Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I
Refleksi Diri tentang Hidup Melajang
Sebagai seorang remaja, bagi saya pernikahan yang diadakan di gereja merupakan momen yang amat menggetarkan hati dan dinanti-nanti. Bangku-bangku gereja dihiasi pita dan renda, bunga bertebaran di mana-mana, dan nampan-nampan berisi makanan lezat ditata di atas meja-meja panjang berlapis taplak indah.
Dan, tentu saja, lorong berkarpet merah, yang akan dilalui pengantin wanita dengan bergerak perlahan, melangkah seirama dengan alunan musik pernikahan. Tumbuh dewasa dengan melihat begitu banyak peristiwa semacam ini, membuat saya terkadang membayangkan diri saya berjalan menyusuri lorong yang sama... suatu hari nanti.
Ya, seperti banyak orang lain, saya percaya bahwa suatu hari, di suatu tempat, seorang saudara seiman akan datang kepada saya. Tetapi, tahun-tahun berlalu begitu cepat tanpa saya sadari. Teman-teman yang dahulu berceloteh ria bersama saya dalam banyak acara pernikahan, telah menjalani acara pernikahan mereka sendiri. Satu demi satu, mereka terbenam dalam kehidupan mereka, bersama seseorang istimewa di sisi mereka.
Dan, suatu hari, terdengar berita bahwa seorang murid kelas pendidikan agama yang dulu pernah saya ajar telah menikah. Pada saat itulah kesadaran ini menghantam saya: inilah saatnya untuk menganggap diri saya sebagai orang yang telah "ketinggalan kereta", seperti yang dikatakan orang. Impian pernikahan gadis muda perlahan-lahan digantikan oleh rencana-rencana praktis dan realistis tentang bagaimana menghabiskan sisa hidup saya tanpa seseorang yang istimewa.
Ketika tawaran untuk menulis artikel tentang "hidup melajang" ini datang, reaksi pertama saya adalah tertawa. Saya bertanya-tanya apakah saya terlihat seperti seorang "guru hidup melajang. Benak saya melayang membayangkan diri saya sedang duduk di atas bunga teratai di suatu gua entah di mana, menebarkan mutiara-mutiara kebijaksanaan kepada calon-calon lajang-abadi yang masih muda dan mendengarkan dengan mata terbelalak.
Masalah yang sesungguhnya adalah, saya hanya tahu sedikit tentang hidup melajang! Ya, saya sadar akan status lajang saya ketika hampir semua teman sebaya saya telah menikah dan punya anak. Meskipun demikian, masih terlalu banyak hal tentang kehidupan melajang yang belum saya pikirkan baik-baik dengan kepala dingin.
Apa yang dikatakan Tuhan tentang tetap melajang? Adakah satu titik ketika orang harus membuang harapan untuk menikah? Nasihat apa yang diberikan Alkitab kepada para lajang? Seperti apakah pendekatan yang sehat untuk menjadi seorang Kristen yang melajang?
Itu adalah pertanyaan-pertanyaan yang masih saya pikirkan, tanpa adanya tanda-tanda akan tiba pada suatu keputusan, kalau memang ada. Bagaimanapun juga, satu-satunya hal yang berani saya harapkan adalah membagikan secara pribadi apa yang saya alami sampai saat ini.
Ruang Lingkup Diskusi
Mungkin saya harus harus menggambarkan ruang lingkup "hidup melajang" untuk artikel ini sebelum melanjutkan lebih jauh. Kata "lajang" lazim dikaitkan dengan status "tidak menikah".
Remaja SMA umumnya tidak dianggap sebagai ataupun merasa bahwa dirinya lajang, walaupun mereka tidak menikah. Kaum muda-dewasa tidak menikah, yang berusia antara awal sampai akhir 20-an, terlalu muda untuk kehilangan harapan bahwa mereka akan bertemu seseorang yang akan menghabiskan sisa hidup bersama mereka.
Hidup melajang menjadi suatu pertimbangan dan kenyataan ketika Anda menemukan diri Anda "lajang" sementara hampir semua teman sebaya Anda telah mantap dan membangun keluarga sendiri. Sebagai tambahan, Anda menyerah pada kenyataan bahwa kecil kemungkinannya Anda akan menemukan seseorang.
Hal ini sebagian disebabkan karena setelah melewati titik tertentu, kelompok calon pasangan semakin berkurang, berlawanan dengan umur. Alasan lainnya adalah mungkin Anda telah jauh menjalani hidup, bahagia seperti yang diharapkan dan hatinya mantap, dan Anda tidak lagi merasakan kecenderungan ataupun memiliki hasrat untuk terlibat dalam urusan pernikahan.
Dalam banyak kasus, menjadi lajang berarti Anda telah berjuang dengan kenyataan akan kesendirian dan tahu bahwa Anda menghadapi kemungkinan untuk tetap demikian selama sisa hidup Anda.
Anugerah Pernikahan
Tuhan menyelesaikan penciptaan-Nya dalam enam hari. "Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik" (Kejadian 1:31). Tetapi, Tuhan berkata, "Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjdikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia" (Kej. 2:18).
Melihat bahwa tidaklah baik bagi Adam untuk sendirian, Tuhan menciptakan seorang perempuan, Hawa, setelah semua ciptaan-Nya terbentuk. Tak dapat disangkal lagi, anugerah pernikahan adalah hal yang indah di mata Tuhan.
Anugerah kebahagiaan yang dibawa Tuhan kepada Adam ini tidak memerlukan penjelasan lagi, seperti dibuktikan oleh reaksi Adam ketika melihat Hawa: "Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku" (Kejadian 2:23). Pernikahan, yang ditangani dan dihargai dengan baik, adalah sesuatu yang mengagumkan.
Setelah dewasa, saya terus-menerus mendengar orang-orang berbicara tentang "anugerah hidup melajang". Sebagian besar pembicaraan ini didasarkan pada tulisan Paulus dalam 1 Korintus 7, di mana dia sering dikutip sebagai menganjurkan hidup melajang.
Dia berkata, "Aku berpendapat, bahwa, mengingat waktu darurat sekarang, adalah baik bagi manusia untuk tetap dalam keadaannya" (ay. 26). Melalui penyelidikan yang lebih mendalam, kasus hidup melajangnya Paulus nampaknya adalah kasus khusus, mengingat "waktu darurat" pada masanya.
Dalam setiap abad setelah munculnya seperti halnya Roh Kudus adalah kekristenan, jemaat telah melihat diri mereka sebagai hidup di zaman akhir. Tidak diragukan ini adalah sikap yang benar untuk dimiliki agar dapat selalu siap sedia.
Kita tidak tahu kapan saat kedatangan Tuhan yang kedua kali, tetapi hal itu tentunya tidak menghalangi kita dari menjalani hidup di bumi ini dan menikmati berkat-berkat Tuhan. Tidak perlu ada pantangan total, seperti menolak pernikahan dan memilih hidup dalam pengasingan sebagai pertapa.
Rasul Paulus memberikan penjelasan mengapa dia ingin supaya "semua orang seperti [dia]" (1 Korintus 7:7). Inilah alasannya: "orang yang tidak beristri memusatkan perhatiannya pada perkara Tuhan, bagaimana Tuhan berkenan kepadanya. Orang yang beristri memusatkan perhatiannya pada perkara duniawi, bagaimana ia dapat menyenangkan istrinya" (ay. 32,33).
Pada saat membaca pandangan Paulus ini, janganlah kita mengambil kesimpulan bahwa hidup melajang lebih diharapkan daripada menikah. Tetapi pendekatan yang lebih tepat adalah dengan membacanya sambil mengaitkan dengan kata-kata Tuhan berikut ini: "Barangsiapa mengasihi bapa atau ibunya lebih daripada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku" (Matius 10:37).
Pernikahan yang menjauhkan Anda dari Tuhan tidaklah baik. Dalam pernikahan, memberi Tuhan prioritas utama harus merupakan prinsip pertama. Menikah dalam Tuhan sesungguhnya memberikan kesempatan bagi pertumbuhan pribadi dan melatih kasih. Memiliki pasangan yang dapat diajak berjalan dalam iman pastilah merupakan perkara indah yang mulai dihargai oleh jemaat yang telah menikah.
Paulus mengakui, "Tentang para gadis: untuk mereka aku tidak mendapat perintah dari Tuhan" (1 Korintus 7:25). Hidup melajang bukanlah suatu "anugerah" seperti halnya Roh Kudus adalah anugerah. Hal itu seharusnya tidak dilihat sebagai sesuatu yang "digariskan" oleh Tuhan. Apakah seseorang akhirnya hidup melajang atau tidak, sering kali merupakan hasil dari banyak faktor berbeda yang saling mempengaruhi, belum lagi pilihan atau keadaan seseorang.
Proses apa pun yang mengakibatkan kita akhirnya melajang, kita seharusnya tidak melihat hidup melajang sebagai tanda-tanda suram berakhirnya seluruh sukacita dalam hidup kita. Hidup melajang dapat menjadi suatu kesempatan untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan dan menghargai banyak keajaiban yang telah diberikan Tuhan kepada ciptaan-Nya untuk dialami.
Melajang dapat juga berarti terhindar dari beberapa beban yang berhubungan dengan pernikahan. Tentu saja, para lajang tidak perlu mencibir terhadap pernikahan. Ada keindahan, dari sisi yang berbeda mungkin, baik dalam hidup pernikahan maupun hidup melajang.
Entah seseorang menikah atau tidak, sebagai anak-anak Tuhan, kita akan diberkati asalkan kita memegang firmanNya. Dan, mencari Tuhan dan kebenaranNya haruslah senantiasa menjadi prioritas utama dalam hidup kita.
Apa yang Telah Saya Pelajari
Menghadapi Kenyataan
"Diamlah dan ketahuilah, bahwa Akulah Allah!" (Mazmur 46:10)
Penonton tidak dapat selalu sepenuhnya memahami kesulitan pihak-pihak yang terlibat. Saya telah mendengar beberapa komentar tentang orang-orang tertentu yang melajang, yang belum tentu adalah pendapat yang adil.
Setahu saya sangat sedikit orang yang melajang karena pilihan. Para Iajang seperti kami akhirnya tetap melajang karena berbagai alasan. Saya mengenal seorang saudari yang kehilangan kesempatan karena selama "usia menikah"nya, dia harus menjaga ayahnya yang sakit.
Ada beberapa orang yang tidak pernah diperhatikan oleh pembimbing pernikahan di gereja dan tidak pernah menemukan seseorang di gereja yang tertarik padanya. Setiap orang yang hidup melajang punya cerita sendiri.
Menjadi Iajang bukanlah pelanggaran, dan para lajang, walaupun sering disalahpahami, janganlah merasa itu adalah aib. Sangatlah mudah untuk mengatakan, "Standarnya terlalu tinggi, dan karena itulah dia sekarang melajang!"
Ada perbedaan yang menyolok antara menjadi "pemilih", menggunakan standar dunia yang tidak Alkitabiah, dan menjadi cukup bijaksana untuk menyadari bahwa kriteria dalam memilih pasangan seharusnya bukanlah hanya "jemaat gereja biasa".
Jika Anda melajang karena Anda mengerti bahwa pernikahan bukanlah tentang menutup mata dan menerima siapa saja dari gereja, Anda sungguh-sungguh tidak perlu tersinggung ketika kata-kata yang tidak simpatik diucapkan atau ketika Anda dicap sebagai "Tuan Pemilih" atau "Nona Kriteria-Tinggi".
Ketika berusaha untuk mengokohkan diri di tengah-tengah kesalahpahaman, kita juga harus menyediakan satu ruang kecil untuk bertanya pada diri sendiri. Mungkin saja hidup melajang hanyalah suatu fase peralihan bagi kita untuk memikirkan kembali sebagian nilai-nilai dan harapan kita yang mungkin tidak sesuai dengan kehendak Tuhan dalam mencari pasangan.
Rubrik ini telah memuat beberapa artikel bagus yang menasihati para lajang tentang bagaimana "menemukan orang yang tepat" sesuai dengan kehendak Tuhan. Dengan persetujuan terhadap sebagian besar nasihat tersebut, saya menyerahkan keputusan untuk membacanya kepada saudara-saudari seiman sesama lajang.
Pesan yang disampaikan adalah bahwa kita harus mencari petunjuk Tuhan melalui doa dengan penuh rasa hormat, jika kita belum melakukannya. Karena Anda semua tahu, begitu Anda meninggalkan harapan-harapan yang tidak dimaksudkan Tuhan untuk Anda miliki, maka ciluk ba! Anda akan menemukan Adam atau Hawa Anda berdiri tepat di hadapan Anda.
Sendirian tetapi tidak pernah kesepian "Siapa gerangan ada padaku di Surga selain Engkau? Selain Engkau tidak ada yang kuingini di bumi. Sekalipun dagingku dan hatiku habis lenyap, gunung batuku dan bagianku tetaplah Allah selama-lamanya." (Mazmur 73:25, 26)
Hidup melajang adalah pengalaman hidup dalam kesepian. Bagi banyak orang, pulang ke apartemen yang kosong bukanlah pengalaman yang tidak lazim. Membeli bahan makanan dan menyiapkan makan malam untuk hanya satu orang kadang-kadang dapat memberi Anda perasaan sedih dan perasaan terlupakan yang tak dapat dilukiskan.
Ada masa-masa, tatkala saya sedang sakit atau mengalami kesedihan yang mendalam, saya merindukan pelukan dari seseorang, tetapi tidak ada orang yang bisa dan bersedia mendengarkan atau memberi saya sebuah pelukan. Pada saat-tsaat itu, Tuhan dan hanya Tuhanlah tempat saya berpaling.
Banyak orang tua yang berharap untuk melihat anak-anak mereka menikah karena takut apabila anak-anak tersayang ini harus menjalani hidupnya sendirian saja. Ayah saya selalu berkata dia kuatir bahwa saya akan sendirian di dunia ini setelah dia dan ibu saya meninggal.
Ketika dia mengatakan hal tersebut, hati saya amatlah sakit. Tetapi, saya juga begitu berharap bahwa dia akan memahami keyakinan saya tentang penyertaan Tuhan, asalkan saya tetap berpegang teguh pada perintah dan anugerah-Nya.
Memahami bahwa hidup melajang dapat menjadi sangat kesepian, saya harus berkata bahwa menjadi lajang telah mendorong saya untuk bersandar kepada Tuhan lebih dari yang akan saya perbuat bila saya selalu memiliki seseorang untuk berpaling.
Beberapa tahun yang lalu saya memiliki buku agenda yang sampul depannya bergambar seekor domba kecil kesepian yang duduk sendirian di atas batu. Tetapi, dalam bayangan yang dipantulkan oleh aliran sungai di dasar batu itu, tampaklah domba kecil itu dan seseorang di sampingnya Sang Gembala. Sungguh, "TUHAN adalah gembalaku, takkan kekurangan aku" (Mazmur 23:1). Kebenaran mendasar yang sederhana. Jaminan mendalam yang amat besar.
Pemeliharaan Tuhan juga datang dalam bentuk orang-orang yang benar-benar memberikan perhatian dan bantuan. Menjadi lajang telah membuat saya belajar untuk menerima kasih dan kebaikan dari orang lain.
Dalam musim perayaan, kalau menghitung jumlah undangan dari jemaat saja, saya paling tidak selalu mendapat dua undangan, bahkan terkadang lebih. Berasal dari sebuah gereja kecil yang hanya terdiri dari beberapa keluarga, sungguh mengherankan bagaimana saya diundang oleh begitu banyak keluarga untuk menghabiskan liburan bersama mereka.
Sangat menyenangkan, mengetahui bahwa saudara-saudari di gereja melakukan usaha agar para lajang seperti saya tidak merasa terlalu kesepian.
Pemikiran Akhir
Walaupun saya telah banyak mengemukakan bagaimana hidup melajang dapat menjadi berkat, saya tidak menganggap seseorang harus berusaha untuk menjadi lajang. Hidup melajang haruslah tidak disengaja atau terjadi karena kebutuhan.
Para lajang perlu melakukan perencanaan agar tetap dapat hidup bahagia dan menjalani kehidupan yang aman, walau tanpa kehadiran seseorang di sampingnya. Lajang atau tidak, jika kita menjaga diri kita kudus dan murni terhadap Allah, maka segala sesuatu akan mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia (Roma 8:28). Tetapi, kita harus selalu membiarkan sebagian kecil hati kita terbuka untuk menerima kejutan dari Tuhan.
Jika seseorang mempunyai keinginan untuk menikah, itu adalah hal yang sangat indah. Sebab "siapa mendapat istri, mendapat sesuatu yang baik, dan ia dikenan TUHAN" (Amsal 18:22). Saya rasa hal yang sama dapat dikatakan tentang mencari suami.
Sebagai orang dewasa, kita harus memiliki kesanggupan untuk mengurus diri sendiri bukannya bergantung pada orang lain. Para lajang tidak boleh dengan pasif duduk dan menunggu Tuhan menjatuhkan pasangannya dari langit. Tidak juga mereka boleh melalaikan tanggung jawab untuk meraih kebahagiaan mereka sendiri dan sepenuhnya menyerahkan kepada pembimbing pernikahan di gereja untuk mencarikan seseorang bagi mereka.
Sangatlah indah dan baik jika ada sumber-sumber di gereja yang membantu kita dalam melakukan "pencarian". Tetapi kebahagiaan terletak pada tangan Tuhan dan tangan kita sendiri. Apa pun yang kita lakukan, melipat tangan dan menunggu secara pasif tidak akan membantu Tuhan menjawab doa-doa kita.
Saya akan mengakhiri tulisan ini dengan mempersembahkan sebuah lagu untuk para pembaca lajang di luar sana. Bertahun-tahun yang lalu, seorang guru mengajarkan lagu ini kepada saya dan mengatakan bahwa saya harus selalu beriman bahwa Tuhan telah mempersiapkan seseorang bagi saya. Inilah sebagian lagunya: "Suatu hari, di suatu tempat, seorang yang tiada bandingnya, akan datang kepadamu, selamanya tinggal bersamamu... Kau berdoa begitu lama waktu kau masih sangat muda, kau berdoa agar Tuhan menjaganya tetap kudus dan baik. Dan kau akan tahu, Tuhan menciptakannya, dan kau akan tahu Tuhan menciptakannya hanya untukmu."
Diambil dari:
Judul majalah | : | Warta Sejati, Edisi 40/Maret -- April 2004 |
Judul artikel | : | Refleksi Pribadi Tentang Hidup Melajang |
Penulis | : | Tidak Dicantumkan |
Penerbit | : | Departemen Literatur Gereja Yesus Sejati Indonesia |
Halaman | : | 37 -- 42 |