Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I

Psikologi dan Kekristenan

Edisi C3I: e-Konsel 341 - Psikologi dan Konseling Kristen

Diringkas oleh: S. Setyawati

Ilmu Psikologi menganut keragaman subjek dan minat, serta menyediakan pengetahuan praktis bagi kehidupan sehari-hari. Namun, kita sering melihat munculnya ketegangan akibat informasi yang dimiliki Psikologi dan Alkitab. Padahal, keduanya menyediakan informasi tentang cara hidup sehari-hari dan bagaimana seharusnya manusia berpikir dan berperilaku.

Beberapa psikolog memaparkan tentang bagaimana mempelajari ilmu ini, bagaimana memanfaatkannya dalam kehidupan sehari-hari, dan di mana ilmu ini dapat ditempatkan. Sayangnya, banyak psikolog tidak mendasarkan ilmunya pada Alkitab. Karena itu, ada orang Kristen yang menerima dan yang menolak hasil riset psikologi dan penemuan-penemuan psikolog. Inilah yang menimbulkan konflik antara teologi dan psikologi. Akibatnya, masyarakat Kristen sering kali curiga, bahkan kejam terhadap psikologi dan ilmu-ilmu sosial. Terkadang, hal ini dibenarkan karena tuntutan-tuntutan dan penafsiran-penafsiran yang dilakukan para ilmuwan sosial terlalu berani. Namun, ada juga orang Kristen yang ekstrem, yang mengambil sudut pandang yang berseberangan dengan apa yang telah dipaparkan oleh ilmu pengetahuan, dan membangun benteng pertahanan hak asasi manusia bagi dirinya sendiri dengan sikap yang merendahkan martabat orang lain.

Hubungan Psikologi dan Teologi

Carter dan Narramore (1979), lewat adaptasi analisis sejarah yang dikembangkan oleh Niebuhr (1951), menyatakan ada 4 cara untuk menghubungkan psikologi dan teologi.

  1. Kekristenan VS Psikologi

  2. Sejumlah tokoh Kristen mengatakan bahwa psikologi merupakan suatu persekongkolan antara zaman baru Iblis dan pesaing kekristenan. Jay Adams, seorang konselor Kristen terkenal, melakukan serangan-serangan yang mirip dengan psikologi konvensional pada awal tahun 1970-an. Ia mengomentari karya Dobson, "Dare to Discipline" (1970), dengan mengatakan bahwa "garis besar tingkah lakunya ditulis dalam istilah-istilah kekristenan, tetapi ia memperkenalkan sistem tak bertuhan dalam istilah-istilah Kristen. Pendekatan Dobson dingin, tak bertuhan, dan berpusat pada manipulasi" (1973, 82). Pihak yang memihak kekristenan pada umumnya tidak melihat nilai psikologi sehingga mereka mengurangi masalah hanya dalam arena rohani. Benner (1988, 44) menyatakan bahwa pengurangan semacam ini membuat semua psikoterapi bertentangan dengan tujuan Allah.

  3. Psikologi VS Kekristenan

  4. Psikologi dianggap memiliki solusi-solusi untuk masalah yang ada, sementara kekristenan dianggap tidak penting dan bahkan merusak kehidupan yang sehat. Freud menekankan bahwa kekristenan bersifat patologis. Watson dan Fromm, termasuk dalam kategori ini (Benner 1988, 47-48). Psikologi vs kekristenan juga bersifat pengurangan. Keduanya sama-sama terlalu menyederhanakan masalah dengan mengurangi segala sesuatu dengan satu sudut pandang saja. Contoh kontemporer tentang Psikologi vs kekristenan dapat disimak dalam "Neuropsychological Bases of God Beliefs" (Parsinger, 1987).

    Beberapa psikolog menggunakan psikologi untuk melawan kedudukan kekristenan. Mereka mengajak umat Kristen berhenti menggunakan agama sebagai alat bantu, dan mulai mengembangkan kekuatan batin. Mereka menyarankan agar umat berhenti membaca Alkitab, mulai membaca literatur tentang pertolongan mandiri (self-help), dan berhenti mengikuti kebaktian gereja. Itulah sebabnya, kekristenan menolak perspektif psikologi.

    Walaupun sebagian konselor menentang kekristenan, orang yang terlibat dalam pelayanan Kristen perlu menyelidiki para psikolog lokal yang mempertahankan sikap-sikap kekristenan dan mengenal kekhususan-kekhususan mereka. Para pendeta rumah sakit lokal dan perkumpulan kesehatan mental lokal bisa menjadi sumber informasi yang berguna. Selain mereka, mengenal seseorang atau beberapa orang yang dapat dipercaya dan berkompeten dalam konseling juga bisa menjadi cara yang berguna.

  5. Kekristenan dan Psikologi

  6. Kekristenan dan psikologi menjadi ilmu yang terpisah, tetapi sejajar untuk menemukan kebenaran. Benner (1988, 41) menekankan sifat dualistis pemisahan ini berlawanan dengan keseluruhan Alkitab. Alkitab mengajarkan bahwa tidak ada kelompok orang yang terbagi-bagi, secara keseluruhan semua berfungsi. Minirth dan Tournier memegang pandangan ini.

  7. Psikologi berintegrasi dengan kekristenan. Seorang pribadi secara mendasar dipandang sebagai suatu kesatuan (Benner, 1988, 41). Namun, secara analisis, ia dapat dijelaskan dari beberapa perspektif sekaligus (MacKay 1979, 30). Beberapa orang Kristen mengadopsi teologi monoteisme yang berhubungan dengan posisi ini, dengan menyangkal kemungkinan tentang wujud diri terlepas dari tubuh setelah kematian (Myers dan Jeeves, 1987, 24-30). Akan tetapi, kesimpulan ini tidak harus sama dengan holisme Kristen. Carter dan Narramore setuju dengan pandangan ini. Farnsworth dan Collins telah mengembangkan perspektif tersebut (Farnsworth, 1985: Collins, 1981; Kirwan, 1984). Risiko pandangan ini, yaitu adanya bahaya mengadopsi model ini tanpa berpikir kritis karena integrasi dapat dengan mudah menjadi sinkretisme, campuran antara kafir dan kekristenan untuk menghasilkan Kristen yang di bawah standar dan menoleransi iman. Maka dari itu, lebih baik mengadopsi pendekatan ekletis, yaitu mengambil bagian yang terbaik dari keempat cara di atas. Meski demikian, model pemisahan juga bernilai. Perbedaan pertanyaan dan pendekatan untuk menjawab membuat orang kreatif asalkan integritas kekristenan dan psikologi dipertahankan. Akhirnya, ada nilai yang jelas dalam pendekatan holistis model integrasi. Apalagi, pendekatan ini cenderung mendorong penyuburan silang terhadap gagasan-gagasan, baik dari psikologi maupun kekristenan, yang meningkatkan kreativitas dan produktivitas intelektual.

  8. Setiap cara tentu memiliki kelemahan dan kelebihan. Yang pertama menekankan pentingnya Alkitab dan Allah, sedangkan yang kedua menekankan pentingnya keterbukaan terhadap investigasi psikologi, untuk tidak menggunakan alasan yang tampak rasional terhadap perilaku Kristen. Sebagai orang Kristen, kita harus memakai konsep-konsep psikologi yang bermanfaat dan cocok dengan Alkitab, serta meninggalkan konsep-konsep yang bertentangan dengan iman kita.

Sumber-Sumber Data

Ketika kita mencermati hubungan antara psikologi dan kekristenan, kita harus mengerti bahwa sumber utama pengetahuan adalah Allah. Pengetahuan akan Allah diberikan melalui wahyu khusus (Alkitab) dan wahyu umum (penciptaan Allah). Alkitab diwahyukan oleh Allah dan tanpa salah, sedangkan alam/manusia sudah jatuh dalam dosa dan tidak sempurna (Ackeman, 1988). Metode analisis yang digunakan untuk mempelajari Alkitab adalah Hermeneutika dan untuk mempelajari alam/manusia dipelajari adalah metode ilmiah. Kita harus mempelajari Alkitab dengan mempertimbangkan konteks kultural, historis, bahasa, bentuk-bentuk sastra, dsb..(1) Dan, mempertimbangkan metode ilmiah dalam mempelajari alam.(2) Teori-teori psikologi dan konstruksi-konstruksi teologi keduanya bersifat interpretatif, tentatif, dan menyimpulkan data terbaik dalam masing-masing wilayah. Kesimpulan yang dihasilkan juga sama, saling mengisi, interaktif, dan melengkapi perbedaan-perbedaan di antara keduanya. Prinsip yang menuntun ini merupakan produk-produk pewahyuan Allah dan keduanya menggambarkan kemanusiaan. Seharusnya, konflik tidak terjadi karena keduanya diturunkan dari pewahyuan Allah. Jika terjadi konflik, itu karena adanya kesalahan tafsiran Alkitab, penggunaan metode ilmiah, atau keduanya. Semua kebenaran adalah kebenaran Allah, maka kita harus melakukan yang terbaik untuk mengadopsi suatu pendekatan eklektis, yang secara tentatif menerima prinsip-prinsip alkitabiah. Terakhir, kesimpulan-kesimpulan teologis harus diuji dengan menggunakan unsur Alkitab dan wawasan psikologis yang valid.

Sumber-Sumber Ketegangan Antara Psikologi dan Kekristenan

  • Antipati orang-orang Kristen terhadap psikologi. Sikap ini muncul sebagai hasil dari kesukaran dalam mendefinisikan secara tepat di mana psikologi secara disiplin ilmu, mulai dan berakhir. Perbedaan antara psikologi, fisiologi, neurologi, sosiologi, dan filosofi tidak mudah dijelaskan karena psikologi cenderung mencakup pokok bahasan yang luas. Jadi, untuk memfokuskan diri pada titik kontak antara psikologi dan kekristenan itu sangat sukar. Saat keduanya diintegrasikan dan asumsi-asumsi umum yang ada digabungkan, maka implikasi dan asumsi-asumsi yang tidak konsisten dengan Alkitab inilah yang dihasilkan.
  • Tingkat stres yang tinggi. Ketika individu-individu mengalami stres yang tinggi, mereka bisa menunjukkan gejala-gejala depresi (seperti kesedihan, tidak bisa tidur, kehilangan selera makan, dsb.). Namun, ada juga individu yang tertekan, tetapi tidak sampai pada tingkat depresi. Depresi dalam kasus ini merupakan konstruksi teoretis. Konstruksi ini menjadi definisi operasional dan pembentukan model bagi para ilmuwan, yaitu model yang mewakili kerangka mental model konstruksi individual. Sementara itu, teologi memberikan konstruksi teoretis lain untuk menolong kita membangun model tentang penciptaan sehingga kita bisa mengamatinya lebih jauh.
  • Ketidakpercayaan kepada Allah. Banyak ilmuwan sosial yang tidak percaya akan keberadaan dan kuasa Allah.

Evaluasi Psikologi

Pengakuan bahwa Allah dapat memahami kebenaran akan mempermudah kita untuk menerima kebenaran yang ditemukan dalam penciptaan. Hal ini merupakan bagian komitmen kita kepada Allah. Allah adalah sumber utama kebenaran. Karena kebenaran berada di dalam Allah, sebagai ciptaan, kita hanya dapat mengungkapkan ringkasan dari-Nya. Pemahaman atau pengetahuan tentang penciptaan (yaitu, cara kita mengamati penciptaan) merupakan abstraksi tingkat kedua. Ketika kita mengamati penciptaan, kita juga mengamati kebenaran Allah.

Orang Kristen beruntung karena asumsi-asumsi pewahyuan khusus dari Allah dalam Alkitab. Dalam pewahyuan khusus, Allah menunjukkan diri-Nya sendiri, menyatakan pesan-Nya dalam Yesus Kristus, dan menawarkan keselamatan dan pengampunan kepada semua umat, khususnya orang Kristen yang percaya. Alkitab memiliki pengamatan terhadap kebenaran Allah melalui penciptaan dan Alkitab berisi firman Allah untuk membimbing studi manusia tentang penciptaan. Dengan demikian, psikolog Kristen memiliki beberapa keuntungan daripada psikolog sekuler karena orang Kristen mendekati dunia dari sudut pandang kebenaran penciptaan Allah dan memiliki "pegangan", firman Allah, untuk mengevaluasi apa yang diamati dalam penciptaan dan menyaring kebenaran dari kesalahan (Roma 1:19-20). Orang Kristen harus menempatkan puncak iman mereka di dalam Allah, sesuai isi Alkitab. Di lain sisi, penemuan-penemuan kebenaran Allah seperti penemuan pinisilin, meskipun tidak ada dalam Alkitab, masih mewakili kasih karunia Allah terhadap umat manusia. Penemuan para ilmuwan non-Kristen tidak mengubah fakta bahwa penemuan-penemuan itu merupakan teladan kasih karunia, pengampunan, dan kebenaran Allah.

Kesimpulan

Ilmu psikologi tidak akan pernah dapat menjelaskan tujuan dan makna keberadaan manusia. Pertanyaan-pertanyaan keberadaan manusia merupakan pertanyaan-pertanyaan teologis bagi orang Kristen, yang berdasar pada iman dan firman Allah. Idealnya, penjelasan ilmu pengetahuan dan pemahaman orang Kristen tentang Alkitab harus saling mengisi. Kebenaran ilmiah tidak dapat disejajarkan dengan Alkitab. Kita harus memegang Alkitab sebagai firman Allah yang tanpa salah. Dalam disiplin ilmu apa pun, orang Kristen harus secara teguh berakar pada firman Allah. Kita harus membangun suatu filter ilmu pengetahuan dari pewahyuan khusus yang akan mengizinkan kita menguji, apakah model-model ilmiah dan konstruksi-konstruksi teoretis yang dipaparkan para ilmuwan benar-benar cocok dengan penciptaan Allah.

Diringkas dan disunting dari:

Judul asli buku : Introduction to Psychology and Counseling
Judul buku terjemahan : Pengantar Psikologi dan Konseling Kristen (1)
Judul bab : Pengantar Psikologi
Penulis : Paul D. Meier, M. D., dkk.
Penerjemah : Johny The
Penerbit : ANDI, Yogyakarta 2004
Halaman : 12 -- 21

Komentar