Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I
Uang dan Materialisme
Edisi C3I: e-Konsel 142 - Harta Kekayaan
Hukum terakhir dari Dasa Titah tertulis, "Jangan mengingini rumah sesamamu; jangan mengingini istrinya, atau hambanya laki-laki, atau hambanya perempuan, atau lembunya atau keledainya, atau apa pun yang dipunyai sesamamu" (Kel. 20:17). Perintah ini masih tetap relevan dengan dunia kehidupan modern, di mana perolehan uang dianggap sangat penting. Uang diinginkan karena dianggap dapat memberikan kekuasaan: untuk memengaruhi orang lain; mengumpulkan harta milik, memperoleh gaya hidup yang enak, dan untuk menikmati pengalaman-pengalaman baru.
Alkitab banyak berbicara tentang cinta akan uang. Alkitab memanggil kita kepada suatu gaya hidup yang sama sekali berbeda di mana uang dan materi ditempatkan pada posisi yang tepat. Kita perlu mengetahui dan menyelidiki tuntunan Alkitab tentang uang dan penggunaannya. Perlunya menaati pengajaran Alkitab dalam bidang ini dapat menjadi suatu batu ujian yang tajam bagi kehidupan pemuridan kristiani kita dalam masyarakat yang cenderung mengejar materialisme.
Pemilik Segala Sesuatu
Dalam 1Taw. 29:10-20 dicatat tentang apa yang didoakan Raja Daud setelah orang Israel membawa pemberian-pemberian untuk pembangunan Bait Allah. Daud mengakui bahwa segala sesuatu yang ada di bumi adalah milik Allah, baik kebesaran, kejayaan, kehormatan, kemasyhuran, maupun keagungan. Kekayaan dan kemuliaan berasal dari Allah dan Ia yang berkuasa atas segala-galanya. Daud mengakui bahwa semua persembahan yang diberikan rakyatnya berasal dari Allah juga. Oleh karena itu, ia mempersembahkannya dengan penuh kerelaan. "Tuhanlah yang empunya bumi serta segala isinya, dan dunia serta yang diam di dalamnya" (Mzm. 24:1).
Jika Allah adalah pemilik dari segala sesuatu, bagaimana kenyataan ini memengaruhi sikap kita terhadap uang dan harta milik?
Bahaya yang Serius
Alkitab banyak berbicara tentang sikap kita terhadap uang dan harta materi. Bagi kebanyakan orang, pengumpulan kekayaan dan harta milik dapat menjadi motivasi yang dominan dalam hidup.
Kekayaan bukanlah segala-galanya dan hidup seseorang tidak tergantung pada kekayaannya. Itulah sebabnya Yesus dalam Luk. 12:13-21 mengingatkan kita supaya jangan jatuh dalam ketamakan melalui suatu perumpamaan. Ada seorang kaya yang ingin menimbun hartanya karena dengan berbuat demikian ia pikir hidupnya akan tenteram.
Ketamakan merupakan keinginan yang tak pernah terpuaskan untuk mempero1eh lebih dan lebih lagi untuk mencapai kepuasan. Seseorang mungkin haus akan uang atau benda lain yang dapat dibeli dengan uang, atau bahkan kehausan akan posisi dan kekuasaan. Yesus menegaskan bahwa hidup yang benar itu tidak tergantung pada banyaknya harta. Ia tidak menyangkal keperluan kita akan beberapa keperluan dasar. Ia hanya menegaskan bahwa kita tidak akan merasa lebih bahagia dengan memperoleh lebih banyak.
Mark Twain pernah mendefinisikan "peradaban" sebagai 'suatu pelipatgandaan yang tak terbatas dari kebutuhan yang tidak diperlukan'. Dan ia memang benar. Sesungguhnya, banyak orang Kristen ditulari dengan ketamakan dan tidak menyadarinya. Mereka berpikir bahwa nasihat Paulus yang ditulis dalam 1Tim. 6 hanya diterapkan pada "orang kaya dan terkenal".
Yesus menyampaikan perumpamaan ini untuk mengungkapkan bahaya-bahaya yang masuk ke dalam suatu hati yang penuh dengan ketamakan. Bagaimana respons Anda terhadap beberapa pengalaman orang kaya tersebut?
1. Bagaimana respons Anda terhadap dilemanya?
Ia adalah seorang yang terlalu kaya! Kalau kita berkata, "Saya ingin seperti dia", kita mungkin menunjukkan ketamakan kita. Jika Anda tiba-tiba memperoleh warisan kekayaan, apakah hal itu akan menimbulkan masalah atau apakah Anda akan memuji Tuhan dan meminta hikmat-Nya untuk mengetahui apa yang harus Anda lakukan dengan uang itu? Orang kaya ini melihat hartanya sebagai suatu kesempatan untuk menyenangkan diri sendiri. Ia tidak pernah memikirkan orang lain atau Allah.
2. Bagaimana respons Anda terhadap keputusan yang diambilnya?
Apakah Anda mengatakan, "Ini adalah bisnis. Simpanlah dan siapkan untuk kehidupan di masa depan!" Tetapi Yesus melihat apa yang dilakukan orang kaya itu adalah hal mementingkan diri sendiri dan Ia mengatakan bahwa orang kaya itu adalah seorang yang bodoh. Filsafat hidup dunia mengatakan, "Jadilah nomor satu!" Tetapi Yesus tidak menyokong filsafat seperti itu.
3. Bagaimana respons Anda terhadap keinginan orang kaya itu?
Apakah Anda berkata, "Inilah hidup! Orang itu hidup berhasil, mendapatkan kepuasan dan rasa aman! Apalagi yang diinginkannya?" Tetapi Yesus tidak melihat orang kaya itu sedang menikmati hidup; Ia melihatnya sedang menghadapi maut! Kekayaan tidak dapat melepaskan kita dari kematian.
Yesus menjelaskan bahwa hidup yang benar itu tidak berasal dari banyaknya harta, kesuksesan, dan rasa aman. Orang ini memiliki pandangan yang salah terhadap hidup dan kematian.
4. Akhirnya, bagaimanakah respons Anda terhadap kematian yang dialami oleh orang kaya yang sombong itu?
Kita cenderung untuk berkata, "Sayang orang ini harus mati, padahal saat itu hartanya begitu banyak! Betapa tragisnya hal itu karena ia tidak dapat melaksanakan rencananya!" Tetapi tragedi yang terbesar bukanlah apa yang ditinggalkan olehnya, melainkan apa yang ada di hadapannya: kekekalan tanpa kehadiran Allah. Allah tidak tertarik dengan uang kita.
Kita seharusnya mengucapkan terima kasih atas segala sesuatu yang asalnya dari Allah dan kemudian berusaha menggunakannya demi kebaikan orang lain dan kemuliaan Allah. Kekayaan dapat dinikmati dan dimanfaatkan pada saat yang sama jika tujuan kita ialah untuk menghormati Allah. Menjadi kaya di hadapan Allah berarti kaya secara rohani, bukan hanya kenikmatan pribadi. Betapa tragisnya bila orang menjadi kaya di dunia ini, tetapi menjadi miskin dalam kehidupannya setelah kematian!
James Broad dalam artikelnya yang berjudul "Gaya Hidup Kristiani", yang dimuat dalam majalah British Navigator Log, berkata, "Saya percaya Yesus meminta kita untuk memberikan apa yang tidak kita butuhkan -- seperti uang, harta milik, atau makanan -- kepada mereka yang membutuhkan." Jadi, doakanlah terlebih dahulu ketiga hal ini. Apakah kita menabung dengan tujuan yang benar, atau sekadar sebagai suatu penyangga bagi iman kita? Apakah kita memiliki banyak harta berlebihan yang dapat digunakan orang lain? Apakah kita makan terlalu banyak?
Dalam A Christian Critique of Capitalism, Donald Hay menegaskan, "Orang Kristen seharusnya tidak boleh menerima asumsi kapitalis yang mengatakan bahwa kecakapan yang hebat atau pemilikan sumber-sumber membuat seseorang menghabiskan uang yang sepadan .... Keputusan-keputusan yang berkaitan dengan pemakaian uang seharusnya dimulai dengan suatu pertimbangan akan kebutuhan, bukan dengan jumlah penghasilan yang harus dibelanjakan."
Manajer yang Bertanggung Jawab
Walaupun materialisme merupakan suatu bahaya yang serius, tidaklah salah untuk menikmati "hal-hal baik" yang diberikan Allah kepada kita. Akan tetapi karena Allah adalah Pemilik segala sesuatu, kita harus bertanggung jawab kepada-Nya dalam cara kita mengelola keuangan dan harta milik yang dipercayakan kepada kita.
Dalam perumpamaan tentang talenta (Mat. 25:14-30) disebutkan bahwa orang yang memiliki banyak kecakapan diberi lima talenta; orang yang memiliki kecakapan yang biasa-biasa saja memperoleh dua talenta; sedangkan orang yang memiliki sedikit kecakapan hanya memperoleh satu talenta. Talenta dapat diibaratkan dengan kesempatan-kesempatan untuk menggunakan kecakapan kita. Jika lima talenta diberikan kepada seseorang yang memiliki sedikit kecakapan, hidupnya akan hancur karena tanggung jawab yang terlalu besar. Tetapi jika satu talenta diberikan kepada seseorang yang memiliki banyak kecakapan, ia akan dipermalukan dan direndahkan. Allah memberikan tugas dan kesempatan menurut kecakapan kita. Kita telah ditugaskan untuk melaksanakan pelayanan kita menurut kecakapan dan pemberian yang telah diberikan kepada kita. Adalah menjadi hak istimewa bagi kita untuk melayani Tuhan dan melipatgandakan modal yang telah diberikan kepada kita.
Perumpamaan ini mendorong kita untuk bekerja dengan giat dan setia sampai Ia datang kembali. Kita harus selalu mengamati, bersaksi, dan bekerja. Kita mungkin tidak begitu berhasil secara manusia atau bahkan tidak begitu populer, tetapi jika kita setia dan berguna, kita akan memeroleh pahala.
Adalah penting supaya kita tidak memisahkan manajemen keuangan kita dari tanggung jawab lain. Memang baik untuk menggunakan uang supaya menghasilkan lebih banyak uang, tetapi janganlah hal ini menjadi satu-satunya tujuan kita. Prinsip yang terutama ialah kita harus melayani bawahan kita. Sebagai orang Kristen, kita harus selalu waspada dan siap sedia. Kita tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan kita. Kita mungkin tidak memiliki banyak kecakapan, tetapi kita tetap masih bisa setia dalam panggilan yang telah diberikan-Nya kepada kita.
"The Wall Street Journal" pernah mengutip kata-kata seorang berhikmat yang mendefinisikan uang sebagai "suatu benda yang dapat digunakan sebagai paspor universal untuk pergi ke mana pun juga, kecuali ke surga, dan sebagai penyedia universal bagi segala sesuatu, kecuali kebahagiaan". Uang juga menjadi pemicu provokasi untuk ketamakan dan kompetisi, dapat menjadi hamba yang luar biasa, tetapi dapat juga menjadi majikan yang kejam. Cinta akan uang merupakan akar segala jenis kejahatan dan kenyataan tersebut telah memenuhi dunia dengan kebobrokan dan hawa nafsu.
Bila Anda membaca khotbah-khotbah dan perumpamaan Tuhan Yesus, kita terkejut melihat kenyataan bahwa Ia banyak berbicara tentang kekayaan materi. Ia melayani orang-orang yang sebagian besar adalah miskin dan yang berpendapat bahwa dengan memiliki lebih banyak uang, segala persoalan mereka akan terselesaikan. Yesus tidak menutup mata terhadap kebutuhan orang miskin, dan melalui teladan dan pengajaran-Nya, Ia mendorong para pengikut-Nya untuk membagikan apa yang mereka miliki kepada orang lain. Gereja mula-mula merupakan suatu persekutuan yang dengan rela membagikan milik mereka kepada orang-orang yang kurang beruntung.
Gambaran Yesus tentang anak yang hilang dan kakaknya menunjukkan dua filsafat hidup yang bertolak belakang. Sebelum ia bertobat, anak yang hilang menyia-nyiakah hidupnya, tetapi kakaknya menghabiskan masa tersebut dengan melakukan hal yang membosankan. Kedua sikap ini salah karena pendekatan kristiani terhadap kehidupan ialah agar kita menginvestasikan hidup kita demi kebaikan orang lain dan kemuliaan Allah. Hidup merupakan penatalayanan dan kita harus menggunakan kesempatan yang diberikan Allah dengan setia. Pada suatu hari kelak, kita harus memberikan pertanggungjawaban kepada Tuhan atas apa yang telah kita lakukan dengan segala talenta yang diberikan-Nya kepada kita.
Salah satu tindakan penting dalam manajemen uang yang bertanggung jawab ialah mengetahui ke mana perginya uang kita. Komisi Lausanne untuk Penginjilan Dunia dalam makalahnya yang berjudul "An Evangelical Commitment to a Simple Lifestyle" mencanangkan: "Kami tidak menetapkan aturan, baik bagi diri kami sendiri, maupun orang lain. Namun, kami memutuskan untuk menyangkal kesia-siaan dan menentang pemborosan dalam kehidupan pribadi, pakaian, perumahan, perjalanan, dan gedung-gedung gereja. Kami juga menerima perbedaan antara kebutuhan dan kemewahan, hobi yang kreatif dan status simbol yang kosong, kesederhanaan dan kesombongan, perayaan berkala dan rutinitas yang normal, dan antara pelayanan kepada Allah dan perhambaan pada mode. Untuk menarik garis yang tegas diperlukan pengukiran dengan hati nurani yang jernih dan keputusan oleh kita sendiri bersama dengan anggota keluarga kita."
Mengapa Tuhan kita begitu prihatin dengan cara kita menggunakan uang? Karena uang tidaklah netral; pada dasarnya malahan jahat dan hanya Allah yang dapat menguduskannya dan menggunakannya demi kebaikan. Adalah menarik bahwa baik Paulus maupun Petrus menyebut uang sebagai sesuatu yang kotor. Memang pada dasarnya uang itu mengotorkan dan merendahkan derajat, terutama terhadap mereka yang mencintainya dan membiarkan uang menguasai kehidupan mereka. Richard Foster dalam "Uang, Seks, dan Kekuasaan" menulis, "Kita tidak dapat dengan aman menggunakan mammon; sebelum kita memperoleh kejelasan bahwa kita sedang berurusan bukan saja dengan mammon, tetapi juga dengan mammon yang tidak benar."
Orang yang tidak setia dalam cara menggunakan uangnya, juga tidak setia dalam cara ia menggunakan "kekayaan yang benar" dari Kerajaan Allah. Kita tidak dapat bersikap ortodoks dalam teologi kita dan pada saat yang sama bersikap bidah dalam cara menggunakan uang. Allah tidak akan menyerahkan kekayaan-Nya kepada individu-individu atau pelayanan yang membuang-buang uang dan tidak mau memberikan laporan yang jujur kepada orang-orang yang mendukung mereka. Ketika berbicara tentang uang, Paulus sangat menjaga supaya segala sesuatu dilakukan dengan jujur, bukan hanya di hadapan Tuhan tetapi juga di hadapan manusia" (2Kor. 8:21).
Tuhan Yesus menasihati kita agar menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah dan memiliki pikiran yang mantap. Kita tidak dapat mengasihi atau melayani dua majikan sekaligus, sama seperti kita juga tidak dapat berjalan ke dua arah yang berbeda. Jika kita memilih untuk melayani uang, kita tidak dapat melayani Allah. Jika kita memilih untuk melayani Allah, kita tidak akan melayani uang. Yesus menuntut integritas dan pengabdian total kepada Allah yang menomorsatukan diri-Nya.
Jika Allah adalah majikan kita, uang akan menjadi pelayan kita, dan kita akan menggunakan sumber-sumber kita dalam kehendak Allah. Tetapi jika Allah bukanlah majikan kita, kita akan menjadi hamba uang dan uang merupakan majikan yang mengerikan. Kita akan mulai menyia-nyiakan hidup kita dan bukan menginvestasikannya, dan pada suatu hari kelak, kita akan mendapati bahwa kita tak memiliki teman ketika kita memasuki gerbang kemuliaan.
Henry Fielding menulis, "Jadikanlah uang menjadi allah Anda dan ia akan menyerang Anda seperti setan!" Yesus berkata, "Jadikanlah uang menjadi hambamu ... dan manfaatkan kesempatan-kesempatan saat ini sebagai investasi dalam dividen di masa mendatang." Jadilah penatalayan yang berhikmat! Ada banyak jiwa yang masih harus diselamatkan dan uang kita dapat dipakai untuk melaksanakannya.
Sumber bacaan:
1. "Living in the World". 1987. Colorado Spring: Navpress.
2. Wiersbe, Warren W. 1989. "The Bible Exposition Commentary", Volume 1. Wheaton: Victor Books.
Diambil dan diedit seperlunya dari: | ||
Judul buletin | : | Sahabat Gembala, Edisi Oktober 1992 |
Penulis | : | TEA |
Penerbit | : | Yayasan Kalam Hidup, Bandung |
Halaman | : | 14 -- 21 |