Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I

Bimbingan untuk Mereka yang Mengalami Krisis

Kebanyakan cerita dalam Alkitab menyajikan masalah-masalah yang berhubungan dengan krisis. Adam, Hawa, Kain, Nuh, Abraham, Ishak, Yusuf, Musa, Simson, Yefta, Saul, Daud, Elia, Daniel, dan masih banyak lagi tokoh-tokoh lainnya yang menghadapi krisis diulas secara rinci dalam Perjanjian Lama. Yesus juga tidak luput dari krisis (terutama pada saat-saat Ia hendak disalibkan), demikian pula dengan murid-murid-Nya, Paulus, dan orang-orang Kristen gereja mula-mula. Beberapa kisah dalam Kisah Para Rasul ditulis untuk membantu para individu atau gereja-gereja dalam menghadapi krisis. Sedangkan dalam Ibrani 11 diulas secara ringkas berbagai macam krisis yang berakhir bahagia maupun yang berakhir dengan penganiayaan, penderitaan yang amat sangat, bahkan kematian.

Para penulis kontemporer telah membagi krisis menjadi tiga jenis, dimana masing-masing dari ketiga jenis tersebut mempunyai contoh- contoh yang modern dan alkitabiah. Jenis krisis yang pertama adalah KRISIS YANG 'TIDAK DISENGAJA' atau 'SITUASIONAL'. Krisis ini terjadi terutama saat ada ancaman yang datang tiba-tiba, kejadian yang sangat mengganggu atau datangnya suatu musibah secara tak terduga. Kematian orang yang kita cintai, diketahuinya suatu penyakit yang serius, pengalaman akan perkosaan atau penganiayaan, kehamilan di luar pernikahan, gangguan sosial seperti perang atau depresi ekonomi, kehilangan pekerjaan atau tabungan, kehilangan kehormatan dan status, semuanya ini adalah tekanan situasional yang dapat mempengaruhi baik individu yang bersangkutan maupun keluarganya.

Sebuah penelitian yang pernah dilakukan menyebutkan bahwa jika krisis berasal dari luar keluarga -- penganiayaan, bencana alam, kebakaran besar, atau prasangka rasial, misalnya -- seringkali dapat lebih memantapkan keluarga sehingga anggota-anggotanya saling bekerjasama memecahkan krisis. Namun, jika stres berasal dari dalam keluarga itu sendiri -- seperti usaha-usaha bunuh diri, ketidaksetiaan, penganiayaan anak, atau kecanduan alkohol misalnya -- krisis akan terasa lebih mengganggu dan cenderung membuat keluarga yang mengalaminya menjadi terpecah belah. Akan lebih mengganggu lagi jika krisis datang silih berganti secara kontinyu. Bagi beberapa orang, krisis yang membawa mereka datang kepada seorang konselor adalah krisis yang paling terakhir dari krisis- krisis yang telah mereka alami. Krisis tersebut adalah krisis yang paling membawa perubahan yang menekan dan kehilangan yang paling banyak.

Krisis seperti ini sama dengan apa yang pernah dialami oleh Ayub. Dalam waktu yang sangat cepat, Ayub, orang yang sangat religius ini, kehilangan keluarganya, kekayaannya, kesehatannya, dan statusnya. Hubungan dalam pernikahannya menjadi tegang dan konselornya akhirnya tahu tentang kemarahan Ayub dan konflik yang terjadi dalam dirinya. Dia tidak dapat mengerti mengapa Tuhan membiarkan hal-hal buruk terjadi pada orang yang baik.

KRISIS 'DEVELOPMENTAL', jenis krisis yang kedua, adalah krisis yang terjadi seiring dengan perkembangan normal seseorang dalam kehidupannya. Waktu seseorang mulai bersekolah, masuk ke perguruan tinggi, menyesuaikan diri dengan perkawinan dan perannya sebagai orang tua, menghadapi kritikan, menghadapi pensiun atau kesehatan yang menurun, atau menerima kematian sahabat-sahabatnya, semuanya ini adalah krisis yang menuntut pendekatan-pendekatan baru supaya orang dapat menghadapi dan memecahkan masalah. Abraham dan Sarah misalnya, mereka menghadapi masalah-masalah yang timbul karena harus berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain, adanya banyak kritikan yang datang, tidak dikaruniai anak selama bertahun-tahun, tekanan keluarga dan bahkan dari perintah Tuhan yang mengharuskan bahwa Ishak harus dikorbankan. Kita mungkin akan terheran-heran membayangkan bagaimana Zakharia dan Elisabet merawat anak seunik Yohanes Pembaptis, atau bagaimana Maria dan Yusuf mampu membesarkan seorang anak laki-laki yang tidak biasa dan pintar seperti Yesus. Tentu saja ada krisis developmental yang harus mereka jalani -- suatu titik balik yang menuntut suatu waktu yang lebih panjang untuk dapat membuat suatu keputusan yang bijaksana namun juga membawa kepada kemajuan dalam pertumbuhan.

Jenis krisis yang ketiga, yaitu KRISIS 'EKSISTENSIAL', mempunyai pengertian tumpang tindih dengan pengertian kedua krisis di atas. Ada saatnya dalam hidup dimana kita dihadapkan dengan kenyataan yang mengganggu, terutama tentang diri kita sendiri:

Saya seorang yang gagal. Saya hampir lulus, tetapi saya belum punya bayangan apa yang akan saya lakukan nantinya. Saya tidak akan pernah sukses dalam perusahaan saya. Saya gagal memperoleh promosi jauh-jauh hari. Sekarang saya adalah janda -- saya sendirian lagi. Hidupku tidak mempunyai tujuan. Pernikahanku berakhir dengan perceraian. Penyakit saya tidak dapat disembuhkan. Saya terjebak di kota ini. Saya tidak mempunyai sesuatu untuk saya percayai. Rumah dan harta saya hilang ditelan api. Saya ditolak karena warna kulit saya. Saya terlalu tua untuk meraih tujuan hidup saya.

Kesadaran-kesadaran seperti di atas, dan kenyataan-kenyataan lain yang serupa, memerlukan waktu yang cukup dan usaha dari kita untuk dapat menerimanya. Kesadaran-kesadaran tersebut adalah perubahan- perubahan yang terjadi dalam persepsi diri dimana kita dapat menyangkalnya untuk sementara waktu namun pada suatu saat kita juga harus menghadapinya secara realistis jika kita ingin tetap meneruskan hidup dan memenuhi tuntutan-tuntutannya.

Setelah kemenangan besar rohaninya, Elia dikejar oleh Izebel dan lari ke hutan dimana di sana ia menyimpulkan bahwa hidupnya telah gagal. Yunus juga mempunyai pikiran seperti ini ketika ia berdebat dengan Allah. Dan di tengah-tengah pergumulannya, Ayub mulai bertanya-tanya, "Apa yang akan terjadi padaku dan apa yang akan terjadi sekarang?" Apakah para murid Yesus juga memiliki rasa yang sama dengan mereka pada waktu-waktu setelah penyaliban Yesus.

Saat orang-orang mulai bertanya-tanya tentang penyebab dari krisis yang sedang mereka alami, adalah hal yang sulit dan seringkali juga tidak mungkin untuk dapat memberikan jawaban yang pasti. Alkitab mengulas ketiga macam krisis seperti yang disebutkan di atas tetapi Alkitab tidak memberikan jawaban yang jelas dan lengkap untuk menjelaskan mengapa, kapan dan bilamana kita harus menderita. Mungkin kita semua setuju dengan pendapat bahwa dibalik setiap peristiwa pasti ada rencana-rencana Allah dan di bawah kuasa Allah. Kita juga tahu bahwa krisis dapat merupakan sarana bagi kita belajar dari pengalaman-pengalaman untuk membentuk karakter kita, memberikan pengetahuan bagi kita tentang Tuhan dan kuasa-Nya, dan menstimulasi pertumbuhan iman. Namun, alasan utama dari suatu krisis hidup tak pernah kita ketahui selama kita masih ada di dunia ini.

Untuk sementara waktu, kita dapat membantu konselee menghadapi dan bertumbuh melalui krisis yang sedang dialaminya.

Sumber
Halaman: 
64 - 65
Judul Artikel: 
Christian Counseling; a Comprehensive Guide
Penerbit: 
Word Publishing, Dallas, 1988

Komentar