Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I
Penghargaan Diri Anak: Atas Dasar Apa?
Suatu hari Santana menerima buku rapor di sekolahnya. Setelah ibu guru memberikan kepadanya, anak perempuan berusia 9 tahun itu menyimak bahwa peringkat akademisnya bukan di nomor satu melainkan di nomor tiga. Teman sebangkunyalah, anak laki-laki mungil, yang meraih peringkat pertama. Dalam hati Santana, segera muncul perasaan kecewa.
Takut dimarahi oleh ayahnya, ia kemudian menelepon ibunya, mengatakan bahwa ia malas pulang. "Saya hanya dapat peringkat tiga, nanti papa marah," demikian katanya kepada sang ibu. Setelah dengan nada lembut ibunya membujuk, gadis kecil yang duduk di bangku kelas tiga SD itu pun akhirnya pulang ke rumah.
Menarik sekali mendengar kisah itu karena anak usia SD telah bergumul dengan masalah penerimaan dan penghargaan diri. Ternyata si anak meletakkan penghargaan dirinya atas dasar prestasi akademisnya, pada peringkat kelas terdepan yang diperolehnya. Ia telah belajar keras untuk mewujudkan impian itu, tetapi gagal. Menurut pengakuannya, salah satu orang tuanya mendesak dirinya untuk selalu menjadi juara kelas. Kalau tidak bisa, ia tidak diberi hadiah sebagai tanda penghargaan. Ketika ditanya mengapa ia kecewa terhadap dirinya, Santana menjawab, "Papa pernah bilang, kalau tidak berhasil menjadi juara kelas, ia bukan anak kesayangan papa!"
Kebutuhan Anak: Dihargai
Menurut John Drescher dalam "Tujuh Kebutuhan Anak" (BPK, 1992), rasa berarti, rasa aman, rasa diterima, dicintai, dan dipuji merupakan kebutuhan dasar anak. Anak ingin dihargai atas keberadaan dirinya, pemikiran, dan perasaannya serta prestasi yang dicapainya. Hal itu penting untuk memotivasi dirinya melakukan tugas-tugas secara lebih berkualitas. Jika anak belum berhasil mewujudkan prestasi sebagaimana diharapkan orang tua, ia membutuhkan penerimaan dan rasa aman. Ia memerlukan kesempatan kedua untuk berusaha mencapai yang baik.
Hal serupa ditegaskan oleh psikolog Kristen, Bruce Narramore dalam "Mengapa Anak-Anak Berperilaku Buruk" (Kalam Hidup). Narramore mengemukakan anak akan bersikap dan berperilaku buruk seperti memberontak, masa bodoh, karena upayanya untuk mendapatkan perhatian tidak terjawab. Selain itu, anak melawan atau menarik diri sebab isi hati dan pendapatnya tidak pernah didengar apalagi dihargai orang tua. Anak akan merasa bosan dan menciptakan masalah sebab hanya dijadikan sebagai penonton dalam kegiatan menarik yang dilihatnya tengah dikerjakan oleh orang tua.
Cara Buruk Menghargai Anak
Ada orang tua memenuhi kebutuhan penghargaan diri anak dengan cara yang keliru bahkan buruk. Sebagai contoh dan yang paling kerap terjadi adalah orang tua menyatakan penghargaan kepada anaknya atas dasar fisik seperti karena ia cantik atau tampan. Tidak jarang orang tua berkata kepada putrinya, "Kamu anak cantik tidak seperti temanmu." "Kamu memang tampan, tidak seperti kakakmu." Pujian semacam ini mengundang bahaya. Hal itu dapat menumbuhkan sikap gemar memamerkan penampilan dirinya guna menarik perhatian dan sanjungan orang lain.
Ada pula anak yang dihargai orang tua karena pendapatnya cemerlang. Jika tidak demikian, ia dianggap sepi bahkan dikatakan bodoh. "Ceritamu mengarang saja, tidak ada benarnya!" Demikian misalnya respons orang tua mendengar khayalan anaknya. Ucapan semacam itu hanya menumbuhkan perasaan direndahkan dan apa yang dirasakan dan dipikirkan si anak dianggap tidak layak untuk dikemukakan. Secara perlahan anak memilih menjadi pendiam karena takut dilecehkan.
Tidak sedikit orang tua menghargai dan memuji anak kalau menjadi juara kelas. Jika tidak demikian, anak itu mendapat julukan seperti "manusia pemalas", "idiot", "bodoh", dan "tolol". Cara demikian hanya membuat anak terpaksa menjadi juara kelas, tetapi tidak menikmati proses belajar yang dialaminya. Baginya, yang penting mencapai nilai terbaik supaya tidak dimarahi oleh ayah atau ibu. Ia mengikuti kegiatan belajar tambahan hanya untuk mewujudkan keinginan orang tua, padahal emosinya bisa jadi dilanda kelelahan dan stres.
Bagaimana Semestinya?
Bangga atas prestasi akademik dan kecantikan fisik anak tentu saja tidak salah. Namun, kurang tepat bila orang tua memberi tekanan berlebihan kepada landasan itu. Sebagai orang Kristen, tindakan yang jitu bila orang tua memberitahukan kepada anak bahwa ia berharga karena ia adalah ciptaan Allah yang membawa rupa dan gambar-Nya (Kejadian 1:26-27). Anak patut belajar bahwa semua orang juga berharga di hadapan Tuhan.
Orang tua perlu mengajari anak memahami bahwa ia dikasihi oleh Allah sebab Yesus Kristus bersedia mati di kayu salib dan menebus dosanya (Yohanes 3:16, 1 Yohanes 2:2, 4:8-10). Orang tua juga harus mengajari anak menyadari dan mensyukuri bahwa Allah mengutus Roh Kudus mendiami dirinya sehingga ia tidak sendirian (Roma 8:26; 1 Yohanes 4:4).
Sangatlah bernilai bagi anak bila orang tua bersedia mendengarkan perasaan dan pendapat si anak walau kedengaran kurang realistis dan logis. Orang tua patut memahami bahwa cara berpikir anak imaginatif, intuitif, dan konkret; berbeda dengan orang dewasa yang realistis. Anak akan selalu merasa bangga kepada ayah dan ibu yang bersedia meluangkan waktu mendengar keluhan, kritik, dan sarannya.
Akhirnya, orang tua patut mengajari anak menerima kekurangan dirinya dengan pengucapan syukur kepada Allah (1 Tesalonika 5:19). Kalau anak berprestasi, nyatakan penghargaan karena hal itu merupakan berkat dari Tuhan yang memberi anak kemampuan dan kepintaran melalui giatnya ia belajar. Tindakan memotivasi dan mendampingi anak untuk berusaha dengan baik dalam kegiatan belajar atau melakukan apa pun yang menjadi tanggung jawabnya akan membangun perasaan berarti.
Diambil dari:
Nama majalah | : | BAHANA |
Judul majalah | : | April 2012 Vol. 252 |
Penulis artikel | : | B.S. Sidjabat |
Halaman | : | 14 -- 15 |