Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I

Peran Konselor

Edisi C3I: e-Konsel 325 - Peran Konselor

Konseling, khususnya konseling pastoral, terkadang menjadi tidak efektif karena konselor tidak memiliki gambaran yang jelas tentang peran dan tanggung jawabnya. Berdasarkan saran dari pendeta dan sekaligus psikolog, Maurice Wagner, kita dapat mengidentifikasi beberapa area yang berpotensi menimbulkan kebingungan peran.

1. Berkunjung ketimbang berkonseling. Berkunjung adalah kegiatan bersahabat yang melibatkan unsur saling berbagi yang menguntungkan. Konseling adalah percakapan yang berpusat pada masalah dan terarah pada tujuan, yang berfokus terutama pada kebutuhan seseorang:konseli. Setiap konseling memerlukan kunjungan secara berkala,tetapi ketika kunjungan diperpanjang dan diutamakan, efektivitas konseling menjadi berkurang.

2. Terburu-buru ketimbang tenang dan berhati-hati. Karena sibuk, orang-orang yang terarah pada tujuan sering kali ingin mempercepat proses konseling untuk mencapai penyelesaian yang cepat dan tepat. Para konselor seharusnya tidak menghabiskan waktu, ini memang benar. Namun, konseling tidak boleh terburu-buru, itu juga benar. "Kebanyakan keberhasilan konselor terletak pada perhatiannya yang tenang dan penuh pertimbangan terhadap apa yang konseli katakan." Ketika langkah (yang diambil) tidak terburu-buru dan tenang, konselor cenderung tidak membuat penilaian yang terburu-buru, dan konseli sepertinya lebih merasakan dukungan dan perhatian yang sungguh-sungguh dari konselor.

Konselor

Penelitian akhir-akhir ini telah menunjukkan efektivitas pendekatan yang singkat dan dalam jangka pendek terhadap konseling. Konseling jenis ini dapat dipersingkat karena membatasi fokusnya pada area-area permasalahan spesifik ketimbang berkutat pada beberapa masalah. Ketika seorang konselor berusaha untuk bertindak terlalu banyak dalam satu pertemuan (sesi), konseli akan merasa terlalu terbeban dan sering kali menjadi bingung. Karena kemungkinan benar bahwa para konseli hanya dapat menerima satu atau dua pengertian utama pada setiap sesi, maka konseling harus dilakukan selangkah demi selangkah dan tidak terburu-buru. Atau, ini bisa berarti konseling harus dipersingkat, tetapi dengan frekuensi pertemuan yang lebih banyak.

3. Tidak dihargai ketimbang bersimpatik. Beberapa konselor dengan cepat mengategorikan orang (misalnya, mereka mungkin menggambarkan seorang konseli sebagai orang "Kristen duniawi", "jomlo bahagia", atau "bertipe plegmatis") dan kemudian menolak seseorang dengan penilaian yang terburu-buru, konfrontasi yang cepat, atau nasihat yang kaku. Tak seorang pun suka diperlakukan dengan tidak terhormat seperti itu. Hanya ada sedikit orang yang ditolong oleh para konselor yang gagal mendengarkan dengan penuh simpatik.

4. Mempertimbangkan ketimbang berprasangka. Ada suatu waktu ketika para konseli harus dikonfrontasi tentang dosa atau kebiasaan "aneh" dalam kehidupan mereka, tetapi hal ini tidak sama dengan menghukum atau mengkhotbahi orang-orang di ruang konseling. Ketika para konseli merasa diserang, mereka akan membela diri (sering kali dengan marah), menerima nasib apa adanya, atau pergi bersama konselor untuk sementara waktu dan dengan geram. Tak satu pun dari reaksi ini yang memberikan kontribusi pada pertumbuhan konseli, dan semua ini merupakan respons terhadap teknik konseling yang sering kali mencerminkan kegelisahan, ketidakpastian, atau kebutuhan untuk mengendalikan dalam diri konselor sendiri.

Yesus digambarkan sebagai Pribadi yang "tergerak oleh belas kasihan". Ia tidak pernah mengabaikan dosa, namun Ia memahami para pendosa dan selalu menunjukkan kebaikan dan hormat kepada orang-orang yang mau belajar, bertobat, dan mengubah kebiasaan mereka, seperti wanita Samaria di dekat sumur.

5. Memberi instruksi ketimbang menafsirkan. Ini merupakan kesalahan yang umum dan seperti yang telah kita lihat, mungkin mencerminkan kebutuhan bawah sadar konselor untuk mendominasi dan mengontrol. Ketika para konseli diberi tahu apa yang harus dilakukan, mereka bingung membandingkan antara pendapat konselor Kristen dengan kehendak Allah, merasa bersalah dan merasa tidak cakap jika tidak mengikuti nasihat, dan jarang belajar bagaimana mencapai kedewasaan secara rohani dan secara emosi sampai pada titik tertentu sehingga mereka dapat membuat keputusan tanpa bantuan konselor. Konselor dan konseli harus bekerja sama sebagai satu tim. Konselor berperan sebagai seorang guru/pelatih yang tujuan akhirnya adalah menarik diri dari tempat bermain.

6. Terlalu terlibat secara emosi ketimbang tetap objektif. Ada sebuah garis tipis antara peduli dan terlalu terlibat untuk membantu. Hal ini benar, khususnya ketika seorang konseli benar-benar cemas, bingung, atau menghadapi masalah yang mirip dengan pergumulan yang dimiliki konselor.

Keterlibatan yang besar secara emosi dapat membuat konselor kehilangan objektivitas dan kemudian efektivitas konseling akan berkurang. Sampai tahap tertentu, orang-orang yang penuh belas kasihan tidak mampu menghindari keterlibatan emosional, namun konselor Kristen dapat melawan kecenderungan ini dengan memandang konseling sebagai suatu relasi untuk menolong secara profesional, yang tentunya harus ada batasan terhadap lamanya kegiatan atau pertemuan, jumlah topik percakapan, atau jadwal gangguan/interupsi. Pembatasan ini tidak didesain untuk mengesampingkan konselor. Sebaliknya, pembatasan tersebut dimaksudkan agar konselor tetap objektif dalam membantu (konseli).

7. Kurang sabar ketimbang realistis. Banyak konselor menjadi berkecil hati dan kadang-kadang cemas ketika mereka tidak segera melihat kemajuan yang positif dalam diri konseli mereka. Masalah biasanya membutuhkan waktu yang lama untuk berkembang, dan tidak realistis untuk beranggapan bahwa masalah akan menghilang dengan cepat dan selalu menjadi jawaban atas intervensi konselor. Perubahan instan bisa terjadi, tetapi jarang. Sering kali, perlu beberapa waktu bagi konseli untuk meninggalkan cara berpikir atau bertindak mereka yang lama dan menggantinya dengan sesuatu yang baru dan lebih baik.

8. Dibuat-buat ketimbang autentik (asli). Para konselor terkadang membebani diri mereka sendiri dengan keyakinan bahwa mereka harus sempurna, harus selalu tahu hal yang tepat untuk dikatakan atau dilakukan, tidak boleh membuat kesalahan, harus selalu memiliki pengetahuan dan keterampilan supaya dapat mengatasi segala macam situasi konseling. Konselor semacam ini sering kali enggan untuk mengakui kekurangan atau kesenjangan pengetahuan mereka. Mereka ingin menjadi profesional dan berhasil sehingga mereka kelihatan tidak apa adanya (dibuat-buat), menyendiri, dan terkadang merasa angkuh. Memang sulit bahkan mungkin mustahil bagi konseli untuk merasa tenang dan bercerita secara jujur dengan konselor yang terkesan sempurna, seseorang yang "memiliki segalanya".

Dalam sejarah dunia ini, hanya ada satu Konselor yang telah mencapai kesempurnaan, tidak pernah membuat kesalahan, dan selalu mengatakan hal-hal yang benar. Kita yang menjadi pengikut-Nya harus tenang dan mengakui bahwa kita semua membuat kesalahan. Berhentilah bersembunyi di belakang peran profesional (sesuai profesi) dan percayalah bahwa Dia akan memberi kita kata-kata dan hikmat untuk memberikan konseling secara efektif.

9. Membela diri ketimbang bersikap empati. Sering kali, para konselor merasa terancam dalam konseling. Kemampuan untuk mendengarkan secara empati terganggu ketika kita dikritik, sadar bahwa kita tidak menolong, merasa bersalah, atau takut dilukai oleh konseli.

Ketika ancaman seperti itu muncul, Anda perlu bertanya, "Mengapa?" Jika Anda tidak tahu jawabannya, cobalah untuk mendiskusikannya dengan seorang teman atau sesama konselor. Semakin kita tahu dan menerima diri sendiri, semakin sedikit kemungkinan kita merasa terancam oleh para konseli.

Konselor harus terus waspada jika ia ingin menghindari kekerasan semacam ini. Sebagai penolong Kristen, kita menghormati Allah dengan melakukan tugas kita sebaik mungkin, dengan meminta maaf apabila kita membuat kesalahan, dan menggunakan kesalahan kita sebagai kesempatan untuk belajar dan sebagai batu loncatan menuju peningkatan.

Yesus digambarkan sebagai Pribadi yang "tergerak oleh belas kasihan".
  1. Facebook
  2. Twitter
  3. WhatsApp
  4. Telegram

Saat kita tergelincir ke dalam peran konseling yang tidak sehat, kita harus menata ulang hubungan, bahkan pada saat yang sama beritahukanlah kepada konseli bahwa kita ingin berubah (misalnya dengan menentukan jam-jam konseling yang pasti, hanya menerima telepon konseli pada jam konseling yang disepakati, atau tidak terlalu mengatur). Penyusunan ulang ini selalu terasa sulit karena hal itu mencakup pengambilan kembali sesuatu yang telah diberikan. Pilihan lainnya adalah kebingungan peran yang semakin jauh dan konseling yang tidak efektif.

Kesalahan dan kebingungan peran merupakan tragedi yang tidak dapat dibatalkan. Hubungan baik dengan para konseli dapat menutupi banyak kesalahan konseling, namun kita tidak boleh menggunakannya sebagai alasan untuk mengadakan konseling yang asal-asalan dan tidak kompeten. "Konsep paling penting yang harus diingat adalah bahwa Kristus-lah Konselor yang sesungguhnya; kita hanyalah agen-Nya untuk melakukan tugas-Nya, mewakili Dia. Roh Kudus-Nya adalah Penghibur dan Pembimbing kita, dan Dia akan menuntun kita untuk melepaskan orang-orang yang dibawa-Nya kepada kita untuk ditolong." (t/Setya)

Diterjemahkan dari:
Judul buku : Christian Counseling: A Comprehensive Guide
Judul bab : The Counselor and Counseling
Judul asli artikel : The Counselor's Role
Penulis : Gary R. Collins, Ph.D.
Penerbit : Word Publishing, Amerika Serikat 1988
Halaman : 26 -- 29

Komentar