Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I

Gaya Hidup yang Dikuasai Target

Apakah gaya hidup yang dikuasai target itu salah? Bagaimana kita mengukur target agar dapat memotivasi kita untuk lebih produktif? Bagaimana peran diri kita sendiri untuk menetapkan target secara bijaksana? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, silakan menyimak ringkasan diskusi TELAGA dengan Pdt. Dr. Paul Gunadi sebagai narasumbernya.

T: Banyak orang akhir-akhir ini yang mengeluh sakit jantung, tekanan darah tinggi, dsb. Yang dikeluhkan adalah dia merasa tertekan karena atasannya menentukan suatu target, suatu batas waktu dimana dia harus mencapainya atau harus menyelesaikan tugasnya. Nah, pola yang menetapkan suatu target tertentu itu kadang- kadang memang menolong dan memotivasi seseorang untuk menyelesaikan pekerjaan tepat pada waktunya. Tetapi di lain pihak, hal-hal tsb. juga bisa menimbulkan sakit penyakit yang akhir-akhir ini makin banyak saja. Bagaimana menurut Bapak?
J: Saya kira mulai dari tahun 80-an dimulailah suatu trend atau gaya hidup yang sangat dipengaruhi oleh konsep produksi yaitu produktif. Bukankah dalam setiap perusahaan ada suatu pengharapan bahwa karyawan itu akan produktif. Jadi yang diutamakan adalah menghasilkan sebanyak-banyaknya dengan waktu sesedikit mungkin supaya hasilnya optimal. Akhirnya berangkat dari pemikiran seperti itu rata-rata sekarang para pekerja juga mempunyai konsep pikir seperti itu. Kalau sebelumnya pabrik yang harus produktif menghasilkan banyak produk, sekarang konsep ini pindah ke dalam diri manusia, bahwa saya harus produktif menghasilkan sebanyak- banyaknya dalam waktu sesingkat-singkatnya. Jadi dengan kata lain pola pikir ini memang akhirnya merasuki atau mempengaruhi pola pikir manusia secara umum. Bukan saja di negara kita tapi saya kira juga di negara-negara yang lain.
T: Tetapi pola menetapkan target-target tertentu seperti itu sebenarnya sudah kita kenal sejak di bangku sekolah. Bahkan mungkin di dalam keluarga dimana ibunya atau ayahnya juga menetapkan target, "Kamu harus dapat nilai sekian", "Kamu harus selesai pada tahun sekian", dsb.
J: Betul, jadi benih-benihnya saya kira sudah mulai ditanamkan sejak dari bangku sekolah dan juga dari orangtua di rumah. Namun yang berbeda adalah skalanya masih jauh lebih kecil dan juga penghargaannya. Kalau kita di sekolah mendapat nilai yang baik, ya imbalannya adalah nilai yang baik itu sendiri, sedangkan kalau kita sudah bekerja dan kita berhasil -- misalnya menjual sesuai target -- kita akan dipilih misalnya menjadi "employee of the month" (karyawan teladan bulan ini) dan kita diberi bonus untuk bisa pergi ke suatu tempat dan kedudukan kita akan dipromosikan. Jadi skala imbalan itu jauh lebih besar jauh lebih gegap gempita. Akibatnya orang juga makin lebih terdorong. Nah ada satu istilah yang populer akhir-akhir ini yaitu gaya hidup "driven" (terdorong) -- gaya hidup orang yang dikejar-kejar target, sangat dikuasai oleh target. Bukan saja pabrik yang harus memenuhi target, sekarang manusianya juga harus memenuhi target.
T: Apakah itu salah, Pak? Karena sepertinya orang lalu memandangnya begini, memang hidup itu harus bertarget, kalau tidak kesannya malas dan tidak produktif. Sepertinya orang jadi merasa memang begitulah yang ia lakukan seharusnya.
J: Saya sedikit mundur ke belakang, dulu pun misalnya 30 tahun ke belakang kira-kira, kita tahu banyak orang yang bekerja membuka toko dari pagi sampai malam. Namun demikian kita perhatikan, 30 tahun yang lalu itu orang tidak terlalu dikejar-kejar oleh target. Mereka memang giat bekerja artinya ya kerja sebisanya dan targetnya ya kerja, tidak ada target-target dalam bentuk numerik, dalam bentuk matematis. Saya akan ekspansi lagi, saya akan tambah lagi usaha saya, saya akan kembangkan ini, sedikit sekali yang mempunyai pemikiran seperti itu, sedikit sekali. Nah saya kira dalam 20 tahun terakhir konsep produktivitas lebih digalakkan, sangat digalakkan dan mulai mengena pada manusianya sendiri sehingga pikiran-pikiran bahwa saya harus lebih lagi, saya tahun depan harus begini, saya 2 tahun lagi harus begini, mulai lebih banyak mempengaruhi pola pikir kita. Karena di dalam pekerjaan itulah mereka terima, dan pada diri mereka diterapkan standar yang sama. Seolah-olah memang tidak ada salahnya karena sudah terbiasa. Mengapa saya membawa masalah ini ke permukaan? Karena dampaknya orang menjadi merasa seperti digerogoti, belum lagi dampaknya pada keluarga. Namun pada orang itu sendiri memang akan ditemukan sukacita ketika dia berhasil mencapai target, dia naik lagi, dia naik lagi, dia naik lagi. Tetapi apakah arti hidupnya? Apakah hidupnya hanyalah untuk memenuhi target-target itu? Apakah itu yang membuat dia bahagia? ... Saya harapkan hal- hal yang kita bicarakan ini bisa mulai menggelitik sebagian pendengar kita dan mulai memikir ulang apakah ini tujuan hidup mereka? Apakah ini yang membuat mereka hadir di dunia? Apakah mereka mesin? Apakah diri mereka pabrik? Apakah mereka manusia atau mereka benda atau pabrik yang bisa dimanipulasi dan dioptimalkan terus-menerus? Ini yang harus mereka tanyakan.
T: Ini memang sulit, apalagi kalau pola target ini mengakibatkan kita kecanduan kerja. Bagaimana kita mengukur bahwa target ini mampu memotivasi kita untuk produktif, tetapi tidak menjadi candu buat kita?
J: Sekali lagi awalnya adalah kita mesti jelas dengan apa prioritas hidup kita ini, apa yang ingin kita cari dalam hidup ini. Nah saya suka mengatakan ada 3 pertanyaan yang harus kita jawab dengan baik dalam hidup ini.

Yang PERTAMA adalah "Siapakah yang kita sembah dalam hidup ini?" Harus jelas siapa yang kita sembah. Kita menyembah Tuhankah, kita menyembah manusiakah, kita menyembah uangkah, kita menyembah pekerjaan kitakah? Nah saya berharap kita semua menyembah Tuhan kita Yesus Kristus.

Yang KEDUA, kita juga bertanya "Bagaimana kita hidup?" Pertanyaan ini penting sekali kita jawab. Apakah kita mau hidup seperti mesin, mau memanipulasi orang, mau tinju-tinju orang supaya mendapatkan apa yang kita inginkan, mau menipu orang atau kita mau hidup jujur, atau kita mau hidup seperti yang Tuhan kehendaki.

Dan yang KETIGA, "Dengan siapakah kita hidup?" Maksudnya dengan istri atau suami kita. Kalau kita keliru memilih maka kehidupan kita akan merana seumur hidup. Nah buat saya hidup dengan siapa itu sangat penting, karena saya senang hidup dengan istri dan anak-anak saya, dan saya ingin menikmati mereka. Saya menikmati mereka sebab saya tahu mereka memberikan banyak sukacita kepada saya dalam hidup ini.

T: Firman Tuhan manakah yang memberikan tuntunan kepada kita semua khususnya dalam menetapkan target, supaya kita tidak diperbudak oleh target-target?
J: Saya akan bacakan Matius 6:19-21, "Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi; di bumi ngengat dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar serta mencurinya. Tetapi kumpulkanlah bagimu harta di sorga; di sorga ngengat dan karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya. Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada." Ini perkataan dari Tuhan kita Yesus Kristus "di mana hartamu berada di situlah hatimu berada". Jadi kita mesti tetapkan bahwa harta kita bukan yang ada di dunia ini, ini sementara, ini sarana kita hidup dan Tuhan senang kita bisa hidup dengan bahagia juga. Tapi ini bukan dewa kita, harta kita yang harus kita kumpulkan adalah di sorga. Hanya berapa puluh tahun sih kita akan hidup di dunia ini, setelah itu kita selamanya akan di sorga. Nah itu yang kita harus selalu targetkan.
Sumber
Halaman: 
--
Judul Artikel: 
TELAGA - Kaset T087B (e-Konsel Edisi 031)
Penerbit: 
--

Komentar