Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I

Kegagalan Orang Percaya

Hidup dalam dunia yang berdosa sering diwarnai dengan realita dan pengalaman-pengalaman yang tidak fair. Hal yang tidak asing ini anehnya selalu hadir dalam jiwa manusia yang selalu "tidak siap." Ayub, yang begitu istimewa pun (Allah menyebut sebagai "hambaKu ...tiada seorangpun dibumi seperti dia yang demikian saleh dan jujur" 1:8) kaget dan jiwanya bergolak dengan penuh kesakitan menerima pengalaman hidup yang dirasakan "sangat tidak fair." Bahkan Tuhan Yesuspun harus menangis (bukan tidak berdaya) menghadapi orang-orang yang dikasihi ditengah kondisi ketidak-fairan hidup yang tak terhindarkan (Yoh 11:35). Hidup memang penuh dengan hal-hal yang tidak fair.

Sejak mula Alkitab telah menyaksikan bahwa akibat dari kejatuhan manusia dalam dosa, seluruh dunia dengan isinya telah tercemari oleh dosa. Disamping realita utama bahwa dosa manusia adalah "dosa status (bukan tergantung pada kondisinya) di hadapan Allah," pada hakekatnya dosa selalu menular dan berkembang. Kejatuhan Hawa diteruskan dengan kejatuhan Adam dan seterusnya. Tetapi heran di tengah realita yang "tak terhindarkan ini (inevitable)" Allah menuntut pertanggungjawaban penuh dari setiap individu atas kejatuhannya dalam dosa. Keluhan Adam ("perempuan...dialah yang memberi..."Kej 3:12) tidak mengurangi tanggung jawab yang harus dipikul sebagai manusia yang berdosa. Begitu juga Hawa. Meskipun faktanya, ularlah yang mencobai dia, dosa Hawa tak dapat dilimpahkan dan dialihkan kepada ular. Bahkan iblis sebagai sumbernya pun, dalam konteks pertanggungjawaban manusia, tak pernah disebut oleh Allah sebagai penyebab. Helmut Thielicke mengatakan:

Adam can not attribute his guilt to Eve, nor Eve hers to the Serpent. It is of the nature of the personal, and of the inner perspective which is entails, that o person must always regard himself as the first cause. For our personhood is constituted, not by our being secondary to or subsequent to our own genesis or to other determinative causes, but by our being confronted with God (i.e/, by responsibility). This is also why the reality of the demonic never appears in the Bible a cause, but only as an expression of the self-bondage / Adam dan Hawa tak dapat mengalihkan tanggung jawab keberdosaan mereka, karena dosa adalah masalah tanggung jawab pribadi sehingga setiap individu bagaimanapun keadaannya selalu bertanggung jawab sebagai penyebab pertama. Dan ini sesuai dengan natur manusia yang berdiri sendiri di hadapan Allah. Itulah sebabnya dalam konteks tanggung jawab manusia, Setan pun tak pernah disebut sebagai penyebab dari keberdosaan manusia. ("Theological Ethics," Vol 1.p.288).

Dengan mamahami ini, sikap orang percaya di tengah kondisi yang "tidak fair" dalam kehidupan ini menjadi sangat istimewa. Dan sikap itulah yang sebenarnya menentukan kehidupan imannya. Ia bisa mengeluh, protes, berontak dan mencari siapa yang dapat dipersalahkan. Tetapi ia bisa juga memilih untuk memikul tanggung jawabnya sendiri. Rasul Paulus memilih yang kedua. Sehingga di tengah penderitaannya yang tak terhindarkan ia dapat menemukan mutiara iman yang sejati yang ia saksikan bahwa "justru dalam kelemahanlah kuasa Kristus menjadi nyata dan menemukan kepenuhannya" (II Kor 12:9-10).

Sekarang bagaimana prinsip ini dihadirkan dalam realita kehidupan nyata orang-orang yang lemah iman? Coba perhatikan kasus di bawah ini.

Sudah empat kali Ibu Ani mencoba bunuh diri. Tuhan masih melindunginya. Kehidupan pernikahannya memang tidak pernah baik. Ia dinikahkan dengan seorang laki-laki pengangguran (anak orang kaya yang selalu dimanja) yang jahat, suka berjinah, peminum, penjudi, dan abusive (suka menganiaya baik secara fisik maupun secara emosi dengan kata-kata yang melukai hati).

Hari ini ia datang menemui konselor, lalu dengan air mata bercucuran ia mengatakan bahwa dirinya adalah orang Kristen yang gagal. Ia merasa sangat bersalah, karena tak dapat mengampuni suami, tak dapat mencintai suami, dan tak dapat melayani suami. Ia bertanya,"apa yang harus saya lakukan? Saya ingin menjadi orang Kristen yang baik, tetapi tak ada sedikitpun kebaikan dalam hidup saya." Memang kedua anaknya baik-baik semua. Dan inilah yang memberikan semangat hidup meskipun naik turun sesuai dengan kondisi yang ada.

Sekarang bagaimana dan apa yang menjadi prinsip-prinsip pelayanan konseling yang dapat dipakai untuk menolong ibu Ani?

  1. Ibu Ani membawa rasa bersalah yang mendalam dan tugas konselor yang pertama adalah mengklarifikasi apa sebenarnya rasa bersalah tersebut. Ada berbagai rasa bersalah dan tak semua rasa bersalah adalah rasa bersalah yang benar dan sehat. Oleh sebab itu jikalau Ibu Ani mengatakan "saya sangat menyesal, saya bukan orang Kristen yang baik, saya tak punya kebaikan apapun juga," maka konselor perlu meresponi dengan pertanyaan klarifikasi. Misalnya: "bu Ani, rasanya Ibu sangat menyesal tetapi dapatkah Ibu katakan kepada saya apa yang sebenarnya Ibu sesali? Apakah karena Ibu tak dapat menolong suami yang punya begitu banyak kelemahan...atau karena Ibu tak dapat mengampuni suami...atau karena apa?"

    Seringkali jawaban klien membutuhkan beberapa langkah klarifikasi. Coba perhatikan percakapan selanjutnya.

    Ibu Ani : "Yah, yang saya sesali adalah karena saya tak dapat jadi orang Kristen yang baik."
    Konselor : "Maksud Ibu...?"
    Ibu Ani : "Yah saya ingin jadi ibu yang baik...kasihan anak-anak saya (menangis)".

    Jadi, rupanya yang disesali ibu Ani bukan dalam hubungan dengan suaminya tetapi lebih banyak dalam hubungan dengan kedua anaknya. Kemungkinan hubungan dan perasaan terhadap suaminya sudah beku, sehingga ia tidak lagi mengharapkan adanya perbaikan hubungan dengan suaminya. Ini juga membutuhkan klarifikasi. Oleh karena itu, konselor dapat melanjutkan percakapan diatas dengan: "Ibu ingin anak-anak tidak menjadi korban...sehingga di tengah kerinduan Ibu untuk dapat membangun hubungan yang harmonis dengan suami...Ibu merasa tidak mempunyai kemampuan yang cukup untuk berperan sebagai ibu Kristen yang baik..." Untuk ini ibu Ani menjawab:"Saya tidak berharap lagi untuk mempunyai hubungan yang harmonis dengan suami...terlalu menyakitkan,...sudah habis...yang saya kuatirkan cuma anak-anak..." Dengan jawaban ini nyata bahwa rasa bersalah ibu Ani hanyalah rasa bersalah karena merasa dirinya kurang mampu menunjukkan peran ibu Kristen yang baik di hadapan anak-anaknya. Dan ini adalah rasa bersalah yang tidak cukup utuh sesuai dengan konteks seluruh pertanggungjawabannya sebagai orang Kristen. Mengapa demikian?

    1. Sebagai orang kristen sikapnya harus diatur oleh hubungan pribadinya dengan Kristus dan bukan oleh kondisi dan pengalaman hidupnya. Memang benar kondisi pernikahannya parah dan pengalaman- pengalaman pahit menyakitkan dialami terus-menerus dengan suaminya. Memang secara empiris tak ada hal yang loveble dan menyenangkan dalam diri suaminya. Tetapi, ia harus ingat bahwa laki-laki tersebut siapa pun dia dan bagaimanapun kualitasnya, adalah suaminya. Artinya, di hadapan Allah dia sudah disatukan dengan dirinya. Laki- laki itu adalah bagian dari seluruh keutuhan dirinya. Oleh sebab itu, ia harus memilih sikap hidup yang mana yang akan diambil. Apakah sikap hidup yang didasarkan pada pengalaman objektif atau sikap hidup yang lahir dari jiwa yang sudah dimerdekakan Kristus.

      Helmut Thielicke mengatakan, "freedom and necessity arise in two quite different perspectives, perspectives which do not stand in any demonstrable objective relationship to one another. Freedom arises in the non-objective inner world of the ego insofar as it is the active subject in the making of decisions. Necessity arises in the objective external world which 1 posit for observation/kebebasan dan kebutuhan muncul dari dua sudut yang berbeda , yang tak dapat disatukan oleh tujuan atau objektif yang sama. Kebebasan tidak diatur oleh tujuan yang nampak oleh karena lahir dari ego manusia yang mempunyai hukumnya sendiri. Lain halnya dengan kebutuhan, yang terikat dengan keinginan objektif yang ada diluar diri manusia itu sendiri (Theological Ethics, Vol 1.p.286).

      Anehnya, di hadapan Kristus, setiap individu dituntut untuk mempertanggungjawabkan imannya secara pribadi dan dalam status "freedom/kebebasan ego yang sudah dimerdekakan Kristus." Sehingga, jikalau bicara tentang iman tak lain daripada berbicara tentang bagaimana "freedom" tersebut didemonstrasikan.

      Dengan demikian, ibu Ani tak boleh kehilangan keinginan untuk mencintai dan membangun kehidupan yang harmonis bersama suaminya. Siapa pun dia dan bagaimanapun buruk perbuatannya. Karena hal-hal objektif yang disadari tidak mengatur "freedom atau kebebasan egonya."

    2. Karena Allah menuntut pertanggungjawaban iman sesuai dengan "kemampuannya" (Mat 25:15). Ibu Ani tak boleh mempercayai perasaannya sendiri. Meskipun kondisi hidupnya seolah-olah tidak memberi modal apapun juga untuk berperan sebagai istri dan ibu yang baik, sebenarnya Allah menyediakan talenta tertentu padanya (karena memang kepada setiap hambaNya Allah memberikan talenta sesuai dengan kesanggupannya). Mungkin cuma satu talenta, tetapi jangan ia menjadi hamba yang jahat yang memendam dan mematikan talenta tersebut.

      Kalau mau jujur, ibu Ani akan mengakui bahwa ia masih punya dua anak yang baik-baik, yang mengasihi dan menghormati dirinya. Nah, itu jelas-jelas adalah talenta yang Allah berikan. Mengapa ia merasa tak terbeban untuk mengerjakan talenta tersebut untuk kemuliaan Allah, misalnya: melalui itu memenangkan suaminya? Barangkali ia bisa mulai membentuk sistem persekutuan dan doa dengan strategi yang lebih baik. Sehingga setiap kali bersama dengan kedua anaknya ia mencipta "koinonia/persekutuan tubuh Kristus." Ingat, Tuhan berjanji dimana ada dua atau tiga orang berhimpun di dalam ikatan kasih-Nya, Ia akan hadir disana (Mat 18:20). Berarti janji kehadiran Allah diberikan yaitu kehadiran penyertaan dan kuasa-Nya. Siapa yang dapat mengubah suaminya kecuali Allah sendiri?

      Penyesalan ibu Ani harus diperbaiki, dari sekedar penyesalan yang egosentristik, menjadi duka cita surgawi yang menghadirkan belas kasihan dan kuasa Allah. Dalam persekutuan dengan Tuhan, jerih payahnya tidak sia-sia (1Kor 15:58).

  2. Ibu Ani sudah apatis terhadap kehidupan pernikahannya, tugas konselor adalah menghidupkan kembali api yang sudah hampir padam. Alkitab menyaksikan tentang sikap Allah terhadap orang percaya, bagaimanapun hopeless keadaannya. Ia berfirman: "buluh yang patah terkulai tidak akan diputuskannya dan sumbu yang pudar nyalanya tidak akan dipadamkannya...sampai Ia menegakkan hukum di bumi" (Yes 42:3). Tidak ada kata "hopeless" bagi orang yang percaya. Oleh sebab itu tugas konselorlah untuk menghidupkan kembali keinginan dan pengharapannya. Misalnya, mengingatkan dia supaya sistem hidupnya diperbaharui setiap saat (Yes 40:28-31) supaya ia tidak lagi menghadirkan dirinya sebagai "stimulant dosa" bagi suaminya, yang justru membangkitkan kemarahan dan kejengkelannya.

    Mintalah dalam doamu dan belajarlah untuk memiliki sistem hidup yang baru, yang orang berdosa pun terpaksa akan menutup mulutnya di hadapanmu, dan diam-diam mengakui kebaikanmu" (Rom 12:20-21).


 
Oleh: Yakub B. Susabda, Ph.D
 
 
----------------------ooooooooOOOooooooo--------------------------

 
 
PERSPEKTIF PSIKOLOGIS

Rasa Bersalah

Sebenarnya, rasa bersalah bukanlah gangguan jiwa; rasa bersalah adalah salah satu bahan yang menghasilkan gangguan jiwa. Dari rasa bersalah yang berlebihan muncullah masalah-masalah neurotik seperti gangguan obsesif-kompulsif, depresi, dan kecemasan. Mungkin bagi sebagian kita, rasa bersalah tidaklah sampai menciptakan gangguan neurotik tetapi bagi yang lainnya, rasa bersalah cukup mengganggu kehidupan kita. Kita merasa lumpuh, tidak berani bertindak, takut keliru, dan akhirnya tidak memaksimalkan potensi diri. Penyandang rasa bersalah yang berlebihan identik dengan penyandang cacat; keduanya terbatasi dalam pengaktualisasian diri.

Rasa bersalah merupakan suara tuduhan dari dalam diri kita atas kegagalan menjadi atau melakukan sesuatu. Rasa bersalah bisa dimunculkan dari luar akibat tudingan dari telunjuk orang lain maupun dari dalam bahwa kita gagal mencapai standar yang kita tetapkan untuk diri sendiri. Bak cemeti, rasa bersalah mencambuk kita sebagai hukuman atas kekurangan, kekeliruan, atau pelanggaran kita.

Rasa bersalah perlu dibedakan dari rasa malu. Rasa malu merupakan reaksi menyembunyikan diri dari dan akibat dari penilaian orang atas kekurangan, kekeliruan, atau pelanggaran kita. Rasa malu tidak harus bermuatan rasa bersalah dan rasa bersalah tidak harus berisikan rasa malu. Sebagai contoh, kita malu karena hasil ujian kita jauh di bawah rata-rata kelas. Dalam contoh ini kita tidak harus merasa bersalah akibat nilai kita yang rendah itu. Yang membuat kita malu ialah anggapan bahwa teman-teman memandang rendah kita, anggapan yang muncul dari logika sederhana bahwa yang tinggi selalu meremehkan yang rendah.

Sebaliknya, kita mungkin saja merasa bersalah karena telah menyogok seorang petugas namun kita tidak merasa malu sedikit pun. Kita beranggapan perbuatan menyogok merupakan perbuatan yang umum dilakukan oleh banyak orang jadi tidak perlu merasa malu. Di sini kita dapat menyimpulkan bahwa rasa malu dan rasa bersalah tidak harus saling terkait. Bahkan dalam kasus tertentu, rasa bersalah dan rasa malu yang seharusnya ada, justru tidak muncul. Misalnya, sekelompok massa membunuh dan membakar seorang pencuri tanpa merasa bersalah atau pun merasa malu dengan perbuatan "heroiknya."

Rasa bersalah bukanlah sesuatu yang salah sehingga harus dilenyapkan dengan begitu saja. Ada tempatnya untuk rasa bersalah yang sejati yakni tatkala kita berdosa, baik terhadap Tuhan maupun sesama kita. Namun, kadang kita terbelit oleh rasa bersalah semu, yaitu rasa bersalah karena kita tidak berhasil mencapai target yang telah kita tetapkan untuk diri sendiri dan target ini tidak berkaitan dengan dosa, baik terhadap Tuhan maupun sesama kita.

Saya kira, satu hal kita menyayangkan kegagalan kita mencapai sesuatu yang kita targetkan dan hal yang lain bila kita menyalah- nyalahkan diri. Rasa bersalah yang berlebihan seperti ini justru melumpuhkan motivasi kita untuk mengejar target. Rasa bersalah berorientasi ke belakang dan menyoroti aspek "mengapa tidak" yang tidak dapat terjawab atau diubah lagi. Rasa bersalah yang tidak pada tempatnya menguras energi yang sebenarnya bisa kita gunakan untuk melangkah maju dan membangun ulang.

Sebagaimana telah saya singgung di atas, rasa bersalah pada dasarnya adalah bentuk penghukuman yang kita jatuhkan pada diri sendiri. Rasa bersalah merupakan perasaan yang menyiksa dan dengan tujuan itulah kita terus menerus menghujamkan kalbu kita dengan rasa bersalah. Masalahnya ialah, kita tidak tahu kapan kita harus berhenti dan berkata, "cukup!"

Baik Petrus maupun Yudas telah melakukan kesalahan yang berat. Petrus menyangkal mengenal Tuhan Yesus dan Yudas mengkhianati Tuhan. Sebenarnya keduanya melakukan pelanggaran yang identik dan terkait. Sewaktu Petrus menyangkal mengenal Tuhan sesungguhnya ia telah mengkhianati Tuhan. Sejajar dengan itu, tatkala Yudas mengkhianati Tuhan Yesus, sebenarnya ia menyangkal ikatan batiniahnya dengan Tuhan. Petrus merasa bersalah dan menangis tetapi ia tetap berada dalam lingkup Tuhan, dalam hal ini, sesama murid. Yudas merasa bersalah; Alkitab tidak mencatat ia menangis, ia pergi menggantung dirinya. Petrus melihat ke depan masih ada hidup dengan Tuhan, sedangkan Yudas melihat ke belakang tidak ada lagi hidup dengan Tuhan.

Rasa bersalah memaksa kita menoleh ke belakang dan kadang itu perlu kita lakukan. Namun, setelahnya, kita harus kembali menghadap ke muka masih ada hidup dengan Tuhan! Orang yang hidup sekarang di bawah penghakiman masa lalu adalah orang yang dirantai. Orang yang hidup sekarang di bawah janji masa depan adalah orang yang merdeka. Tuhan sendiri pernah berjanji, "...Dan kamu akan mengetahui kebenaran dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu." (Yoh 8:32). Jadi, silahkan menengok ke belakang, asal tidak berjalan ke belakang.


  Oleh: Paul Gunadi, Ph.D
 
Sumber
Halaman: 
--
Judul Artikel: 
Parakaleo (Edisi Apr. - Juni 2000)
Penerbit: 
Departemen Konseling STTRI

Komentar