Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I

Peran Konseling Awam: Sakit Parah/Terminal dan Depresi

Reaksi alami bagi individu-individu dengan sakit tak tersembuhkan adalah depresi. Para ahli psikologi umumnya percaya bahwa depresi juga merupakan salah satu mekanisme pertahanan tubuh yang dipilih individu di tengah posisi dan kondisi kritis yang tak terhindarkan. Dengan mekanisme ini individu tersebut masih dapat memiliki "sense of life - perasaan hidup," sehingga ia dapat mengeluh, menangis, marah, meratap dan mempunyai setitik pengharapan. Ia memilih posisi "cry for help/ketidakberdayaan," yang mengundang belas kasihan dari dirinya sendiri, sesama manusia, dan dari Allah. Tanpa mekanisme pertahanan tubuh ini, individu hanya mempunyai satu kemungkinan yaitu bunuh diri. Tidak heran jikalau peran konselor dalam kasus-kasus depresi jenis ini adalah listening dan empathy/mendengar dan ikut merasakan penderitaannya. Ia tidak membutuhkan nasihat dan ia tahu bahwa konselor tidak dapat menyembuhkan penyakitnya. Oleh sebab itu, yang ia butuhkan adalah perasaan dimengerti dan ditemani oleh seorang yang ia harapkan, rela mendengar seluruh isi hati dan perasaannya.

Kasus: ibu Melati (bukan nama sebenarnya) pernah sungguh-sungguh bersyukur kepada Tuhan. Dua tahun yang lalu ia menjalani operasi kanker payudara dengan sukses. Setelah itu kemana-mana ia memberikan kesaksian dan hidupnya banyak diisi dengan kegiatan-kegiatan rohani, bahkan ia mempersembahkan dirinya untuk menjadi hamba Tuhan. Sayang sekali kebahagiaannya berakhir tiga bulan yang lalu. Ia harus menjalani operasi lagi dan dokter menemukan penyebaran kanker ke seluruh tubuhnya. Kondisinya dari hari ke hari semakin memburuk. Setiap beberapa jam ia harus mendapatkan suntikan untuk mengurangi rasa sakitnya. Dokter sudah mengatakan bahwa pengobatannya sudah maksimal.

Di tengah kondisi yang sangat menyedihkan ini, ibu Melati sering kali minta didoakan supaya Tuhan mengambil dirinya lebih cepat. Meskipun demikian, ia juga meminta teman-teman dari persekutuan lain untuk mencarikan hamba-hamba Tuhan yang dapat memanjatkan doa kesembuhan.

Menurut suaminya, ibu Melati sangat mengkuatirkan anak tunggalnya yang sedang menginjak remaja. Di samping itu, ia sering kali menangis dan tidak mau diajak bicara. Ia merasa tugas hidupnya belum selesai, mengapa Tuhan membiarkan dia menderita sakit separah ini.

Nah, dalam menghadapi ibu Melati dengan kondisi seperti ini, beberapa prinsip di bawah ini mungkin perlu mendapat perhatian yang khusus:

Kenali tipe dan kondisi depresinva.

Ada beberapa macam jenis depresi. Secara garis besar, konselor dapat menilai, yaitu jikalau sebelum ia sakit memang sudah ada gejala-gejala depresi (mis: sulit tidur, lelah, merasa tidak berguna, sulit konsentrasi, dan putus asa), ada kemungkinan dia memang menderita "Major Depression Disorder". Akan tetapi, kalau gejala depresinya baru muncul setelah ia menderita sakit, kemungkinan ia hanyalah penderita "Adjustment Disorder with Mixed Anxiety and Depressive Mood". Jenis depresi yang seperti ini biasanya dialami individu oleh karena adanya stressor/pemicu seperti kematian orang yang dicintai, kegagalan cinta, kehancuran usaha, sakit terminal, dsb.. Konselor dapat mengenali bagaimana dan berapa lama gejala-gejala depresinya dialami oleh individu tersebut. Kalau durasinya kurang dari 6 bulan, kondisinya dapat digolongkan akut. Akan tetapi, kalau lebih dari 6 bulan, kondisinya termasuk kronis.

Meskipun demikian konselor harus sadar, apa pun jenis depresinya, konselor jangan coba-coba menanganinya sendiri. Konselor harus memakai referral seorang psikiater supaya dapat mengatasi gejala depresinya. Baru, setelah individu tersebut "membaik (gejala-gejala depresinya mulai hilang)" konselor boleh melayani dia dengan pelayanan konselingnya. Selama gejala depresinya masih ada, tugas konselor hanyalah "available" hadir di sisinya pada saat dibutuhkan. Konselor tidak seharusnya memberikan nasihat apa-apa kecuali hanya "empathic listening" (menjadi pendengar segala keluhannya dengan jiwa yang empati yaitu menempatkan diri di tempatnya dan belajar ikut merasakan apa yang dirasakannya).

Ibu Melati membutuhkan orang-orang yang mengasihinya yang bisa menangis bersamanya, yang sabar tanpa memotong, mendengar segala sesuatu yang dikeluhkannya. Meskipun demikian, konselor harus waspada, apakah kehadirannya dikehendaki oleh ibu Melati. Di sinilah seni dan skill hadir bersama-sama. Bagaimana konselor mulai membangun rapport sehingga komunikasi dapat terjalin dengan baik, merupakan seni pendekatan yang sering kali membutuhkan perpaduan yang pas antara kemampuan berkomunikasi, keramah-tamahan, ketulusan, dan kewibawaan. Kemudian setelah itu dibutuhkan skill pelayanan konseling itu sendiri, yang ... dalam konteks seperti ini, sangat tinggi. Dari kesaksian dan pengakuan banyak konselor professional, pelayanan konseling pada klien penderita terminal illness (apalagi ditambah dengan gejala depresi) adalah salah satu pelayanan konseling yang paling sulit. Sering kali untuk menemukan kata yang tepat dalam konteks ini begitu sulitnya sampai banyak konselor bengong, bingung, kikuk tidak tahu mesti mengatakan apa. Kadang-kadang empati begitu cepat berubah menjadi simpati sehingga konselor hanyut dan emotional. Itulah sebabnya, konselor harus terus-menerus berdoa minta ketenangan, pikiran yang jernih, pertolongan, dan bijaksana surgawi.

Jangan "Playing God".

Salah satu godaan terbesar dari konselor untuk klien terminal illness adalah "playing God." Sering kali konselor merasakan seolah-olah kehadirannya sebagai konselor tidak mempunyai faedah apa-apa jikalau ia tidak dapat melakukan sesuatu yang dapat mengubah kondisi dari klien.

Memang klien depresi oleh karena faktor pencetusnya terminal illness, tetapi tugas konselor bukanlah tugas seorang dokter yang berupaya mengatasi sumber masalah tersebut yaitu sakit yang dideritanya. Akan tetapi, kita harus waspada bahwa fokus pada menyembuhkan sakit-penyakit klien justru melemahkan perannya sebagai konselor yang Tuhan sudah anugerahkan. Suatu peran yang kemungkinan besar justru jauh lebih penting daripada kesembuhan ajaib dari klien. Mengapa demikian?

Pertama, karena melalui konseling inilah klien menemukan kesadaran dirinya, yang membuat klien dapat berdiri sebagai manusia yang dewasa sadar dan utuh di hadapan Tuhan sehingga dapat meresponi realita yang dihadapinya dengan iman yang benar. Sembilan puluh sembilan persen penderita terminal illness akan segera menghadapi kematian. Jangan sampai mereka menghadapi kematian dalam kondisi pikiran dan emosi yang terjerat dengan hal-hal yang sekunder yaitu keinginan semata-mata untuk mengalami kesembuhan ajaib. Meskipun pengharapan sembuh itu penting sekali, tetapi jangan sampai klien menghadapi realita kematian dengan iman rapuh dan tidak siap.

Kedua, karena melalui konseling, klien dapat bergumul dengan Tuhan secara sadar dan dengan bekal yang semakin baik. Di dalam Tuhan tidak pernah ada realita yang kebetulan. Kalau Tuhan mengizinkan, pasti ada maksud-Nya. Oleh sebab itu, coba bayangkan jikalau teologia klien begitu kacau dan kekanak-kanakan. Seluruh rencana Allah (yang sudah mengizinkan dirinya masuk dalam penderitaan itu) akan terhambat oleh karena klien buta rohani dan tidak pernah mengerti maksud dan rencana Allah untuk dirinya. Itulah sebabnya, banyak orang beriman penderita terminal illness meninggal dengan kesaksian yang minimal. Itu pun terjadi karena belas kasihan dan intervensi dari Tuhan sehingga mereka masih bisa menyaksikan sesuatu yang baik yaitu menghadapi maut dengan menyerah dan pasrah sehingga meninggal dengan tenang. Akan tetapi, jikalau kita memahami betul-betul cara kerja Allah, kita akan mengerti bahwa itu sebenarnya bukan kemenangan irnan yang dewasa. Dan sebabnya, sekali lagi, antara lain oleh karena kegagalan pelayanan konseling, di mana individu-individu dengan terminal illness ini sebenarnya dapat memasuki masa-masa yang begitu kaya dengan "anugerah rohani" (Fil 3:10), tetapi tidak dapat menangkap kekayaan rohani tersebut.

Konseling merupakan tangan Allah yang terulur untuk mereka yang ada dalam kegelapan dan ketidakberdayaan. Marilah kita wujudkan pelayanan konseling sebagai kehadiran Roh Penghibur dan Roh Pendamping yang menyertai perjalanan pergumulan orang-orang percaya mencapai kernenangan imannya.

Sumber
Halaman: 
1 - 2
Judul Artikel: 
Parakaleo, Juli September 2006, Vol. XIII, No. 3
Penerbit: 
Departemen Konseling STTRII, Jakarta 2006
Kota: 
Jakarta
Editor: 
Paul Gunadi Ph.D., Yakub B.Susabda Ph.D., Esther Susabda Ph.D.
Tahun: 
2006

Komentar