Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I
Perempuan di Kamar A-14 (Kesaksian)
Edisi C3I: e-Konsel 030 - Natal - Cinta Kasih
Waktu itu satu minggu menjelang Natal 1969 di Tegucigalpa, Honduras, tempat tugas suami saya. Minggu itu sangat sibuk karena setiap orang terlibat dalam kegiatan di sekolah, gereja atau perkumpulan, selain bersiap-siap untuk merayakan Natal di rumah masing-masing.
Perkumpulan Wanita Pemerintah Amerika Serikat (PWPAS) telah merencanakan acara sosial tahunan, sebuah pesta Natal di panti wreda Asilo de Invalidos. Sebagai sekretaris PWPAS, tugas saya adalah menelepon semua anggota, mengingatkan mereka untuk memanggang kue dan menolong kami menghibur pasien-pasien. Hampir setiap kali saya menelepon mereka, jawabannya selalu, "Saya senang sekali memanggang kue, tetapi saya tidak bisa datang ke pesta." Sebelum selesai menelepon untuk terakhir kalinya, saya sudah merasa jengkel.
"Bagus!" pikir saya. "Di mana rasa tanggung jawab dan rasa sosial mereka?" Ini betul-betul suatu pesta yang memprihatinkan. Delapan wanita dari tiga puluh lima orang yang ada, berjanji untuk membantu. Delapan wanita, melayani hampir dua ratus orang pasien.
Saya teringat akan ibu saya. Ibu meninggal bulan Januari tahun itu; tetapi saya tahu pasti, bahwa seandainya ia masih hidup dan mengunjungi kami di Honduras, ibu pasti bersedia dan dapat membantu. Anda dapat mengandalkannya. "Apabila kita mengerjakan sesuatu yang berarti," begitu yang sering dikatakannya kepada saya, "Sudah sepatutnya hal itu dikerjakan dengan sebaik-baiknya."
Kami sudah memutuskan untuk mengadakan pesta; sekarang mana kerjasama yang dibutuhkan supaya pesta itu dapat berlangsung dengan meriah? Yah, setidaknya mereka dapat mengharapkan saya, pikir saya, sambil menghibur rasa jengkel saya karena banyak yang menolak.
Tepat pada hari pesta itu, saya masih jengkel dan itu tampak jelas pada raut wajah saya ketika saya tiba di panti wreda untuk melakukan tugas saya. Gladys, ketua PWPAS, sudah ada di dekat meja panjang, tempat untuk menyiapkan kue-kue yang akan di bagi-bagikan. Istri duta besar juga ada di sana, menyiapkan makanan dan memotong kue. Hanya sedikit wanita yang datang membantu dan mereka sibuk menghias ruangan, mengatur kursi, dan berusaha menghidupkan suasana pesta.
"Benar-benar mengecewakan sekali," keluh saya kepada Gladys. "Saya berharap ada lebih banyak kaum ibu yang dapat membantu di sini. Apa yang harus mulai saya lakukan?"
Senyum Gladys yang hangat hampir mencairkan kejengkelan saya. "Maukah Anda mengantarkan kue untuk pasien yang tidak bisa meninggalkan ruangannya?" tanyanya.
"Boleh," jawab saya, lalu mengambil sebuah baki. "Sebaiknya saya memulainya sekarang. Perlu waktu yang cukup lama sampai semua kue dibagikan."
Musik mulai mengalun di pekarangan rumah. Seseorang memimpin pasien untuk berkumpul di sana diiringi dengan sebuah lagu Natal. Saya tidak mempunyai waktu mendengarkan.
Saya bolak-balik membawa kue dan minuman, dan pada waktu membagikan makanan dan hadiah, saya hampir tidak melihat ke arah pasien. Sebuah kantong kecil berisi permen dan sebuah hadiah diberikan kepada setiap pasien. Kaki saya mulai pegal karena harus naik-turun tangga, dan kejengkelan saya semakin bertambah dalam setiap langkah. Sesudah salah satu bangsal selesai, saya mulai masuk lagi ke bangsal lain.
Waktu saya sampai di anak tangga paling di atas, seorang ibu tua yang memakai baju yang sudah sobek dan corak pakaiannya sudah memudar, menggapai dan memegang lengan saya dengan takut-takut, "Maafkan saya, Nyonya," bisiknya. "Maukah Nyonya menolong menukarkan hadiah saya?"
Dengan kesal, saya berbalik ke arah ibu itu. "Menukar hadiah Ibu? Mengapa? Apakah Ibu mendapatkan hadiah untuk pria?"
"Tidak ... bukan begitu," katanya gagap. "Lihat saya mendapat mutiara, padahal mutiara berarti tangisan. Saya tidak mau menangis lagi."
Takhayul yang menggelikan, pikir saya. Apa yang terjadi? Anda mengira mereka menghargai apa pun yang mereka peroleh.
"Maafkan saya," kata saya ketus. "Saya sangat sibuk sekarang. Mungkin nanti." Lalu saya pergi, cepat-cepat mengisi baki lagi, dan ibu tua itu segera terlupakan.
Sambil membawa baki penuh kue, saya berjalan cepat-cepat ke bangsal Kaum Ibu di lantai pertama. Saya membelakangi pintu kamar A-14, saya mendorong dengan punggung saya supaya terbuka, lalu sesudah di dalam kamar saya membalikkan tubuh saya. Saya memandang kamar itu sepintas, dan merasa terkejut sampai baki yang saya bawa bergetar.
Di dalam kamar yang suram dan tidak nyaman itu, di atas pelbet berseprai abu-abu, memakai baju tua yang sudah usang dan tipis, terbaring ibu saya!
Ibu? Tidak mungkin! Ibu saya sudah meninggal; dan kalaupun ia masih hidup, ia tidak akan berada di tempat seperti ini. Tempat ini untuk orang yang tunawisma, orang miskin, orang lanjut usia yang sakit dan tidak ada orang yang mau mengasihi dan merawat mereka. Ibu memang sakit selama enam tahun sebelum meninggal, tetapi ayah merawatnya di rumah, bersama anak-anak dan cucu-cucunya yang membantu dan mengasihinya.
Tidak, saya pasti salah lihat. Saya memejamkan mata saya rapat-rapat dan menggelengkan kepala saya. Waktu saya membuka mata lagi, ibu tua yang kurus itu terlihat jelas. Ia bukan ibu saya! Dengan rambut terurai berwarna abu-abu dan matanya yang berwarna biru pucat, ia sama sekali tidak mirip dengan ibu saya. Apa yang menyebabkan saya mengira wanita malang itu ibu saya?
Tidak, ia orang lain, bukan ibu saya. Lalu mengapa saya tidak merasa lega? Kepedihan di dalam diri saya semakin mendalam, sampai menyekat tenggorokan saya seperti suatu bongkahan yang besar. Saya harus keluar dari tempat ini, pikir saya. Jangan sampai ia melihat saya menangis.
Tanpa mengucapkan apa-apa, saya keluar membelakangi pintu tepat pada waktunya. Air mata membasahi pipi saya waktu saya berjalan di dekat ruang masuk yang gelap. Cepat-cepat, seakan-akan lari dari bahaya yang tidak diketahui, saya kembali ke meja kue. Di situ, Gladys masih tersenyum, bekerja dengan gembira. Wajah saya pasti kelihatan berantakan seperti yang saya rasakan, karena waktu ia melihat saya, wajahnya tampak gelisah.
"Mengapa, Betty, ada apa?" tanyanya, memeluk saya.
"Ibu saya," jawab saya terisak-isak. "Saya baru melihat ibu saya di sana. Saya .... saya tidak dapat terus membantu."
"Anda hanya kelelahan," kata Gladys. "Beristirahatlah."
Orang-orang di dekat meja memandang saya. Saya mengambil selembar serbet kertas dari meja dan menjauhi tatapan mereka. Saya ingin menyendiri. Tetapi di mana saya dapat bersembunyi? Di mana-mana ada orang.
Lalu saya melihat tangga. Tempatnya lebar dan gelap, dan di bawahnya ada lantai sebelum anak tangga yang ke bawah yang menuju ke Bangsal pria yang akan saya layani terakhir. Tidak ada seorang pun di lantai bawah tangga. Saya berjalan ke salah satu sudut, duduk sambil menangis terus.
"Ya Tuhan," doa saya. "Mengapa saya begini? Apakah saya sudah gila?"
Jawabannya segera muncul, bukan dalam kata-kata yang dapat didengar, tetapi dalam pikiran yang membuat saya bingung: "Sekiranya saya berikan semua milik saya kepada orang miskin ... tetapi saya tidak mengasihi orang lain, maka semua itu tidak ada gunanya."
Dengan hati berat saya menyadari pesan ini ditujukan kepada saya. Hari ini saya memanggang kue, berjalan bolak-balik, membawa makanan, tetapi untuk apa? Siapa yang saya layani? Siapa yang saya perhatikan; atau paling tidak, apakah saya memperhatikan mereka? Bagi saya, mereka orang-orang yang tidak berarti sampai saya melihat seseorang yang saya sayangi pada salah satu di antara mereka yang menderita. Setelah itu mereka baru menjadi nyata.
"Maafkan saya," bisik saya ke arah dinding. "Saya telah keliru melakukannya. Saya akan memulainya lagi." Sesudah menarik napas dalam-dalam dan menyeka air mata, saya kembali ke meja kue. Gladys sibuk memandang saya waktu saya berjalan mendekat.
"Anda sudah cukup membantu hari ini, Betty," katanya. "Pulanglah. Kami dapat menanganinya."
"Oh, jangan menyuruh saya pulang sekarang," jawab saya. "Saya baru mulai." Saya baru akan membawa sebuah baki waktu pikiran itu muncul. "Gladys, apakah masih ada hadiah lain untuk para wanita?" tanya saya. "Saya harus menukar sebuah hadiah."
Gladys memberikan sebuah kotak kecil kepada saya, isinya sebuah bros mungil berbentuk hati berhiaskan batu permata berwarna merah.
"Terima kasih, ini indah sekali," kata saya, sambil membawa kotak itu dan cepat-cepat berjalan ke pekarangan rumah. Gladys kelihatan bingung, tetapi saya tidak sempat menjelaskan. Ini lebih penting dan mendesak.
Tuhan, tolonglah saya menemukan ibu saya, saya berdoa dalam hati. Rasanya tidak tenang karena saya belum menemukan ibu itu. Saya terlalu sibuk untuk memperhatikan. Saya lewat begitu saja dan segera melupakannya dari pikiran saya.
Saya mencari-cari ibu itu di tengah-tengah orang banyak dari satu lorong ke lorong lain. Semua wajah kelihatan bergembira, tersenyum, menyanyikan lagu Natal. Musik itu bergema di telinga saya. Untuk pertama kalinya pada hari itu, saya mulai merasa senang.
Lalu saya melihat baju bercorak yang sobek itu. Ibu itu duduk sendiri menyandar ke dinding, di pangkuannya ada permen yang masih utuh dan hiasan mutiara. Ia tampak sangat sedih. Saya cepat-cepat mendekatinya.
"Rupanya Ibu ada di sini," kata saya. "Saya mencari-cari, Ibu. Saya membawa sebuah hadiah yang lain untuk Ibu."
Ibu itu mengangkat wajahnya, terkejut. Dengan penuh rasa maaf, ia mengambil kotak itu dan membukanya. Matanya berbinar-binar dan senyumnya merekah karena senang. "Oh, terima kasih, Nyonya," serunya. Saya harus menelan gumpalan yang menyumbat tenggorokan saya, tetapi kali ini saya tidak keberatan.
"Mari, saya sematkan bros ini," kata saya, "dan singkirkan bros mutiara itu. Kita tidak perlu menangis di hari Natal."
Waktu saya meninggalkannya, ibu itu sudah bergabung dengan yang lain, menyanyikan lagu-lagu Natal di pekarangan. Saya merasa seolah- olah beban yang berat sudah diangkat dari bahu saya.
Masih ada yang harus saya lakukan sebelum pesta selesai, saya harus kembali ke Ruang A-14. Entah bagaimana saya harus berterima kasih kepada pasien itu, tetapi saya tidak tahu bagaimana melakukannya. Waktu saya mendorong membuka pintu, ibu itu sedang duduk di atas tempat tidur, memakan kue yang dibawa orang lain. Ia tersenyum waktu saya masuk.
"Selamat hari Natal, Mamacita (ibu kecil)," kata saya.
"Saya senang Anda kembali," katanya. "Saya ingin berterima kasih kepada kalian karena mau datang pada hari ini. Saya ingin meberikan hadiah untukmu, tetapi saya tidak punya apa-apa. Bolehkah saya menyanyikan sebuah lagu?"
Rasanya saya tidak dapat menahan bongkahan yang menyumbat kerongkongan saya, jadi saya mengangguk menyetujui. Saya duduk di tempat tidur waktu ia menyanyi dengan suara yang nyaring. Ia tidak menyanyikan lagu Natal. Lagu tiga bait yang dinyanyikannya adalah lagu yang paling mengharukan yang pernah saya dengar. Mungkin itu satu-satunya lagu yang diingatnya. Tetapi matanya yang berbinar- binar membuat lirik lagu itu menjadi menonjol dan pesannya tertanam dalam hati saya -- Kesukaan bagi Dunia!