Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I
Kejenuhan Dalam Pernikahan
Edisi C3I: e-Konsel 092 - Kejenuhan dalam Pernikahan
Perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, Ph.D. berikut ini akan mengupas masalah kejenuhan yang biasa terjadi dalam suatu pernikahan. Silakan pembaca menyimaknya dan semoga dari ringkasan tanya jawab ini, Anda mendapat berkat.
T : Faktor-faktor apakah yang menyebabkan timbulnya perasaan bosan atau jemu itu?
J : Kita ini manusia yang memang mempunyai daya tarik atau daya ketertarikan yang tinggi terhadap hal-hal yang baru. Jadi, semua hal yang telah kita miliki dan nikmati untuk suatu periode tertentu akan kehilangan daya tariknya. Misalnya, kita mencintai istri kita karena dia cantik, kita mencintai pria ini karena kegantengan dan kelembutannya. Lama-kelamaan, semua itu berubah menjadi sesuatu yang biasa, memang itu adalah kodrat manusiawi. Sesuatu yang baru cenderung mempunyai daya tarik yang lebih kuat dan kalau sudah terbiasa daya tarik itu akan mulai menghilang pula. Adakalanya, hal-hal yang sama, yang terus- menerus kita lakukan akan membuat kita jenuh dalam pernikahan tersebut. Tapi sebetulnya, ada hal-hal yang bisa kita lakukan untuk menghindarkan kejenuhan tersebut. Misalnya, hubungan yang saling mengisi, menyuburkan, menggairahkan, seharusnya mengimbangi kecenderungan kita untuk merasa jenuh. Jadi, dengan kata lain, pernikahan itu seperti suatu keseimbangan, suatu equilibrium dimana harus ada keseimbangan antara dua faktor itu. Di satu pihak, memang kecenderungan manusia secara kodrati adalah untuk merasa bosan. Dengan cara itulah pernikahan kita akan langgeng.
T : Kebosanan itu terkait erat dengan emosi dan perasaan kita, apakah kalau timbul kebosanan lalu ada perasaan lain yang sebenarnya mengatakan jangan-jangan kita ini tidak mencintai pasangan kita lagi?
J : Dugaan itu acapkali muncul, kita cenderung beranggapan bahwa pasangan kita itu sudah berubah, tidak lagi seperti dulu, cintanya kepada kita mulai berkurang. Jadi, pada dasarnya pernikahan itu memang perlu dipupuk agar kuat, supaya kita yang menjadi insan nikah itu merasakan keamanan. Rasa tidak aman cenderung membuat kita berpikir apakah dia masih mencintai kita atau tidak. Tapi rasa aman tidak menggugah kita untuk mempertanyakan hal-hal seperti itu. Rasa aman merupakan sesuatu yang perlu ditanam dan dipupuk dalam pernikahan. Otomatis ini berkaitan dengan perasaan dicintai. Ada orang yang beranggapan sekali mencintai, akan selama-lamanya mencintai. Sekali dicintai selama-lamanya akan dicintai, ini harapan pada pasangan kita. Kenyataannya tidaklah demikian, cinta itu bisa padam, kita bisa kurang mencintai dan kebalikannya pasangan kita bisa kurang mencintai kita pula.
T : Hal apa yang bisa kita lakukan untuk memupuk hubungan pernikahan supaya kebosanan itu jangan menjadi-jadi atau menguasai kehidupan kita?
J : Kita perlu membangun suatu hubungan yang saling mengisi. Kita ibaratkan saja bahwa kita ini seperti wadah kosong yang perlu diisi. Sebetulnya, kita datang ke pernikahan dengan harapan pasangan kita akan mengisi kita. Meskipun kita orang yang mandiri, orang yang sudah sehat tetapi tetap terbersit harapan bahwa pasangan kita akan mengisi kita. Kita mengharapkan, PERTAMA, pasangan kita bisa mengerti kita. Kita adalah orang yang sangat butuh pengertian, supaya kita merasakan hidup ini masuk akal. Kalau kita hidup di tengah-tengah orang yang tidak bisa mengerti kita, kita merasakan hidup ini tidak masuk akal. KEDUA, kita akan merasa sendiri atau sepi kalau tidak ada yang bisa benar-benar memahami kita. Salah satu hal mendasar yang kita harapkan dari pasangan kita adalah dimengerti. Adakalanya, problem belum bisa selesai pada hari yang sama, tapi kalau kita merasakan bahwa pasangan kita sudah mengerti yang ingin kita sampaikan atau kemukakan, sebetulnya kita merasa lebih lega. Jadi, kebutuhan untuk dimengerti itu penting sekali, ini adalah salah satu dari sejumlah kebutuhan-kebutuhan yang lainnya. Mengisi artinya adalah mengisi kebutuhan yang mendasar, misalnya merasakan kita ini berharga, dicintai, dan diperhatikan. Jadi, sebetulnya pernikahan yang bisa terhindar dari kejenuhan adalah pernikahan yang saling mengisi.
T : Apakah mungkin yang dibutuhkan adalah kreativitas dari suami istri itu supaya pasangannya tidak bosan?
J : Betul, pernikahan adalah sesuatu yang mempunyai dua sisi yang kelihatannya paradoks. Kita menikah karena pernikahan itu memenuhi kodrat kita sebagai manusia sosial, kita menginginkan kedekatan, keintiman itu sebabnya kita menikah. Pernikahan memberikan wadah untuk terpenuhinya kebutuhan keintiman tersebut. Di pihak lain, sebetulnya pernikahan itu mempunyai sisi yang berlawanan dengan kodrat kita, yaitu kita ini memang orang yang tidak tahan lama dengan sesuatu yang sama, sejak kecil kita terbiasa hidup dengan yang baru. Mainan lama yang tidak kita sukai akan kita singkirkan, kita minta dibelikan mainan yang baru. Sekarang kita menikah dengan orang yang kita cintai, tapi lama-kelamaan mulai ada problem, ada konflik. Cinta itu tidak lagi segemerlap sebelumnya, kejenuhan mulai muncul. Kita tidak bisa mengatakan, "Aku sudah bosan, aku hendak melepaskan engkau dan mencari yang baru." Itu bertentangan dengan yang Tuhan minta, tapi sesungguhnya kita harus mengakui itu dalam sifat manusiawi kita. Jadi, pernikahan memang mempunyai sisi atau aspek yang paradoks dan kita harus bekerja keras untuk mempertahankannya dan melawan sifat manusiawi kita itu. Agar kita bisa mengatasi sifat manusiawi kita yang cenderung jenuh, kita harus kreatif dan yang namanya kreatif tidak memerlukan kreativitas yang sangat tinggi. Kita bisa melakukannya dengan berjalan-jalan berdua, pergi belanja berdua, itu sesuatu yang bisa dilakukan oleh semua orang.
T : Apa tanda-tanda yang lazimnya muncul ketika kebosanan datang?
J : Salah satu tanda adalah kita cepat merasa terganggu dengan pasangan kita, misalnya ketika ditanya oleh pasangan kita mengapa pulang terlambat, kita merasa terganggu, jengkel, dan marah. Itu merupakan suatu tanda bahwa kita ini bosan atau tidak lagi menikmati hubungan ini, mulai merasa jenuh atau jemu dengan kita, tidak ada lagi yang menarik tentang kita seperti dulu atau mungkin masih ada tetapi sudah sangat berkurang.
T : Biasanya, kita tidak mau mengakui bahwa kita itu sedang bosan. Kalaupun seandainya pasangan kita menanyakan secara terbuka, walau kita sedang bosan, kita sulit mengatakannya, takut dia tersinggung. Bagaimana pemecahannya?
J : Sebaiknya kita tidak menggunakan kata bosan, kita langsung masuk kepada problemnya. Sebab kejenuhan identik dengan problem, ada hal-hal yang tidak kita sukai, sebetulnya itu intinya. Jadi, langsung saja soroti pada problemnya, apa yang kita harapkan yang tidak terpenuhi, problem apa yang belum terselesaikan dalam hubungan kita ini, apa yang tidak kita sukai tentang dirinya yang terus-menerus harus kita terima, hal-hal itu langsung harus kita bicarakan. Jadi selesaikan masalahnya, bukan kebosanannya.
T : Di dalam kebosanan yang mulai timbul, biasanya mudah sekali orang ketiga masuk ke sana. Bagaimana hal itu bisa diatasi oleh pasangan suami istri, yang salah satu mungkin atau bahkan dua- duanya, sedang dilanda oleh kebosanan?
J : Mengutip satu bagian firman Tuhan yang mungkin bisa menjadi kesimpulannya juga, yaitu cerita tentang pencobaan Tuhan Yesus di padang gurun. Dikatakan oleh si pencoba atau Iblis kepada Tuhan kita, dicatat di Matius 4:3, "Jika Engkau Anak Allah, perintahkanlah supaya batu-batu ini menjadi roti." Tetapi Yesus menjawab, "Ada tertulis: Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah." Yesus Tuhan kita sudah tentu dalam problem yang besar, yaitu tidak makan setelah 40 hari 40 malam berpuasa. Jalan pintas yang tercepat adalah memerintahkan atau mengubah batu menjadi roti, dan Ia mampu melakukannya. Tapi Tuhan Yesus di sini memberikan suatu jalan keluar yang lebih panjang tidak sepintas seperti tadi itu, yakni mempercayakan problem hidup ini, kesulitan hidup ini kepada Tuhan. Sebab yang lebih penting daripada jalan pintas ini adalah mentaati perintah Tuhan itu sendiri. Maka, Dia mengatakan bahwa yang lebih penting adalah setiap firman yang keluar dari mulut Allah sendiri. Bagi siapa yang sedang mengalami kejenuhan, kebosanan, godaan untuk mencicipi yang lebih besar di luar, luar biasa besarnya dan itu jalan pintas yang akan mengobati kejenuhan kita, akan menyemarakkan kehidupan kita, tapi masalahnya itu tidak keluar dari mulut Allah, itu keluar dari mulut si Iblis. Nasihat dari Tuhan adalah pentingkanlah yang keluar dari mulut Allah, memang jalannya lebih pintas tapi itu keluar dari mulut si Iblis. Jalan Allah mungkin lebih panjang tapi keluar dari mulut Allah sendiri.