Marah: Ditekan atau Diumbar Sama Buruknya

Konon, orang kota besar seperti Jakarta mudah sekali marah. Maklum, sangat banyak alasan yang membuat mereka ''meledak.'' Mulai dari jalanan macet sementara dikejar waktu, urusan kantor yang njelimet bukan main, rekening telepon dan listrik yang bisa melonjak tak karuan, sampai soal sepele seperti anak-anak yang main tanah padahal baru selesai dimandikan.

Seribu satu alasan yang bisa membuat orang lepas kendali. Sayangnya, tak semua orang tahu bagaimana mengelolanya dengan baik. Padahal, kalau mau sehat, mengelola emosi, termasuk marah, adalah salah satu kuncinya.

Dulu mungkin kita diajarkan untuk menekan rasa marah. Apalagi jika kita perempuan. Mengumbar marah, kata orang tua, tidak baik karena tidak sesuai dengan watak perempuan yang ideal. Selain itu, mengungkapkan kemarahan juga bisa merusak hubungan dengan orang lain -- sesuatu yang jelas tidak sesuai dengan watak masyarakat, terutama Jawa, yang selalu ingin mempertahankan harmoni. Dan, yang tak kalah gawatnya, perempuan yang suka marah, judes, bisa dipastikan jauh jodohnya.

Tapi belakangan pendapat itu berubah. Menahan marah, apalagi kemarahan yang sangat, bisa mengakibatkan gangguan kesehatan. Bahkan dari sebuah penelitian yang dilakukan di AS diketahui bahwa perempuan yang menahan amarah dalam jangka waktu lama mempunyai risiko kematian prematur dua kali lipat dibanding mereka yang dapat mengekspresikan kemarahannya.

Kalau begitu, apakah sebaiknya rasa marah yang menyergap itu dilepaskan begitu saja? Tidak juga. Penelitian lain mengungkapkan bahwa mengumbar arah berakibat tak kurang buruknya dari menahan marah. Depresi, tekanan darah tinggi, iskemia dan infark jantung, artritis, stres, ketergantungan pada obat dan alkohol, serta obesitas, adalah akibat fisik yang akan didapat oleh orang yang suka marah. Belum lagi ''biaya sosial'' yang harus dibayar berupa, antara lain, runyamnya situasi rumah tangga dan tekanan yang akan dialami orang di dekat kita.

Bahkan, konon, jika kemarahan itu begitu hebatnya dialami oleh seorang perempuan, ia akan mempunyai risiko lebih besar terkena kanker payudara. Risiko ini sama besarnya pada perempuan yang menahan ataupun mengumbar kemarahannya.

Fakta-fakta ini tentu saja bertolak belakang dengan pendapat yang ada bahwa semakin lepas kita mengumbar marah, akan semakin ringan perasaan kita dibuatnya. Yang benar, semakin lepas semakin besar pula kemarahan yang kita rasakan. Ini berlaku juga untuk perasaan sedih. Dulu orang berpendapat menangis itu baik untuk melepaskan kesedihan. Namun sekarang orang berpendapat kesedihan akan makin besar dengan semakin banyaknya air mata yang keluar.

Karenanya, menurut para ahli, yang penting dilakukan adalah mengendalikan rasa marah itu agar jangan sampai menjadi penyakit fisik. Caranya pertama kali, kenali dulu penyebab kemarahan. Jika penyebabnya adalah orang, sementara karena berbagai sebab kita tidak dapat mengungkapkannya secara langsung pada yang bersangkutan, maka cobalah untuk mendiskusikannya dengan orang lain yang bisa kita percaya. Tapi awas, jangan bergunjing tentang orang yang sedang membuat kita sebal itu. Sama saja bohong. Alih-alih, meski sulit, cobalah berdiskusi dengan lebih objektif tentang masalah yang ada. Ini akan sangat membantu.

Selain itu ada cara lain yang dianjurkan untuk dicoba setiap kali marah melanda kita. Antara lain yang dimuat dalam Women's Encyclopedia of Health and Emotional Healing. Salah satunya, miliki buku harian. Catat setiap hal yang membangkitkan kemarahan kita: apa, siapa, siapa saja yang menyaksikan situasi tersebut, dan apa pendapat kita tentang objek yang membuat kita marah tersebut. Selain itu catat pula reaksi yang muncul dan berapa lama perasaan marah itu bertahan. Ada baiknya juga mencatat mood kita sendiri sebelum pemicu marah itu muncul.

Jika ini dilakukan secara teratur, terutama kalau kita memang tergolong orang yang gampang marah, maka dalam beberapa waktu kemudian kita mungkin akan mengenali pola marah kita. Dengan begitu, kita bisa lebih gampang mengelolanya setiap kali perasaan itu muncul lagi. Akhirnya, tak perlu lepas kendali jika ada sesuatu yang menjengkelkan terjadi.

Jangan buru-buru menyemprot sesuatu atau seseorang yang memancing kemarahan kita. Tarik napas dalam dan hitung pelan-pelan sampai 10 atau 20. Tujuannya adalah memberikan waktu bagi diri sendiri untuk merefleksikan keadaan: layak atau tidak kita mengekspresikan kemarahan.

Jika cara ini tak berhasil, tinggalkan saja dulu tempat atau orang yang membuat marah itu. Berdiam dan berdoa [dalam hati] , atau sekadar jalan-jalan cari angin sangat membantu menetralkan perasaan. Kita juga akan lebih mudah membuat permakluman terhadap sesuatu atau seseorang yang menjengkelkan kita. ''Mungkin dia sedang punya masalah,'' dan sejenisnya. Akhirnya, ada cara lain yang cukup mudah untuk mengusir marah, yakni berolah raga. Dengan cara ini energi yang sedianya kita ''sediakan'' untuk memarahi orang lain bisa mendapatkan penyaluran yang menguntungkan diri kita. Badan sehat, pikiran longgar. Enak kan?

*Marah Memang Memperpendek Umur*

Jika Anda tergolong orang yang gampang marah, suka bersikap sinis, gresif, serta mudah mengalami depresi, sebaiknya Anda berhati-hati. Dari beberapa penelitian diketahui bahwa depresi memiliki kaitan yang erat dengan penyakit infark jantung.


 
Dari milis sepikolog :-) [merupakan saduran dari Republika].
Rejoice, pakatuan Beauty
 
Sumber
Halaman: 
--
Judul Artikel: 
Milis Ayah Bunda
Penerbit: 
--