Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I

Pengampunan -- Satu Langkah yang Mengarah kepada Allah

Pengampunan -- Satu Langkah menuju Allah

David Augsbereger berkata, "Karena tidak ada satu pun yang kita maksudkan yang selalu benar, dan tidak ada satu pun yang kita usahakan yang selalu tanpa salah, dan tidak ada satu pun yang kita capai tanpa keterbatasan atau kesalahan yang kita sebut manusiawi, kita diselamatkan oleh pengampunan."

Karena pengampunan berakar pada kasih, pandangan sekilas terhadap kasih Kristiani mungkin dapat menolong kita memahami tindakan pengampunan secara lebih mendalam. AGAPE, kasih Kristiani, bersifat tak terbatas dan tak berubah, sekalipun ketika objek kasih tersebut berubah. Ketika Tuhan memerintahkan kita untuk mengasihi sesama kita, Ia menyatakan dengan sangat jelas bahwa orang-orang di sekitar kita itulah yang disebut sesama. Atas dasar perbedaan dan persamaan, seseorang tidak dianggap sesama lagi. Walaupun berbeda dari kita, seseorang masih serupa dengan kita karena orang tersebut adalah sesama kita atas dasar persamaan dengan kita di hadapan Allah, dan bahwa persamaan tersebut tidak dapat diubah. "Kasih Kristiani bersifat spontan dan tulus. Kasih yang ditujukan untuk orang-orang berdosa ini dimaksudkan untuk menyingkapkan kebebasan dan dan kedaulatannya," kata Nygren.

Allah mengasihi kita karena Dia adalah Allah, bukan karena apa yang kita lakukan atau tidak lakukan, yang melayakkan kita mendapatkan kasih. Kasih Allah benar-benar tidak dapat dinilai secara acak. Tidak ada satu pun yang ada di dalam dan melalui sesuatu (terpisah dari Allah), yang memiliki kelayakan atau nilai yang bersumber pada diri, tetapi sesungguhnya, kasih Allahlah yang memberikan nilai dan kelayakan kepada objek kasih tersebut. Sesuatu yang tidak layak atau bernilai memperoleh nilai dan karya yang tertinggi karena dikasihi oleh Allah. AGAPE tidak menuntut nilai, tetapi menciptakannya.

Sesama kita tidak hanya membutuhkan kasih kita, tetapi pengampunan kita juga.

Karena kita harus memberikan pengampunan, kita harus mengatasi hambatan-hambatan yang berupa rasa takut, kesombongan, dendam, mengasihani diri sendiri, dan tekanan sosial.

Karena rasa takut, pengampunan kita akan memberi cap persetujuan atas tindakan orang lain. Rasa takut mengizinkan orang yang menyakiti kita terus-menerus menyakiti kita. Pengampunan membuat kita rentan dan kita takut terhadap hal itu. Jika Anda mengatakan suatu kebohongan tentang saya dan saya mengampuni Anda, kebohongan itu pasti benar, beberapa lainnya mungkin sekadar alasan. Rasa takut yang dibandingkan dengan kasih dan pengampunan Tuhan kita tidak memiliki "alasan yang kuat untuk dipertahankan". Pengampunan kita didasarkan atas kasih kita yang tulus terhadap sesama, entah mereka akan menyakiti kita lagi atau tidak. Pengampunan kita merupakan jawaban terhadap panggilan Kristus untuk mengampuni dan tidak dimotivasi oleh pemikiran manusia. Pengampunan tidak menyetujui kesalahan, tetapi menghapusnya. Pengampunan kita menunjukkan kasih kita terhadap orang yang melakukan kesalahan, bukan pada tindakan yang salah.

Rasa takut ditolak berakar pada kesombongan.

Ketika pengampunan diberikan dan tidak diterima, kita merasakan penolakan yang melukai ego kita. Ketika ego kita mengendalikan tindakan kita, kita lebih baik berhati-hati. Tuhan meminta kita untuk mengampuni ketika disakiti dan meminta pengampunan ketika kita membuat kesalahan kepada saudara kita. Ketika kita memberikan pengampunan, kita telah melakukan apa yang Allah minta. Kita bertanggung jawab untuk tindakan kita sendiri. Jika perasaan tertolak melumpuhkan pengampunan kita, kita harus melihat kehidupan Kristus untuk mendapatkan inspirasi dan pengarahan. "Dan ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah terhadap kami," demikian Tuhan mengajarkan kita dalam doa Bapa kami. Tidak mengampuni sesama kita sama artinya mengatakan "TIDAK" terhadap pengampunan Allah.

Dendam kita terlihat dari sikap kita yang membuat orang yang bersalah merasakan ketidaknyamanan yang kita alami. Kita memperlihatkan perasaan diabaikan dan terasingkan. Perasaan ini merupakan sebuah penyimpangan di antara tindakan pengampunan. Menghindari seseorang tidak sama dengan mengampuni mereka, tetapi menunda tindakan pengampunan Kristen yang tidak dapat dielakkan.

Terkadang, kita menenggelamkan diri kita sendiri dalam lautan perasaan mengasihani diri sendiri, yang menghalangi kita mengulurkan tangan untuk menerima uluran tangan Tuhan kita yang penuh kasih dan pengampunan, yang dapat menolong kita menghadapi diri kita yang terluka. Rasa mengasihani diri sendiri merupakan salah satu hambatan yang paling mematikan bagi pengampunan karena perasaan tersebut membesarkan ego, perasaan terluka, dan menghalangi kita melihat orang yang berbuat salah dengan perspektif kasih dan rasa peduli. Hanya dengan mengidentifikasikan diri dengan sesama, kita benar-benar dapat memahami dan mengampuni. Terkadang kita mungkin melakukan perbuatan salah yang serupa, yang membutuhkan pengampunan. Sebuah kesalahan tidak dapat menjadi alasan yang cukup untuk menurunkan nilai seseorang. Seperti kita sendiri, setiap orang bisa memiliki kelemahan, kebingungan, ketakutan, kepanikan dan kekurangan. Tindakan mengidentifikasi diri dengan orang lain merupakan sebuah langkah penting dalam menembus tembok pengampunan yang tidak terterobos. Dengan kasih, kita melihat suatu tindakan dalam perspektif dan cara pandang yang berbeda dari si pelaku. Pengampunan memungkinkan kita melihat kasih dalam diri orang lain dan kita sendiri.

Pengampunan membebaskan kita dari masa lalu, mengubah masa kini, dan menjamin masa depan yang penuh dengan kasih.

Beratnya penemuan kesalahan menarik kita lebih dalam lagi ke dalam "sungai" mengasihani diri. Salah siapakah ini? Ketika kita merasa dirugikan, kita segera menyalahkan orang lain. Kita melihat diri kita sebagai korban. Sesuatu telah dilakukan terhadap kita. Kita tidak bersalah. Kita mempunyai hak; karena itu, kita menuntut keadilan. Suatu tindakan yang tidak baik seakan mengakhiri kenangan-kenangan indah selama bertahun-tahun, yang dipenuhi kebahagiaan dan sukacita.

Pengampunan membutuhkan keberanian dan kerendahan hati. Ketika kita tidak memiliki keduanya, kita menarik diri dan lari dari situasi tersebut dengan berharap agar pengampunan itu berlalu. Menjauhkan diri tidak menyembuhkan; khayalan bahwa waktu akan menyembuhkan telah berkali-kali terbukti salah. Allah menyembuhkan tepat waktu, jika kita mengizinkan Ia menyentuh hidup kita. Ini adalah kesalahan si Jahat, yang menghancurkan pekerjaan Tuhan, tetapi masing-masing dari kita harus bertanggung jawab atas perbuatan kita sendiri. Pengampunan tidak terletak pada "Salah siapa ini?", melainkan pada "Bagaimana kita bisa memperbaikinya?"

Kepada orang yang melakukan kesalahan, Allah berkata, "Berhenti, pergilah untuk berdamai dan kembalilah." Tidak ada jalan pintas. Allah sendiri tidak melakukannya. Izinkan saya memberikan ilustrasi: Saya menyetir mobil dari tempat parkir gereja dan tiba-tiba mobil saya menabrak sebuah mobil seorang bapak yang baik hati, mobil Mercedes 450 SEL merk baru. Bapak itu mendengar bunyi tabrakan dan melihat kerusakan. Saya keluar dari mobil saya, melihat kerusakan, lalu berlutut berdoa, "Ya Tuhan, ampunilah saya karena saya sembrono dan teledor. Tolong berikan kesabaran dan sikap yang mau mengerti kepada bapak yang baik ini ketika ia pergi untuk memperbaiki mobilnya." Kemudian saya melanjutkan perjalanan dengan tersenyum sambil mengatakan kepada bapak yang baik itu bahwa Allah akan mengurus segalanya sesuai hikmat-Nya. Apa yang akan Anda lakukan jika yang ditabrak mobil Anda? Rekonsiliasi harus dilakukan antara orang yang berbuat salah dan orang yang disakiti. Kepada orang yang disakiti, Allah berkata, "... Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali." Kasih tidak pernah berkesudahan, demikian pula pengampunan.

Ketika kita tidak memiliki sikap mau mengampuni, kita menyimpan kebencian, kepahitan, dan amarah yang besar. Tuduhan dan hukuman tidak pernah menjadi jalan untuk pengampunan, melainkan penerimaan satu sama lain dalam Kristus.

Hati yang tidak mau mengampuni merupakan tanah yang subur bagi kemarahan dan dosa. Kemarahan melahirkan kebencian, kepahitan, dan permusuhan .... Kita berharap hidup ini adil. Allah benar-benar memegang kendali dan Ia mengizinkan segala sesuatu terjadi. Dalam kesengsaraan, kita diuji dan ini merupakan karunia Allah (Filipi 1:29). Masa-masa sulit seharusnya menghasilkan kedewasaan rohani, seperti yang dikatakan Yakobus (Yakobus 1:2-4).

Rasul Paulus berkata, "Segala kepahitan, kegeraman, kemarahan, pertikaian dan fitnah hendaklah dibuang dari antara kamu, demikian pula segala kejahatan." (Efesus 4:31)

Ketika akar kepahitan disirami dengan sikap mengasihani diri sendiri, dan dipupuk dengan hidup dalam ketidakadilan; kepahitan akan tumbuh subur, menghalangi pertumbuhan buah roh dan kapasitas kita untuk mengasihi.

Rasul Paulus berkata, "Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah."

Ada elemen lain yang menghancurkan semangat mengampuni -- tekanan sesama. "Apa kata orang jika saya memaafkan tanpa menuntut keadilan?" Kita bertindak menurut kata Tom, Dick, dan Harry. Masalahnya adalah: Apa yang akan Tuhan saya lakukan jika saya menolak untuk mengampuni? Kita hidup menurut Allah dan Allah saja.

Saya mungkin memaafkan, tetapi dapatkah saya melupakan? Apa artinya melupakan? Tuhan menganugerahkan pikiran yang mampu mengingat hal-hal yang terjadi bertahun-tahun yang lalu kepada kita. Bisakah kita mengingat rasa sakit? Bisa, tetapi kita tidak perlu menghidupinya lagi. Mengapa kita tidak bisa menyimpan kenangan pahit di masa lalu, tanpa menekan tombol pengingat? Mengapa perlu menghidupkan dan mengulanginya? Apakah kita ingin kembali untuk duduk di atas batu nisan tua tempat kepedihan masa lalu terkubur? Benar, memori yang mengerikan dapat terbang kembali, tetapi pengampunan telah mematahkan sayapnya. Kutukan sudah dipatahkan. Kenangan itu telah kehilangan kuasanya untuk membangkitkan kemarahan. Masa lalu adalah masa lalu. Tidak ada yang dapat mengubah kenyataan. Pengampunan mengembalikan masa kini, memulihkan masa depan, dan membebaskan kita dari masa lalu. Bersama Allah, tidak peduli siapa yang benar dan siapa yang salah. Dia melihat dan mengetahui segala sesuatu.

Tidak peduli kita yang berbuat salah atau yang disakiti, kitalah yang harus mengambil langkah pertama. Orang-orang Kristen tidak boleh menyimpan "angka kesalahan". Kasih menutupi banyak sekali dosa dengan pengampunan. Menyimpan angka kesalahan sama halnya dengan duduk di atas kursi penghakiman. Hakim kita adalah Allah dan hanya Allah. Apakah kita saling menghakimi? Kita semua harus bertanggung jawab atas perbuatan kita masing-masing dan menghadap sang Pencipta kita. Tidak ada seorang pun yang ditunjuk sebagai hakim atas siapa pun, jadi mengapa menyimpan angka kesalahan? Maafkanlah dan lupakanlah; Allah akan membereskannya.

Kita tahu bahwa kita telah mengampuni ketika kita dapat melakukan hal-hal berikut:

  • Tidak lagi memiliki "buah" ketidakmauan untuk mengampuni dalam hidup kita.
  • Membicarakan mengenai kesalahan dan orang yang berbuat salah tanpa menjadi marah, benci, ataupun pahit.
  • Membicarakan mengenai orang yang berbuat salah tanpa rasa sakit hati.
  • Mengharapkan yang baik untuk orang yang berbuat salah kepada kita.
  • Melihat orang yang berbuat salah kepada kita dengan pandangan kasih yang tulus dan jujur di hati kita.
  • Mengunjungi kembali tempat kejadian tanpa memiliki reaksi negatif.
  • Berbuat baik terhadap orang yang berbuat salah kepada kita, dan senang berada di dekatnya.

Bapa kami yang bertahta dalam Kerajaan Surga, tolonglah saya untuk dapat mengampuni 70 kali 7 kali; dan jika saya telah berbuat salah terhadap saudara saya, satukan kami kembali dengan kasih-Mu. Dan ketika kami terlalu lemah untuk bertindak sendiri, jangan tinggalkan kami sendiri, ya Tuhan. (t/Stefany)

Diterjemahkan dari:

Nama situs : Othodox Research Institute
Alamat URL : http://www.orthodoxresearchinstitute.org/articles/misc/bitar_forgiveness.htm
Judul asli artikel : Forgiveness - A Step Toward God
Penulis : Archpriest Elias Bitar
Tanggal akses : 5 Desember 2011

Komentar