Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I
Penangkal Keputusasaan yang Terpendam
Jika ada frase dua kata yang dapat meringkaskan budaya kita dengan cara paling baik, "keputusasaan terpendam" mungkin frase yang tepat (meskipun saya rasa keputusasaan lebih kuat). Ada suatu kepanikan batiniah yang orang-orang miliki bahwa sesuatu akan menjadi sangat buruk dan tidak akan ada lagi yang dapat mereka lakukan untuk memperbaikinya. Mereka mengalihkan perhatian mereka sendiri dengan berita selebriti, olahraga, hiburan, politik, dan sebagainya, serta mengabaikan kekosongan rohani dalam diri mereka sendiri. Masa-masa pencobaan cenderung menggerakkan orang untuk mencari Tuhan, tetapi hal tersebut sering kali bersifat sementara, sayangnya sering kali hal ini karena gereja tidak berperan seperti yang seharusnya. Hingga kini, keputusasaan batiniah yang terpendam, kekhawatiran, kecemasan, dan ketidakpastian menang. Saya, seperti Anda, mengetahui bahwa orang-orang Kristen sekalipun terkadang bisa berada pada satu titik keputusasaan yang terpendam. Kita cukup pandai dalam menyimpan rahasia supaya orang lain tidak berpikir bahwa kita lemah atau "kurang iman"seolah-olah merasa marah, khawatir, takut, atau panik itu suatu dosa. Hal-hal ini adalah pengalaman-pengalaman normal manusia. Yang menentukan apakah hal-hal tersebut suatu dosa atau tidak, ini bergantung pada bagaimana kita mengatasinya dan apa yang kita lakukan terhadap pikiran dan emosi yang melanda kita. Saudara-saudara, kita adalah manusia, dan kita menyakiti dan berjuang. Beberapa dari kita dapat menyembunyikannya lebih baik daripada orang lain, dan beberapa dari kita memiliki perjalanan yang lebih mudah daripada orang lain. Akan tetapi, bagi orang-orang yang menyimpan keputusasaan batiniah di dalam diri mereka sendiri, ada harapan.
Mari kita mulai dengan melatih apa yang kita ketahui dari Kitab Suci. Pertama, kita harus ingat bahwa Allah tidak akan pernah membiarkan kita atau meninggalkan kita (Ibrani 13:5). Kedua, marilah kita mengingat bahwa Allah tidak akan pernah membiarkan kita dicobai melebihi kekuatan kita karena kasih karunia-Nya (1 Korintus 10:13). Ketiga, marilah kita mengingat bahwa di dalam hidup ini kita tentu memiliki kesulitan, tetapi Kristus telah mengalahkan dunia ini (Yohanes 16:33). Dengan demikian, kita memiliki pengaruh kemuliaan kekekalan (2 Korintus 4:17) untuk mengingat dan meletakkan pengharapan kita seluruhnya padanya (1 Petrus 1:13). Namun, mengetahui kebenaran-kebenaran ini saja tidak cukup. Kita harus memercayainya. Iman adalah memercayai janji-janji Allah dan bertindak berdasarkan pada iman entah kita merasa seperti itu atau tidak. Inilah tantangan. Pertempuran ini adalah untuk iman.
Kita tidak pernah dapat mengatakan bahwa kita tidak dapat memperoleh kemenangan karena kita bisa ... oleh iman (Markus 9:23; Filipi 4:13). Tidak benar jika kita mengatakan bahwa kita tidak dapat memperoleh pengharapan atau sukacita (Filipi 4:4) karena itu adalah hak anak Allah ... yang percaya. Tidak benar jika kita tinggal dalam keputusasaan batiniah, walaupun keadaan-keadaan di luar mungkin sangat membuat putus asa (seperti yang dikatakan Paulus "habis akal, tetapi tidak putus asa"-- 2 Korintus 4:8). Kita harus percaya bahwa Kitab Suci adalah kebenaran ketika ia berkata, "Yang hatinya teguh Kaujagai dengan damai sejahtera." Mengapa dan bagaimana hal ini terjadi? "Sebab kepada-Mulah ia percaya." (Yesaya 26:3). Kita harus memercayai pernyataan itu, kemudian kita harus bertindak berdasarkan pernyataan itu dengan menujukan pikiran-pikiran kita pada Kristus. Jadi iman tidak pasif, tetapi aktif. Itulah sebabnya, Kitab Suci mengatakan bahwa iman tanpa perbuatan adalah mati (Yakobus 2:17). Iman yang sejati menuntun pada perubahan, dan imanlah yang diperlukan untuk membebaskan kita dari kondisi keputusasaan yang terpendam.
Untuk perasaan putus asa secara batin dalam keadaan apa pun, kita harus memilih percaya pada firman Tuhan dan percaya kepada Kristus atas firman-Nya bahwa Ia sanggup dan setia memberi kita damai sejahtera. Tidak ada jawaban lain. Hal ini juga bukan untuk mengatakan bahwa tidak ada hal-hal praktis untuk dilakukan. Iman bukanlah "iman yang buta", yang merangkak di bawah batu sambil menantikan Allah untuk campur tangan. Sudah tentu, kita tidak dapat berbuat apa pun dengan kekuatan kita sendiri, tetapi Allah dimuliakan saat kita berjalan oleh iman dengan mengambil langkah-langkah ketaatan yang proaktif. Ketika keadaan menghimpit kita, sudah semestinya kita berdoa dan percaya, tetapi janganlah kita lupa bahwa buah kepercayaan adalah iman, tindakan, dan ketaatan. Kita tidak semestinya menggunakan ide menanti Allah sebagai alasan untuk kemalasan. Akan ada saatnya ketika kita harus menanti Allah bertindak, tetapi dalam fase penantian sekalipun dapat menjadi kesempatan menggunakan energi yang besar untuk berdoa, mencari nasihat dari orang lain, mengambil langkah-langkah kecil dari ketaatan, dan sebagainya.
Saya tahu dari perjalanan saya sendiri dengan Kristus bahwa ada saat-saat ketika saya hanya perlu berhenti dan berdoa karena saya sangat kewalahan sehingga saya tidak bisa mulai mengambil tindakan-tindakan. Saya perlu menyerahkan kekhawatiran saya kepada-Nya karena Ia memedulikan saya. Saya meminta hikmat kepada-Nya, memercayai-Nya untuk memberikannya seperti yang Ia janjikan. Kemudian, ketika hati dan pikiran saya merasa damai, bukan karena keadaan saya yang tidak begitu kompleks tetapi oleh kasih karunia melalui iman saya percaya bahwa Allah itu setia. Saya mulai mengerjakan tugas-tugas di hadapan saya pada hari itu. Kitab Suci mengatakan bahwa setiap hari mempunyai kesusahannya sendiri, jadi daripada khawatir tentang hari esok dan apa pun yang bisa menimbulkan masalah, saya harus fokus karena Allah memberikan hikmat dan kekuatan atas apa yang perlu kita lakukan hari ini. Ketika setiap langkah iman dan tindakan dilakukan, hikmat, kekuatan, dan petunjuk diberikan untuk langkah berikutnya. Dalam hidup, kita sering kali kebingungan dan kewalahan, tetapi kita tidak perlu berputus asa sehingga dengan demikian kita menunjukkan kurangnya iman dan tidak lagi berjalan dengan iman. Bahkan, ketika kematian menghampiri, kita dapat memperoleh sukacita, damai sejahtera, dan pengharapan yang besar. Orang-orang Kristen seharusnya tidak dikenal karena keputusasaan mereka, tetapi karena pengharapan mereka (1 Petrus 3:15).
Keputusasaan, meskipun merupakan kondisi yang biasa dan betul-betul merupakan wabah rohani, seharusnya bukan hal normal, dan ini tidak sehat. Orang-orang Kristen seharusnya tidak menjadi orang-orang yang berputus asa karena kita adalah orang-orang yang dibangun di atas Kristus, Batu Karang yang teguh. Hidup kita tidak dibangun di atas pasir yang dapat hanyut. Oleh karena itu, kita bukanlah orang-orang yang dapat ditenggelamkan, kecuali kita, seperti Petrus, lebih memilih melihat gelombang daripada Dia yang dapat berkata pada gelombang dan memerintahkan kepadanya apa yang harus dilakukan. Kita dapat berjalan di atas air secara rohani oleh iman, dan iblislah satu-satunya pihak yang harus putus asa. Kitab Suci mengatakan bahwa waktunya sudah singkat untuk melampiaskan malapetaka (Wahyu 12:12), tetapi kita memiliki kekekalan untuk dihidupi bersama Yesus. Keputusasaan seharusnya tidak mencirikan kehidupan kita, melainkan damai sejahtera yang dapat melampaui segala pengetahuan, yang seharusnya memelihara hati dan pikiran kita di dalam Kristus Yesus (Filipi 4:6-7). Ia sendiri yang dapat menjaga kita dalam damai sejahtera yang sempurna, tetapi kita harus memercayai-Nya bahwa Ia akan melakukannya untuk kita. Kemudian ketika iblis menyerang iman kita, kita harus bersandar kepada Allah kita yang setia. Allah lebih besar daripada iblis, dan Ia tidak pernah putus asa. Ia adalah tempat perlindungan kita (Mazmur 61:4) dan perisai kita (Mazmur 18:30), dan di dalam naungan-Nya (Mazmur 91:1) kita berlindung. Anak-anak Allah tidak perlu putus asa karena Bapa kita tidak pernah putus asa. (t/JW)
Diterjemahkan dari:
Nama situs | : | Relevant Bible Teaching |
Alamat URL | : | http://www.relevantbibleteaching.com/site/cpage.asp?cpage_id=140019694&sec_id=140001239 |
Judul asli artikel | : | The Antidote to Quiet Desperation |
Penulis | : | Tidak dicantumkan |
Tanggal akses | : | 8 April 2014 |