Anda Benci
Judul asli artikel : Kasih Selalu Dimulai dengan Kerendahan Hati
Penulis : Floyd McClung
Penerjemah : T. Wahyuni
Penerbit : Metanoia, Jakarta 1995
Halaman : 58 -- 61

Komentar