Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I

Konflik dalam Keluarga

Edisi C3I: edisi 353 - Konflik dalam Keluarga

Dua pribadi yang berbeda -- suami dan istri, masing-masing memiliki cara hidup yang berbeda. Oleh karena itu, satu sama lain harus beradaptasi. Hal sekecil apa pun bisa menjadi konflik bila masing-masing pribadi tidak bisa menyesuaikan diri.

Konflik dalam keluarga

Faktor penyebab paling umum yang menimbulkan pertengkaran dalam keluarga adalah kesulitan beradaptasi dengan perbedaan. Kita memiliki cara atau gaya hidup tertentu. Nah, sewaktu hidup serumah dengan pasangan kita, berarti kita harus siap untuk beradaptasi. Adaptasi artinya berani memeriksa diri, mengintrospeksi kelemahan masing-masing, dan akhirnya berani untuk mengubah diri. Kecenderungan banyak pasangan yang menikah adalah tidak mencari bantuan terhadap masalahnya, sampai masalah itu berkembang semakin serius. Bahkan, Marcia Lasswell dalam bukunya, No Fault Marriage, mengatakan bahwa rata-rata pasangan menikah datang mencari pertolongan kepada konselor setelah mengalami persoalan pernikahan kira-kira sekitar 7 tahun. Problem itu ditumpuk selama 7 tahun, dan akhirnya tak bisa dikendalikan lagi. Setelah itu, baru dibawa kepada orang lain untuk mendapatkan bantuan.

Penyebab orang tidak segera mencari bantuan terhadap masalahnya, antara lain:

- Budaya kita adalah budaya yang dipenuhi dengan rasa malu sehingga kita cenderung menutup diri. Kita mempunyai anggapan bahwa tidak baik membicarakan masalah rumah tangga dengan orang lain.

- Adanya anggapan bahwa menceritakan kejelekan pasangan kita itu berarti memberitakan kejelekan kita sendiri.

- Kita berpikir kalau kita menceritakan masalah pasangan kita, kita sedang berkhianat.

- Dan, alasan yang paling mendasar adalah kita termasuk tipe orang yang tidak begitu menyukai perubahan.

Di bawah ini ada beberapa pandangan tentang bagaimana menyelesaikan masalah.

1. Menguasai/mendominasi. Mendominasi atau menguasai secara paksa akan membuat suasana pernikahan "tenteram". Dan, tenteram ini bersifat semu atau sementara (cara ini tidak dianjurkan).

2. Menghindar. Cara ini tidak sehat karena kita hanya menunda membicarakan dan menyelesaikan masalah, dan kita mengalihkan perhatian kepada hal-hal lain.

3. Menuruti/mengikuti kemauan pasangan kita. Ini pun tidak sehat, sebab waktu kita menuruti atau mengikuti kemauan pasangan kita, itu berarti kita harus menguasai atau mengekang keinginan kita.

4. Kompromi. Kita dan pasangan kita masing-masing mengurangi tindakan kita atau tuntutan kita supaya akhirnya dapat mencapai titik temu. Cara inilah yang boleh kita gunakan dalam situasi konflik yang sudah rumit sekali.

5. Bekerja sama, yaitu kedua belah pihak berusaha memenuhi kebutuhan masing-masing/memikirkan solusinya.

Untuk bisa bekerja sama, lakukanlah langkah-langkah berikut ini:

- Harus mengakui adanya konflik.

- Mengomunikasikan dan mengakui kebutuhan atau keinginan kita masing-masing, apa yang diinginkan itu yang perlu disampaikan.

- Memikirkan alternatif penyelesaian dan dampak terhadap masing-masing pihak.

- Mulai memilih alternatif yang memenuhi keinginan masing-masing pihak.

- Melaksanakannya.

Kita bisa menggunakan banyak cara untuk menyelesaikan konflik, tetapi intinya kita harus selalu bertanya apakah kita telah mengikuti jalan Tuhan. (Pdt. Dr. Paul Gunadi)


FacebookTwitterWhatsAppTelegram

Mazmur 18:21-23 berkata, "Tuhan memperlakukan aku sesuai dengan kebenaranku, Dia membalas kepadaku sesuai dengan kesucian tanganku, sebab aku tetap mengikuti jalan Tuhan dan tidak berlaku fasik terhadap Allahku. Sebab segala hukum-Nya kuperhatikan, dan ketetapan-Nya tidaklah kujauhkan dari padaku."

Kita bisa menggunakan banyak cara untuk menyelesaikan konflik, tetapi intinya kita harus selalu bertanya apakah kita telah mengikuti jalan Tuhan. Sewaktu kita mengikuti jalan Tuhan, Tuhan akan memberikan yang kita minta.

 

Unduh Audio

 

Diambil dan disunting seperlunya dari:
Nama situs : TELAGA
Alamat situs : http://www.telaga.org
Judul transkrip : Konflik dalam Keluarga 1 (T002B)
Penulis artikel : Pdt. Dr. Paul Gunadi
Sumber: e-Konsel 353

Komentar