Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I
Mengatasi Depresi Natal
Oleh: Bob Jokiman
Natal seharusnya membawa sukacita dan damai sejahtera dalam kehidupan orang percaya, namun sering yang kita alami adalah depresi dan konflik. Mengapa pada Natal yang seharusnya kita bergembira dan membagi berkat, malah kita bersedih serta menjadi batu sandungan? Bila kita mau jujur maka yang menyebabkan terjadinya kebalikan dari yang kita harapkan di masa raya Natal ini adalah karena banyaknya tekanan (pressure) yang kita hadapi dan kita tidak tahu bagaimana mengatasinya.
Kita tahu sebagai orang percaya, khususnya mereka yang telah berkeluarga dan menjadi aktivis Gereja, Natal selalu menuntut komitmen dan dedikasi ekstra yang menyebabkan bertambahnya pressure dalam hidup ini. Natal yang seharusnya meringankan hati dan perasaan kita, justru sebaliknya menimbulkan beban karena tuntutan-tuntutan yang harus dipenuhi dalam keadaan dan waktu yang terbatas.
Paling sedikit ada tiga aspek manusiawi kita yang dipengaruhi dengan komitmen tersebut. Yang pertama adalah fisik kita, karena banyaknya kegiatan yang harus dilakukan dan diikuti selama masa raya Natal ini, baik berupa latihan-latihan, kunjungan-kunjungan, berbelanja serta menghadiri berbagai acara Natal, maka tubuh kita menjadi letih karena terlalu dipaksakan dan kurang istirahat. Karena keletihan yang berlebih maka mempengaruhi juga emosi kita atau daya pikir kita, maka tanpa sadar bisa saja dalam berkomunikasi dengan pasangan, kita tidak dapat mengontrol ucapan atau kata-kata kita sehingga menyebabkan perasaan pasangan kita tersinggung dan relasi menjadi terganggu. Natal yang seharusnya membawa damai justru mengakibatkan keresahan dan ketidakdamaian dalam keluarga kita.
Yang kedua adalah pressure finansial atau keuangan. Kita semua tahu bahwa pada masa raya Natal dan memasuki Tahun Baru, pengeluaran kita meningkat lebih daripada biasanya untuk berbagai keperluan Natal dan Tahun Baru. Anak-anak perlu pakaian baru dan hadiah-hadiah, demikian pula dengan persembahan-persembahan khusus serta acara-acara lain.
Sekalipun kita tahu secara rohani bahwa Natal bukanlah untuk semuanya itu, tetapi tradisi yang sudah kita lakukan selama ini sulit untuk dibuang begitu saja. Meskipun sederhana, tetap juga perlu pengeluaran ekstra. Syukur bila kita mendapat bonus Natal. Khusus bagi saudara-saudari yang di Indonesia, secara finansial Natal tahun ini mungkin sangat berat karena adanya krisis ekonomi dan keuangan. Saya tidak tahu ada banyak orang Kristen dan gereja yang mengalami kesulitan keuangan pada saat ini akibat krisis tersebut. Mungkin dengan membandingkan jumlah kartu Natal yang kita terima tahun ini dengan tahun yang lalu, dapat memberikan indikasi bagaimana keadaan saat ini. Karena tekanan keuangan sering membuat kita tertekan di masa yang seharusnya kita bersuka-ria ini.
Tekanan lain adalah pada feeling atau emosi kita. Dalam keadaan letih, otomatis emosi dan rohani kita bisa terganggu bahkan merosot, sehingga kadangkala bila kita tidak bisa menahan diri, mudah saja bagi kita mengucapkan kata-kata yang dengan sadar atau tidak menyinggung atau menyakiti perasaan seseorang, entah terhadap suami, isteri, anak, mertua atau sesama anggota Gereja. Natal yang seharusnya membawa damai, mengakibatkan keretakan relasi dengan sesama. Dengan keadaan keuangan yang sulit kita mudah kehilangan harga diri kita, apalagi sebagai suami dan ayah yang merasa dan menganggap diri gagal sebab tidak dapat memenuhi "kewajiban" di masa raya Natal ini. Kita jadi mudah tersinggung dan kebanyakan mau menyendiri serta berdiam diri saja. Natal yang seharusnya membawa keceriaan ternyata mendatangkan kemuraman.
Bila kita tidak sanggup mengatasi tekanan tersebut maka bisa saja kita berpikir, alangkah baiknya kalau tidak ada Natal, sehingga aku tidak tertekan. Pada masa raya Natal bukan saja kita tidak boleh tertekan yang akhirnya menyebabkan konflik, malah seharusnya kitapun patut menjadi berkat bagi sesama kita, disamping bersukacita. Bagaimana agar di masa raya Natal ini kita dapat memenuhi panggilan tersebut? Marilah kita belajar dari pasangan suami-isteri yang berperan di Natal pertama.
TELADAN YUSUF DAN MARIA
Yusuf dan Maria, boleh dikatakan masih sangat muda, sangat kurang pengalaman sebagai suami-isteri, saat kelahiran Yesus. Mereka juga menghadapi pressure secara fisik, finansial dan feeling atau emosi. Perjalanan dari Nasaret ke Betlehem bukanlah perjalanan yang dekat dan mudah. Jarak Nasaret-Betlehem +70 miles, bisa ditempuh dalam waktu lebih dari satu jam dengan mobil, namun tidak demikian oleh Yusuf dan Maria. Alkitab tidak memberitahukan dengan kendaraan apa mereka ke sana, sekalipun biasanya di kartu-kartu Natal digambarkan Maria menunggang keledai. Mungkin sekali mereka hanya berjalan kaki. Perjalanan tersebut jelas sangat meletihkan bagi Maria yang sedang mengandung dan juga bagi Yusuf, sekalipun ia bertubuh tegap sebagai tukang kayu.
Secara finansial mereka juga mengalami tekanan, seperti kebanyakan kita di saat krisis moneter di tanah air tercinta. Karena harus mematuhi perintah sensus kaisar Agustus, Yusuf terpaksa meninggalkan pekerjaannya sebagai tukang kayu. Di samping income yang terhenti, ia juga harus mengeluarkan biaya esktra untuk perjalanan dan perpindahan. Itulah sebabnya mungkin Yusuf tidak mempunyai cukup dana, maka mereka ditempatkan hanya di kandang hewan. Seperti kebanyakan kita yang tidak mempunyai dana untuk mencukupi kebutuhan ekstra di masa Natal dan Tahun Baru ini.
Di dalam emosi, lebih-lebih lagi! Jikalau Yusuf dan Maria hidup di masa kini, di mana moralitas sudah demikian merosotnya, mungkin tekanan perasaan tidak terlalu berat. Tapi pada masa itu sungguh berat. Mereka tentu dicemooh oleh masyarakat karena ketahuan bahwa Maria hamil sebelum menikah resmi. Betapa rendah moral mereka, apalagi sebagai orang beragama! Siapakah yang mau percaya akan kesaksian mereka bahwa Maria hamil oleh kuasa Allah. Itu sungguh suatu nonsense karena tidak pernah terjadi sebelumnya dan juga tidak akan terjadi lagi di kemudian hari. Mereka hanya memakai nama Allah untuk menutupi kebejatan mereka. Siapa mau percaya bahwa Maria adalah gadis yang suci dan Yusuf adalah pemuda alim? Karakter mereka dipertanyakan dan harus menanggung malu. Suatu penderitaan batin yang berat bagi sepasang remaja itu. Coba kita bayangkan bagaimana perasaan kita kalau demi pekerjaan Tuhan kita sudah berkata jujur tetapi tetap saja moral dan karakter kita masih dipertanyakan? Bagaimanakah Yusuf dan Maria mengatasi depresi tiga dimensi itu hingga mereka tetap dapat memuliakan Allah dan menjadi berkat bagi sesama?
Pertama, mereka saling menyatakan COMPASSION. Dalam bahasa Latin disebut com-patti yang berarti together-feel atau merasakan bersama. Sekalipun kata tersebut sering diterjemahkan menjadi "belas-kasihan", namun dapat pula berarti "turut merasakan". Yusuf dan Maria sekalipun masih muda, namun sebagai suami-isteri mereka dapat turut merasakan apa yang dirasakan pasangannya. Di dalam Alkitab kita tidak membaca percakapan mereka dalam perjalanan tersebut hingga Yesus dilahirkan. Ini adalah sikap yang sangat indah untuk menyatakan compassion kita terhadap pasangan kita. Bila kita dapat memahami perasaan pasangan kita, maka kita akan berhati-hati dalam berkata-kata sehingga tidak menyebabkan tersinggung atau konflik. Oleh karena itu, kita sangat perlu peka terhadap perasaan pasangan kita di masa yang banyak tekanan ini, mau memahami dan mengerti perasaannya.
Yang kedua, mereka saling menyatakan COMMITMENT. Dalam bahasa Latin disebut com-mittere yang berarti together-send atau diutus bersama. Yusuf dam Maria mengalami apa yang mereka alami pada Natal pertama adalah karena komitmen mereka kepada Allah. Karena mentaati Allah maka mereka menghadapi semua tekanan tersebut. Oleh karena itu, mereka tabah dan tekun serta dapat saling mendorong, menguatkan dan menghibur. Dalam keadaaan demikian mereka tidak saling menyalahkan seperti kebanyakan kita bila menghadapi pressure. Mereka tahu bahwa mereka sedang menjalankan misi Allah maka mereka dapat saling melayani. Betapa pentingnya di masa raya Natal ini kita juga tahu bahwa semua yang kita hadapi adalah karena kita menjalankan misi Allah, menjadi saksi Injil-Nya di tengah dunia yang gelap ini. Di masa yang penuh keprihatinan ini kita dapat bersaksi sebagai suatu keluarga yang tabah dan tekun. Dengan demikian sebagai suami-isteri, kita dapat saling meningkatkan komitmen kita kepada Allah serta antara yang satu dengan yang lain demi terlaksananya misi tersebut, Allah dimuliakan melalui kehidupan suami isteri kita.
Ketiga, mereka saling menyatakan COMPLEMENT. Dalam bahasa Latin disebut complere yang berarti complete atau lengkap. Kita tahu bahwa pria dan wanita mempunyai perbedaan yang hakiki, bukan saja secara fisik pria lebih kuat dari wanita, pria juga lebih rasionil daripada wanita yang emosionil. Pria lebih banyak menggunakan logika sedang wanita intuisi. Keduanya sekalipun nampaknya bertolak belakang tetapi sebenarnya dapat saling melengkapi. Jikalau kita dapat saling menerima perbedaan masing-masing dan menghargai keunikan pasangan kita maka perbedaan tersebut akan merupakan kekuatan untuk menghadapi tekanan hidup ini dalam mengatasi depresi, khusus di masa raya Natal ini. Yusuf dan Maria sekalipun masih muda sebagai suami isteri, namun mereka telah dapat saling melengkapi sehingga misi Allah yang mereka emban terlaksana dengan baik pada Hari Natal tersebut.
Yang terakhir, adalah CONTENTMENT. Dalam bahasa Latin disebut continere yang berarti contain atau terisi. Di masa banyak tekanan ini alangkah pentingnya bila suami-isteri bisa memiliki rasa terisi atau puas. Yusuf dan Maria bukan saja puas dan menerima keadaan hidup yang serba terbatas dan sederhana, tetapi dapat pula saling menerima keadaan masing-masing. Maria tidak complain dengan melahirkan di kandang hewan, ia tidak menuntut harus melahirkan di tempat yang wah. Tapi lebih dari itu, ia puas dan dapat menerima pribadi serta kemampuan Yusuf, suaminya itu. Sikap ini sangat membantu dalam menghadapi berbagai tekanan di masa raya Natal ini. Alangkah pentingnya bila kita rela merayakan Natal dengan sederhana dan yang terutama sekali kita dapat menerima keadaan serta kemampuan pasangan kita. Firman Allah mengatakan: "Memang ibadah itu kalau disertai rasa cukup, memberi keuntungan besar." (I Timotius 6:6)
The Spirit of Christmas is giving, semangat Natal adalah memberi. Mungkin tahun ini anda tidak bisa memberi hadiah yang mahal untuk pasangan anda. Namun bila anda dapat memberikan compassion, commitment, complement, dan contentment kepada pasangan kita, saya percaya tekanan apapun yang anda hadapi sebagai suami-isteri pada Natal kali ini, anda akan sanggup mengatasi depresi yang diakibatkannya. Saya yakin bahwa Natal kali ini akan menjadi Natal yang paling bermakna dalam hidup anda berdua sebagai suami isteri.
Sumber:
Diambil dan diedit dari: Artikel Bob Jokiman
http://www.5roti2ikan.net/perspektif/2/